Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Si Penyusup yang Mematikan

Depresi bukan cuma soal kejiwaan. Gangguan kesehatan ini bisa mewujud sebagai penyakit fisik yang sulit didiagnosis secara medis, bahkan bisa berakibat kematian.

15 Desember 2008 | 00.00 WIB

Si Penyusup yang Mematikan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

HIDUP Diana selama ini bergulir mulus. Ketika baru lulus kuliah, perempuan 39 tahun ini langsung meraih pekerjaan idamannya di Singapura. Kembali ke Jakarta, ia pun mendarat sebagai bos di bagian penjualan di sebuah perusahaan multinasional. Meski sibuk—berangkat pukul 7 pagi, pulang paling cepat pukul 7 malam—ia menikmati profesinya. ”Tim kerja saya enak, bos juga asyik. Saya betul-betul happy bekerja,” katanya kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Tak cuma berjaya di kantor, Diana—bukan nama sebenarnya—juga memiliki keluarga bahagia. Suami punya karier cemerlang di perusahaan asing di Jakarta. Dia pun menjadi ibu dari tiga anak yang bugar dan cerdas, salah satunya sudah beranjak remaja. Perempuan cantik ini juga setia menerapkan gaya hidup. Dia memilih makanan berbahan organik dan rajin berlatih yoga pilates.

Untung tak bisa diraih, malang tak dapat ditolak. Hidup Diana berubah drastis dalam setahun belakangan. Titik awalnya adalah pergantian bos di kantornya. Suasana kerja yang semula nyaman langsung kacau-balau. Sang atasan gemar membombardirnya dengan pekerjaan dengan tenggat singkat plus kata-kata tak mengenakkan. Pada akhir pekan—bahkan ketika sedang cuti—ia dihujani telepon dan pesan singkat berisi perintah dari sang atasan baru.

Jadwal keluarganya pun porak-poranda. Tak ada lagi liburan, olahraga, atau sekadar jalan-jalan ke mal. Semua waktu tersedot untuk kerja, kerja, dan kerja. Hingga September lalu, ia dilanda sakit perut luar biasa. Dokter mendiagnosisnya terserang penyakit maag dan harus menginap di rumah sakit. Lantaran pekerjaan menggunung, ia menolak rawat inap. Diana menganggap penyakitnya hanya ecek-ecek. ”Mungkin hanya kelelahan,” begitu anggapannya.

Siapa sangka, akibatnya malah lebih parah. Hampir tiap malam ia tak bisa tidur. Kalaupun sesekali bisa memejamkan mata, ia dihantui mimpi buruk. ”Saya pernah mimpi hanyut dan tak ada yang menolong,” katanya. Setiap bangun, ia selalu dicekam ketakutan, yang bisa berlanjut sepanjang hari.

Kecemasan seperti itu tak juga pergi, malah makin menjadi-jadi. Diana takut melihat televisi, membaca koran, atau keluar rumah. Pokoknya, serba takut. Bila sudah gelisah, tubuhnya langsung gemetar. Ia pun sering menangis, ”Tiba-tiba saya takut mati dan takut tua,” katanya. Banyak orang yang menganggapnya sedang lelah sehingga jadi sensitif dan berpikiran negatif.

Hingga suatu hari, punggungnya tiba-tiba berat dan dirayapi rasa panas luar biasa. Dalam situasi begini, Diana hanya bisa duduk diam, karena dibawa tidur justru bertambah sakit. Kondisi seperti ini hilang-timbul sepanjang hari dan sangat menyiksanya.

Suaminya lalu memboyong Diana ke psikiater di sebuah rumah sakit ternama di Jakarta Pusat. Sang dokter spesialis kejiwaan memberinya obat antidepresan dan obat tidur. Sayangnya, obat tidur itu tak sukses membuatnya lama terlelap. Setelah menenggak tablet pukul 10 malam, Diana biasanya kembali terbangun dua jam kemudian. Akhirnya, sang psikiater merujuknya ke dokter saraf.

Spesialis saraf mendiagnosis Diana menderita kerusakan sistem saraf atau nervous breakdown. Dia kembali mendapat pil tidur yang ternyata ampuh untuknya. Begitu menelan pil ini, Diana terlelap hingga pagi. Namun masalah lain muncul: jantungnya berdebar-debar keras dan rasa panas menjalari punggung seperti kesetrum. Ototnya pun tegang sepanjang hari. Ia terjebak dalam situasi dilematis. Dia ingin terlelap dengan nyaman, namun takut minum obat tidur karena efek samping yang mengerikan.

Ia lalu memutuskan berhenti minum obat tidur. Sebagai gantinya, Diana mencoba terapi alternatif, hypnotherapy. Dalam terapi ini, diajarkan metode berpikir positif, santai, dan memanfaatkan otak untuk menyembuhkan diri sendiri. Hasilnya? Gagal. Penyakit dan kegelisahan tetap setia menempel.

O ya, ada satu jenis terapi lagi yang disarankan dokter sarafnya, yaitu terapi listrik. Nervous breakdown yang dideritanya itu terjadi karena unsur kimiawi dalam otak tidak seimbang. Untuk menyeimbangkan, digunakanlah terapi dengan menggunakan headset yang berfungsi mengirim gelombang listrik ke otak. Meski dalam banyak kasus terbukti efektif menyeimbangkan hormon, terapi ini punya efek samping berupa kehilangan ingatan sementara. ”Saya takut, saraf ini kan rumit, tak bisa dihitung secara matematis. Bagaimana kalau saya malah kehilangan ingatan selamanya?” kata Diana.

Di tengah kekalutan, Diana akhirnya berobat di sebuah rumah sakit di Singapura, akhir September lalu. Barulah di sana, Diana tahu ia tak cuma menderita depresi, tapi juga anxiety (kecemasan) yang tak terdeteksi. Obat antidepresan yang pernah diminumnya ternyata malah memperparah kecemasannya. Karena itu, sang dokter pun meresepkan obat antianxiety, antidepresan, dan obat tidur.

Pulang ke Tanah Air, Diana merasa kondisinya membaik. Ia bisa tidur lelap, sakit maag hilang, punggungnya tak lagi berat dan panas. Bahkan selama dua pekan ini ia sudah bisa menonton televisi dan bergaul. Ketakutan dan kecemasannya berangsur hilang, meski belum sepenuhnya. Ia mulai bisa pergi ke keramaian, walaupun tetap harus ditemani.

Kini Diana menjalani hari-hari di rumah. Membuatkan sarapan anak, membaca, menonton televisi, dan—ini yang terbanyak—tidur. Rutinitas ini jauh berbeda dibandingkan beberapa bulan lalu.

Diana bisa dikatakan beruntung karena depresi yang dideritanya bisa diidentifikasi dan diberi obat yang tepat. Namun banyak orang yang menderita depresi tanpa bisa didiagnosis dengan tepat—seperti yang pada awalnya dialami Diana. Bahkan, yang lebih parah, banyak orang sama sekali tak menyadari depresi telah menyelinap dan berkembang dalam dirinya.

Menurut Suryo Dharmono, spesialis kesehatan jiwa dari Departemen Psikiater Universitas Indonesia, depresi sebenarnya merupakan bentuk emosi manusia yang normal. Namun depresi dikategorikan penyakit jika telah mengganggu kegiatan sehari-hari dan menimbulkan penyakit fisik, seperti yang dialami Diana. Itu yang disebut psikosomatis.

Gejala paling umum psikosomatis adalah meningkatnya asam lambung yang memicu penyakit maag serta pusing dan mual-mual. Selain itu, depresi juga menyebabkan gangguan seksual, terutama pada pria, bisa mengakibatkan disfungsi ereksi dan ejakulasi dini.

Namun jangan terlalu cepat panik. Pasalnya, gejala awal depresi sangat mudah dikenali, yaitu suasana hati tak beraturan, kehilangan minat pada hal yang digemari, berkurangnya energi, dan mudah lelah. Ada pula sejumlah gejala tambahan, seperti tidur terganggu, tak ada nafsu makan, tak bisa berkonsentrasi, kepercayaan diri merosot, selalu merasa bersalah dan tak berguna, pesimistis akan masa depan, serta melakukan perbuatan yang membahayakan diri sendiri atau bahkan ingin bunuh diri. Jika mengalami paling tidak dua gejala utama plus dua gejala tambahan selama dua pekan saja, itu artinya seseorang dilanda depresi.

Menurut Suryo, ada dua jenis terapi bagi penderita depresi, yaitu psikologis dan obat. Terapi psikologis adalah dengan menyelesaikan masalah penyebab stres. Untuk penanganan medis, pasien bisa meminum obat antidepresan dan antianxiety untuk mengubah struktur kimia otak (serotonin, noradrenalin, dan dopamin). Jika dua jenis terapi ini digabungkan, pasien akan dapat memperbaiki pola tidur, konsentrasi, meningkatkan tenaga, dan mengurangi kecemasan.

Masih banyak yang meremehkan depresi, karena mungkin belum mengetahui bahayanya. Padahal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi bahwa pada 2020 depresi ada di urutan kedua penyebab kematian—nomor satu adalah penyakit jantung iskemik. Sebagai catatan, pada 1990, depresi merupakan penyebab kematian urutan keenam. Kini depresi memang si penyelinap yang mematikan.

Andari Karina Anom

Sinyal-sinyal Depresi

Inilah sejumlah gejala fisik yang –jika tak ada riwayat penyakit lain-- biasanya merupakan bentuk depresi:

  • Otot tegang
  • Punggung terasa panas dan berat
  • Tubuh lemas tak berenergi
  • Pusing dan mual-mual
  • Pembuluh darah menyempit sehingga berpotensi stroke
  • Asam lambung meningkat menyebabkan maag
  • Terjadi disfungsi seksual
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x100

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x600
    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    close

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x100
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus