Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG dari sekitar 2.500 penonton di Hotel The Ritz-Carlton, Pacific Place, Jakarta, berteriak: ”Antonio’s Song!”
Di atas panggung dengan latar belakang hitam, malam itu, Rabu pekan lalu, Michael Franks hanya tersenyum. Dia tak menanggapi permintaan untuk menyanyikan lagunya yang sempat populer di sini dan sudah identik dengan dirinya itu. Seperti pada jeda antarlagu sebelumnya, penyanyi smooth jazz asal Amerika Serikat ini tak mengucapkan sepatah kata pun. Dia lalu menyuguhkan Mr. Blue. Dia baru mengobati rasa penasaran penonton, dengan Antonio’s Song, saat menutup konsernya.
Begitulah cara Franks menyapa penggemarnya di Jakarta (dia juga dijadwalkan tampil di Surabaya pada 14 Desember). Dalam konser yang diselenggarakan oleh Original Production itu boleh dibilang dia hanya menyanyi—kecuali sesekali minum seteguk air putih pada jeda antarlagu. Dia tak bercerita apa pun mengenai dirinya dan lagunya. Tentang Indonesia, dia hanya berkata-kata pendek: ”Saya senang rasanya bisa kembali (ke Indonesia).”
Selama pertunjukan, Franks juga sering membiarkan David Mann mengisi beberapa bagian lagu dengan tiupan saksofonnya yang istimewa, seperti pada bagian interlude lagu When the Cookie Jar Is Empty. Franks tak mau merusak penampilan Mann, misalnya dengan meminta penonton bertepuk tangan di tengah-tengah permainan. Setelah lagu usai, dia hanya bilang, ”David Mann, saksofon!” Sesudahnya, dia kembali diam dan membiarkan penonton menumpahkan kekaguman mereka lewat tepuk tangan yang riuh.
Toh, aksi Franks yang seperti itu sudah punya daya magisnya sendiri. Penonton yang membeli tiket antara Rp 500 ribu dan Rp 2 juta seperti meleleh: mereka terbawa ke suasana awal 1980-an, tahun-tahun ketika Franks berada di puncak popularitas. Kerinduan penggemar untuk menikmati konser secara live itu sudah terobati lewat lantunan lagu tanpa harus diselingi banyak basa-basi.
Penyanyi Iga Mawarni, yang hadir malam itu, bahkan mengaku bisa menikmati Franks sebelum dia benar-benar menyanyikan lagunya. Ketika mendengar tuts piano dipukul oleh Charles Blenzig, misalnya, Iga sudah bisa membayangkan kehadiran Franks dengan suaranya yang khas: datar, ada bunyi sengau, dan tanpa vibrasi.
Lihatlah ketika dia tampil hanya berdua dengan pianis Blenzig pada lagu ke-15, Mr. Blue. Musisi pendukung lain sudah masuk ruangan setelah drumer Willard Dyson menyuguhkan permainan istimewa untuk mengakhiri B’wana-He No Home. Pada beberapa bagian dari Mr. Blue, Franks hanya diam, sedangkan Blenzig mengetuk tuts piano. Lalu keduanya diam sesaat seperti sengaja menghadirkan suasana hening di tengah irama lagu yang terus berjalan. Sejurus kemudian, tuts piano diketuk lagi. Setelah itu, barulah Franks melanjutkan lagunya beberapa saat tanpa iringan piano. Penonton terhanyut dan tepuk tangan mereka menyusul di akhir lagu.
Usianya memang sudah tak muda. Tapi, tampil berkemeja putih, bercelana khaki, dan berjas biru donker, penyanyi kelahiran La Jolla, California, 18 September 1944, itu didukung musisi yang solid. Selain Mann, Dyson, dan Blenzig, di panggung ada Jay Anderson (bas) serta Veronica Nunn (vokal). Mereka itulah yang selama sekitar 70 menit menutup vokal Franks yang sempat terdengar kurang prima, terutama saat membuka konser dengan Long Slow Distance, atau pada Tiger in the Rain dan Tell All About It. Vokal Franks baru terdengar mengalir lancar setelah beberapa lagu. ”Dia kalau nyanyi kan hanya seperti orang ngomong, datar, tapi sangat enak didengar,” kata Iga.
Karakter vokal itulah yang memang identik dengan smooth jazz, yang sempat menimbulkan pro dan kontra. Sebagian kalangan menganggap subgenre ini bukan bagian dari genre jazz. Aliran ini dianggap merupakan upaya membonceng gengsi jazz sekadar untuk mencari pendengar yang lebih luas. Tapi penganut smooth jazz seperti tak peduli. Mereka terus berkarya. Franks menjadi salah satu penyanyi akhir 1970-an dan awal 1980-an yang sukses menghimpun banyak penggemar.
Selain menyanyi, Franks menulis lagu dengan syair yang unik meski berangkat dari tema sederhana. Simak, misalnya, Eggplant, yang dijadikan lagu ke-13 malam itu. Ditulis untuk album The Art of Tea (1976), lagu ini hanya berkisah tentang cara seorang gadis memasak terung. Tema ini muncul dari kehidupan sehari-hari Franks, yang sering harus mengurusi kebun, bertani, serta memelihara ternak. Franks mengungkapkan dalam syairnya gadis itu tak pernah mengulang cara memasak. Terkadang, terung dimasak terlalu lembek. Lain waktu, terung itu jadi segar seperti tomat. Total ada 19 cara memasak terung. ”Itu kan cuman cerita tentang cara memasak. Tapi ramuan syair dan lagu itu jadi begitu enak didengar,” kata Iga.
Semua itu tak lepas dari masa kecil Franks, yang tumbuh dalam asuhan orang tuanya, Gerald dan Betty, yang menyukai jazz. Sejak kanak-kanak, dia sudah mendengar koleksi lagu-lagu Peggy Lee, Nat King Cole, Ira Gershwin, Irving Berlin, dan Johnny Mercer.
Belajar bermain gitar hanya dari paket kursus singkat yang menyertai gitar pertama yang dia beli pada usia 14 tahun, Franks lebih memilih sekolah formal bidang bahasa dan sastra. Dia meraih gelar master dari University of Oregon. Tapi, sebagai ”efek samping” dari lingkungan pendidikannya itu, Franks mengenal lebih jauh lagi para master jazz, seperti Dave Brubeck, Patti Page, Stan Getz, Joao Gilberto, Antonio Carlos Jobim, dan Miles Davis.
Pergaulan itulah yang membuatnya mampu melahirkan album pertama pada 1973. Album ini baru sukses setelah ditangani Warner Bros sejak pertengahan 1970-an. Selain sempat berkolaborasi dengan banyak artis, dia terus menulis lagu dan membuat rekaman. Album Blue Pacific (1990) dan Dragonfly Summer (1993) berhasil menempati posisi puncak dari Top Contemporary Jazz Albums versi Billboard Charts. Hingga dua tahun lalu, sudah 17 album dilempar ke pasar dan dikoleksi para penggemarnya.
Malam itu, para penggemar yang datang ke Pacific Place tak hanya berasal dari Jakarta. Soni Alkafa, misalnya, sengaja datang dari Ploso, Jombang, Jawa Timur. Bersama lima saudaranya, Soni baru duduk di bangku penonton paling belakang ketika Franks sudah menyanyikan lagu keempat, Don’t Be Blue. ”Saya enggak biasa di Jakarta. Tadi terjebak macet. Makanya kami telat,” katanya.
Kendati begitu, Soni tidak kecewa. Lebih dari sekadar yang dibayangkan sebelumnya, menurut Soni, penampilan Franks luar biasa indah. Suara Franks, katanya, begitu prima. Apalagi sound system-nya sangat mendukung. ”Sangat jernih suaranya,” ujar Soni.
Soni bukan satu-satunya penonton yang tiba ketika konser sudah berjalan. Panitia akhirnya tak bisa memenuhi janji mereka kepada Franks untuk menolak penonton yang terlambat. Di tengah-tengah lantunan lagu keenam, The Lady Wants to Know, sepuluh kursi tambahan terpaksa dimasukkan ke deretan penonton bertiket Rp 2 juta. ”Penontonnya memaksa masuk,” kata seorang penjaga. Untung saja, pintu masuk sudah diset agak miring sehingga kesepuluh penonton tambahan itu tak terlihat dari panggung ketika memasuki ruangan. Mereka pun bisa aman mengenang masa lalu dengan lagu yang ditunggu-tunggu, Antonio’s Song.
Nur Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo