Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ba'asyir dan Hukum 'Arbitrary'

12 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rudy Satriyo Mukantardjo
  • Doktor hukum pidana di Universitas Indonesia

    K.H. Abu Bakar Ba'asyir agaknya menjadi lakon hukum kontroversi tahun ini. Dulu, tahun 1985, pemimpin Pondok Pesantren Al-Mukmin di Desa Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, itu divonis sembilan tahun penjara oleh Mahkamah Agung (MA). Berdasarkan Undang-Undang Antisubversi Tahun 1963, ia diputus bersalah karena menolak asas tunggal Pancasila. Tapi vonis kasasi yang telah berkekuatan hukum tetap itu tak sempat dijalani Ba'asyir lantaran ia pergi (kabur?) ke Malaysia. Baru pada 1998, setelah rezim Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto tumbang, tokoh Majelis Mujahidin Indonesia ini pulang kampung.

    Begitu Ba'asyir diketahui berada kembali di Tanah Air, segera mencuat kabar tentang statusnya sebagai terpidana. MA melalui Kejaksaan Agung segera meminta agar Ba'asyir dieksekusi (menjalani hukuman sembilan tahun penjara).

    Persoalannya: adakah dasar hukum untuk mengeksekusi Ba'asyir? Untuk Pak Kiai sendiri, apa dasar hukumnya bila menolak pelaksanaan putusan? Selain itu, mungkinkah lembaga amnesti (peng-ampunan dari presiden berupa penghapusan hukuman) bisa diterapkan terhadap Ba'asyir?

    Untuk persoalan pertama, mungkin bisa ditelaah ketentuan Pasal 1 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dikenal sebagai aturan peralihan. Ketentuan ini menyebutkan, "Jikalau undang-undang diubah setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka (terdakwa) dikenakan ketentuan yang menguntungkan." Jelas perubahan undang-undang, dalam hal ini pencabutan Undang-Undang Antisubversi Tahun 1963 melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1999 tanggal 19 Me1 1999, hanya bisa dimanfaatkan oleh tersangka atau terdakwa, bukan terpidana seperti Ba'asyir. Inilah yang dijadikan pijakan hukum untuk mengeksekusi Ba'asyir.

    Tapi, bila diperhatikan ketentuan Pasal 2 ayat 2 Rancangan KUHP (rancangan tahun 1999/2000), suatu saat bila Rancangan KUHP Nasional menjadi KUHP Nasional, kasus seperti Ba'asyir langsung tak dapat dilaksanakan putusannya. Sebab, ketentuan pasal itu menyatakan, jika setelah putusan pemidanaan telah diperoleh kekuatan hukum tetap tapi perbuatan yang terjadi tak lagi merupakan tindak pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru, pelaksanaan putusan pemidanaan dihapuskan.

    Itu nanti. Sekarang, masih kuatkah alas hukum bagi Ba'asyir untuk menghindari eksekusi? Misalnya dengan menggunakan dalil kedaluwarsanya pemidanaan? Sayang, jalan hukum ini sulit ditempuh Ba'asyir mengingat kasusnya diancam hukuman mati, berdasarkan Undang-Undang Antisubversi lama. Kalau kasusnya diancam hukuman seumur hidup, kedaluwarsa hukuman baru terjadi pada tahun 2009 (tahun 1985 plus 24 tahun). Sementara itu, bila kasusnya diancam pidana 20 tahun, hukuman menjadi kedaluwarsa sejak tahun 2001 (tahun 1985 ditambah 16 tahun).

    Kalau demikian, bagaimana dengan pintu nonhukum alias jalan politik? Tentu yang digunakan adalah lembaga amnesti untuk membebaskan K.H. Abu Bakar Ba'asyir. Lembaga ini sudah beberapa kali digunakan pemerintah semasa Presiden Habibie dan Abdurrahman Wahid untuk membebaskan tahanan politik dan narapidana politik.

    Namun, penerapan amnesti perlu menilik pertimbangan pada Keputusan Presiden Nomor 449 tanggal 17 Agustus 1961 tentang Pemberian Amnesti dan Abolisi kepada orang-orang yang tersangkut pemberontakan. Dalam keppres itu disebutkan secara terbatas pelbagai tindak pidana yang akan diberi amnesti dan abolisi (pengguguran tuntutan hukum). Tindak pidana yang dimaksud adalah delik yang aturannya sampai sekarang tidak dihapus.

    Dengan demikian, amnesti dan abolisi yang pernah dilaksanakan di Indonesia tidak ditujukan terhadap peristiwa hukum karena adanya pencabutan undang-undang, tapi untuk aturan yang tetap ada dan berlaku. Artinya, agak kurang pas bila Ba'asyir dibebaskan lewat amnesti.

    Ada juga kemungkinan Ba'asyir memanfaatkan lembaga grasi. Itu kalau Ba'asyir mau. Soalnya, grasi bisa juga ditafsirkan bahwa Ba'asyir mengakui kesalahannya tapi meminta ampun kepada presiden.

    Mungkin yang pas adalah penerapan hukum arbitrary bagi Ba'asyir. Konsep hukum arbitrary menunjukkan bahwa hukum dibuat dan dilaksanakan berdasarkan politik kesewenang-wenangan dan pelanggaran hak asasi manusia. Konsep ini juga dijadikan pertimbangan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1999, yang mencabut Undang-undang Antisubversi Tahun 1963. Dalam penjelasan umum alinea kelima undang-undang baru itu, yang bisa dikatakan pula sebagai "pengakuan dosa" pembuat undang-undang, disebutkan bahwa kenyataannya Undang-Undang Antisubversi Tahun 1963 telah menimbulkan ketidakpastian hukum, keresahan, ketidakadilan, dan pelanggaran hak asasi manusia, yang tak sesuai dengan prinsip berdasarkan hukum.

    Bagaimana mengimplementasikan hukum arbitrary, agaknya, bisa melalui terobosoan hukum oleh MA lewat vonis peninjauan kembali terhadap Ba'asyir. Atau bisa dengan semacam kearifan politik dari presiden lewat amnesti, dengan catatan ada narapidana politik selain Ba'asyir yang juga patut dibebaskan. Tentu pembebasannya dibarengi dengan rehabilitasi dan ganti rugi.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus