CHINA TOWN Pemain: Jack Nicholson, Faye Dunaway, John Huston, Skenario: Robert Towne, Sutradara: Roman Polanski. LAMA ditunggu, ternyata Pecinan (kampung Cina) yang dijadikan judul film baru muncul dalam adegan terakhir. Tidak pula mengesankan. Yang justru menarik ialah dialog kocak tentang bagaimana pria Cina menggauli istri mereka. Ketika menceritakan hal itu J.J. Gittes (Jack Nicholson terbahak-bahak sendiri tanpa menyadari ada seorang wanita, Ny. Evelyn Mulwray (Faye Dunaway) ikut mendengar. Gittes rikuh sebentar tapi segera tenang menghadapi wanita yang memperkenalkan diri sebagai Ny. Mulwray yang asli. Nyonya ini bertanya siapa gerangan Ny. Mulwray yang satu lagi, yang kebetulan menjadi klien Gittes. Saat itu barulah detektif swasta ini terperangah. Dan cerita mulai di sini. Diperankan dengan mantap oleh Jack Nicholson, J.J. Gittes yang kepala biro detektif swasta di Los Angeles itu nampaknya memang tepat untuk karir melacak dan membongkar rahasia pribadi orang. Tidak ada yang terlalu sulit baginya hingga ia terlibat kasus suami istri Mulwray. Detektif berwatak keras ini sempat kewalahan, bahkan terguncang. Gittes justru amat terguncang di saat terakhir, ketika Evelyn tertembak mati oleh polisi yang rupanya tak lain dari orang bayaran Noah Cross (John Huston). Dan Cross ini tak lain tak bukan ayah kandung Evelyn. Peristiwa yang melumpuhkan saraf baja detektif swasta itu terjadi pada suatu senja di Chinatown, daerah hitam Los Angeles. Tema cerita harus diakui agak rumit, namun seluruhnya berkisar pada uang, setidaknya begitu menurut kesimpulan Gittes. Namun perlu ditambahkan satu hal lain Obsesi seksual, tepatnya penghinaan seksual yang dilumuri kesewenangan kekuasaan. Penghinaan seksual dialami Evelyn tatkala ia pada usia 15 tahun diperkosa oleh Noah Cross, ayah kandungnya sendiri. Perkosaan incest ini menghasilkan seorang anak perempuan yang diduga hidup tenang bersama ibu dan ayah tirinya, Hollis Mulwray. Kedamaian lenyap ketika Mulwray ditemukan mati terbunuh. Evelyn memberi kuasa pada Gittes untuk menemukan siapa pembunuh suaminya. Sementara itu Noah Cross menugasi Gittes untuk menemukan siapa wanita yang terlihat bersama Mulwray sebelum pria malang itu, seperti kata polisi, mati terbenam. Adapun Mulwray dan Cross adalah partner usaha, jauh sebelum Mulwray menikah dengan Evelyn. Kongsi antara menantu dan mertua itu pecah, tapi hubungan tetap baik sampai Mulwray menolak membangun waduk yang rupanya sangat dibutuhkan Cross. Kepada Gittes, pak mertua itu memuji Mulwray sebagai insinyur pengairan yang cemerlang, yang membangun Los Angeles. Tapi karena urusan waduk gagal, Cross rupanya kesal. Seperti yang bisa disimpulkan Gittes dari hasil penelitiannya, menurut rencana air waduk akan mengaliri ribuan hektar tanah yang sebelumnya sudah dibeli Cross secara curang. Kalau waduk itu jadi, mestinya tanah Cross akan merupakan ladang paling subur di California, sementara banyak warga lainnya gigit jari. Kemungkinan buruk itu dilihat Mulwray, makanya ia menolak. Tapi penolakan itu harus dibayar dengan nyawanya sendiri, setelah lebih dulu dikambinghitamkan oleh Cross, lagi-lagi, sebagai ada main dengan wanita lain. Memang, tangan-tangan kekuasaan Cross menggerayang ke mana-mana di bawah permukaan. Gittes sendiri tidak tahu bahwa Lou Grant, letnan polisi, kawan lamanya dulu dari Chinatown, tak lain dari orang bayaran Cross. Bahwa rumah jompo tak luput dari jangkauan tua bangka itu. Bahwa sherif dikendalikan olehnya. Bahwa segala sesuatu bisa diatur Cross. Tentang perkosaan atas diri Evelyn, Cross berkomentar begini, "Pada saat yang tepat dan situasi yang tepat, apa saja bisa terjadi." Ketika Gittes menuduhnya telah membunuh Mulwray, si gaek itu tenang-tenang saja, bahkan tukang pukulnya menempelkan moncong pistol ke pelipis detektif itu. Gittes yang semula menyangka bisa mengeruk untung besar dari 2 mangsa: Evelyn dan Cross, akhirnya membuktikan sendiri bahwa ia bukan apa-apa di hadapan Cross. Masih untung ia tidak dihabisi seperti Evelyn. Polanski, hampir pada semua filmnya, punya kecenderungan pada hal-hal yang ekstrim. Bahasa filmnya yang realistis membantu penonton untuk bisa menerima, suka atau tidak suka, bahwa hal-hal yang ekstrim itu memang ada. Film ini ditangani halus, lompatan-lompatan peristiwanya mulus, suasana mencekam. Lewat itu semua, kepahitan manusia merayap perlahan-lahan ke pusat saraf kita. Teknik pemotretannya tidak luar biasa, tapi angle yang dipilih efektif, penataan cahaya bagus, kamera cermat. Itu semua membangun suasana. Dan ini penting bagi Polanski karena, "suasana adalah ciri kepribadian untuk sebuah film." DALAM keseluruhan, Chinatown tidaklah seaneh film Polanski yang berangkat dari setting Eropa, seperti Repulsion dan Cul de Sac. Tapi film ini bukan seperti film drama umumnya. Di samping mengandung unsur tragedi, ia juga kaya dengan kekerasan gangster dan humor yang tidak lumrah. Yang pasti, dari awal sampai akhir, film ini menghenyakkan penonton. Tapi karena ceritanya mewakili pengalaman Gittes yang sebenarnya merupakan tokoh di luar cerita, maka tak terhindarkan kesan kisah seram itu dikupas lapis demi lapis. Hal ini toh tidak menghambat sutradara untuk menyajikan realitas sepekat adanya. Yang juga menarik, Polanski di sini membatasi kegemarannya menganalisa tingkah laku orang seorang. Sebaliknya, ia menampilkan mosaik satu masyarakat kota lewat tingkah laku, ketakutan, agresivitas, kecurangan. Cross sebagai individu yang berperan amat menentukan dalam masyarakat itu, justru kurang diperkenalkan. Dia adalah supra struktur, jagoan tua, bangsat keparat, yang tidak perlu diusut mengapa bisa sampai demikian. Orang ini berada di luar ukuran-ukuran yang biasa. Dan dia jadi tidak penting karena Polanski justru ingin berkisah tentang korban-korbannya. Film ini merupakan pengucapan artistik Roman Polanski, seorang sutradara Yahudi asal Polandia tentang masyarakat Amerika yang kapitalistis. Dan film ini mendukung ucapan Polanski yang tersohor itu bahwa sang sutradara adalah superstar senantiasa dia yang membuat film, dialah yang menciptakannya. Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini