GAMBAR apaan, sih?" kata Wanty siswa sebuah SMA di Bandung, ketika menyaksikan pameran di Galeri Decenta, Bandung, 23-31 Januari. Di ruang 4 x 6 meter, di galeri di Jalan Dipati Ukur, Bandung itu, karya-karya senirupa yang dipamerkan memang di luar biasanya. Gambar-gambar yang disuguhkan memang tampak biasa-biasa saja. Ada yang mirip kartun. Sebuah pohon dengan burung-burung beterbangan -- tapi burung itu adalah kepala manusia yang telinganya berubah menjadi sayap. Ada gambar karangan bunga, mirip yang biasa ada pada kartu pos bergambar. Ada pula serial foto merupakan potret hidung dan mulut. Tapi ada pula yang hanya berupa tempelan-tempelan sejumlah kartu pos. Dan, ini barangkali yang membuat Wanty terheran-heran semua karya itu berukuran antara sebesar kartu pos dan doble folio. Tapi inilah Pameran Seni Warkat, yang mempertunjukkan karya-karya yang pernah dikirim lewat pos sebagai surat atau sejenisnya. Pameran ini diharapkan "memberi kesegaran baru pada dunia senirupa Indonesia," kata A.D. Pirous, 50 tahun, salah seorang pendiri Galeri Decenta. Dalam kata pengantar pada katalogus pameran, Setiawan Sabana, dosen Senigrafis Senirupa ITB, antara lain menulis : "Seni ini merupakan gaung dari yang disebut senikonsep (conceptual art) yang dipelopori sejumlah senirupawan Amerika Serikat di akhir tahun 1960-an. Seni konsep, seperti namanya, memang menobatkan konsep itu sendiri sebagai seni -- bukan lagi merupakan sekadar pemikiran yang melandasinya. Maka di dalam seni ini wujud karya menjadi tidak penting. Dalam senikonsep, yang disebut karya ialah dari gagasan awal, proses pelaksanaannya, hingga ke dokumentasi semuanya itu. Dan kemudian yang biasa dipamerkan dokumentasinya itulah, entah berwujud potret-potret atau tulisan mengenai ide, proses dan kesimpulan -- atau dua-duanya. Maka boleh dikata inilah jenis senirupa yang lebih bersifat "intelektualistis," atau pseudointelektualistis, kalau anda mau mengejeknya. Adapun seniwarkat, adalah senikonsep yang memanfaatkan warkat (surat) berikut jaringannya. Dan sebagaimana senirupa biasanya, seniwarkat pun bisa lucu, menggemakan protes sosial, bahkan berfilsafat. Sayang dalam pameran Decenta ini agaknya hanya karya Priyanto S., 35 tahun, yang menggarap masalah pasir yang mendekati seni yang dimaksud. Beberapa waktu lalu senirupawan grafis yang kadang-kadang membuat gambar kulit dan karikatur untuk majalah TEMPO ini, mengirimkan surat, konon, kepada 80 teman senimannya di seluruh Indonesia. Surat itu bercerita tentang sebutir pasir (tentang hak asasi pasir, migrasi pasir dan asimilasi pasir). Dan, si Pri ini pun memang benar-benar menyertakan pasir dalam suratnya itu. Tak hanya sampai di situ. Surat itu pun disertai sebuah kartu pos untuk dikirimkan kembali kepadanya. Ia, Pri, minta jawaban atas pikiran-pikirannya tersebut. Nah, kartu-kartu pos yang kembali itulah yang ditempel-tempelkan dan dipamerkan Pri kini. Di situ bisa dibaca tanggapan Goenawan Mohamad, Pemimpin Redaksi TEMPO, "yang saya perlukan gula pasir," tulisnya. Putu Wijaya, pemimpin kelompok Teater Mandiri menulis "Pasir sudah diterima dan diperbantukan pada teater populer, apakah ada bayang-bayangnya?" Yang menanggapi dengan bingung, ialah But Muchtar, pelukis yang menjabat Sekretaris bidang Kebudayaan Rektor ITB: "Tak mengerti maksudnya." Pun penari dan pelukis Bagong Kussudiardjo dari Yogyakarta tak paham dengan karya Priyanto ini: "Bingung, apa arti semua ini?" Sayang, Priyanto kemudian tak membuat semacam analisa tentang tanggapan atas idenya tersebut. Hingga, dalam bahasa senirupa konvensionalnya, kesatuan karyanya kurang tercermin. Yang repot, sebagian besar senirupawan kita itu rupanya mempunyai tafsiran lain terhadap seniwarkat. Pematung Soenaryo, misalnya, memberi komentar karya-karya itu, "seperti main-main" tapi "bagus-bagus." G. Sidharta, pematung, lebih melihat seniwarkat sebagai seni yang murah. Memang, dengan selembar kertas plus prangko, lahirlah seniwarkat. Padahal, bila dikembalikan pada senikonsep, maka wujud karya itu sendiri menjadi tidak penting. Konsep dan proses yang membentuknyalah yang penting. Jim Supangkat, pematung yang kini bekerja di majalah Zaman bahkan bilang, seniwarkat itu mirip angket. Maksudnya, bukan kertas angketnya itu yang penting, tapi idenya, sasarannya dan analisa yang kemudian disusun dari angket-angket itu. Selain karya senirupawan Indonesia, di Galeri Decenta itu dipamerkan pula karya-karya seniwarkat senirupawan Eropa, AS dan Jepang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini