Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HIDUP Asri agaknya tak seindah namanya. Gadis 25 tahun itu selalu dikepung rasa cemas lantaran belum jua menemukan kekasih yang cocok. Sering Asri mendadak terdiam merenungi patah hati yang berulang-ulang terjadi. Belakangan, tak cuma soal ditinggal pacar, benjolan kanker payudara turut memburamkan dunia Asri. Adakah kanker itu dipicu stres yang selalu menghantuinya?
Kasus Asri mewakili satu keping teka-teki: betulkah stres bakal menyulut kanker? Profesor Soewadi, guru besar dan Kepala Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mencoba mencari jawabannya.
Awal 2001, Soewadi mengamati 150 pasien kanker, 131 perempuan dan 19 laki-laki, yang dirawat di Rumah Sakit Dr. Sardjito, Yogyakarta. Kasus ter-banyak adalah kanker payudara, yang menimpa 87 respondentermasuk Asri. Kanker leher rahim (serviks) terjadi pada 14 pasien. Selebihnya adalah beragam kasus seperti kanker tonsil, tenggorokan, indung telur, dan usus besar. Kemudian selama setahun Soewadi mewawancarai dan menguji kadar kecemasan semua responden.
Di ujung riset, Soewadi menemukan satu pola besar. Semua responden pernah berlarut-larut dihantui stres dengan pemicu beragam, misalnya putus cinta, tekanan pekerjaan, beban ekonomi, dan kemelut keluarga. Soewadi juga men-catat, semua responden punya kadar kecemasan yang jauh melampaui ambang normal.
Berbekal pola itu, Soewadi menelisik dan sampai pada kesimpulan bahwa stres memang merupakan faktor pencetus kanker. Penelitian ini bulan lalu dibahas dalam seminar di Yogyakarta yang digelar Yayasan Kanker Indonesia (YKI).
Stres, menurut Soewadi, adalah komando bagi jaringan saraf untuk lebih giat memproduksi hormon kortikosteroid. Padahal, begitu kortikosteroid menjulang, pasukan pertahanan tubuh jadi melemah. Termasuk yang melemah itu natural killer cell, pembunuh sel liar yang secara alamiah ada dalam tubuh.
Layak juga disorot, semua responden membukukan skor kecerdasan emosional (emotional quotient = EQ) dan kecerdasaan spiritual (spiritual quotient = SQ) yang rendah. Biasanya, pada orang berciri semacam itu, komposisi hormonnya labil sehingga metabolismenya pun tidak seimbang. Ini suatu kondisi yang rawan kanker. Buat kaum perempuan, situasinya bisa bertambah runyam. Sebab, setidaknya menurut Soewadi, perempuan tergolong paling rentan terhadap stresberhubungan dengan sifat wanita pada umumnya yang melankolis alias penyedih.
Kendati harus diuji lebih lanjut, asumsi Soewadi tampaknya sejalan dengan laporan Pusat Nasional Informasi Kesehatan Perempuan (NWHIC) Departemen Kesehatan AS. Penyakit kanker, menurut NWHIC, lebih sering menimpa perempuan yang pernah dibanting oleh kesedihan dan trauma yang hebat, misalnya ditinggal mati suami tanpa warisan yang cukup untuk mengurus anak-anak.
Secara garis besar, Johan Kurnianda, ahli kanker dari RS Dr. Sardjito, sependapat dengan riset Soewadi. Stres memang diketahui sebagai faktor malignansi atau yang membuat sel-sel kanker mengganas. Namun, "Ini tak berarti stres adalah faktor tunggal pemicu kanker," kata Johan.
Memang, kanker sungguh misterius. Berbagai faktor seperti stres, keturunan, zat kimia beracun di udara, nikotin rokok, bahan kimia pengawet, dan makanan berlimpah lemak saling memengaruhi hingga terbentuk sel kanker. Tapi, tidak seperti penyakit karena infeksi, aktivitas faktor-faktor tadi belum ter-petakan dengan gamblang.
Lepas dari soal misteri, Johan sepakat pasien kanker mesti mendapatkan terapi psikologis. Tindakan menguraikan benang kusut stres, dengan bantuan psikiater, pasti jitu menunjang terapi kanker semisal kemoterapi atau operasi bedah.
Bagi yang belum kena kanker, Soewadi dan Johan punya saran: pintar dan bijaklah menghadapi tekanan hidup. Jurus ini penting karena seribu satu persoalan hidup memang tak bakal ada habisnya. Singkatnya, jangan biarkan stres menjadi pupuk yang mengundang kanker.
Mardiyah Chamim, L.N. Idayanie (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo