Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG pemuda tiba-tiba saja nyelonong ke bagian depan Masjid At-Tin, Jakarta Timur. Dia seperti tak peduli dengan dua saf atau barisan di depannya. Sesosok pria bertubuh tinggi besar ternyata yang menjadi sasarannya. Sampai di tujuan, pemuda itu langsung memburu tangan Habib Munzir Almusawa. Tak hanya mencium, dia menyapukan wajahnya ke seluruh punggung tangan Habib.
Lelaki itu beruntung. Coba lihat yang dialami Arifin, 22 tahun, anggota jemaah lainnya. Siang tiga pekan lalu, dia harus menerima kenyataan berada di bagian luar masjid. Maklum, jemaah sudah menyemut. Kesempatan mencium tangan sang Habib pun tinggal angan. Toh, dia sudah merasa gembira tak tertahankan bisa hadir di sana.
Arifin, mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, sudah pasti hanya salah satu dari jemaah yang memburu setiap kali Habib Munzir berdakwah. Ke mana pun dia pergi, mereka selalu hadir. ”Saya merasa sudah cocok saja. Selain karena saya dijodohkan oleh Habib, dia pun memiliki karisma. Enggak bisa diungkapkan dengan kata-kata,” kata Arifin panjang lebar.
Habib Munzir Almusawa, 35 tahun, memang menjadi tujuan kedatangan mereka ke masjid di Taman Mini Indonesia Indah itu. Pada saat bersamaan, hadir pula Yusuf Mansur, yang juga tak kalah kondang. Pengajiannya, Wisata Hati, punya banyak anggota jemaah. Malah, dai bertubuh mungil ini juga sempat membuat film untuk cara dakwahnya.
Inilah fenomena baru dalam dakwah di Tanah Air. Setelah sekian lama panggung ini diisi oleh dai lokal, taruh kata macam Aa Gym, Arifin Ilham, atau Yusuf Mansur, kini panggung dakwah mulai diisi dai keturunan Timur Tengah. Hal ini seperti mengulang apa yang terjadi pada 1970-an. Saat itu, nama seperti Habib Ali al-Habsyi di Kwitang dan Habib Abdurahman Alaydrus tergolong dai yang kesohor.
Nah, waktu berlalu, kini giliran generasi berikutnya yang tampil. Lihat saja yang terjadi saban Senin malam di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan. Anak-anak muda datang dari segala arah untuk mengikuti dakwah dari Habib Munzir, yang memimpin Majelis Rasulullah. Tua-muda tumplek jadi satu.
Menjelang tengah malam, mereka masih ada di sana mengikuti dengan takzim ceramah yang diberikan sang Habib. Bila dihitung kasar, jemaah mereka mencapai hingga 10 ribu orang, termasuk Jusuf Kalla, orang nomor dua di negeri ini. ”Beliau sering ikut Majelis Rasulullah,” kata Habib Munzir Almusawa. Kalla juga hadir pada saat majelis ini menggelar dakwah di Taman Monas, dua pekan lalu.
Hal yang kurang lebih sama terlihat pada jemaah Nurul Musthofa pimpinan Habib Hasan Ja’far Assegaf. Seperti halnya Munzir, Hasan yang baru berusia 31 tahun itu kebanjiran jemaah setiap kali tampil di atas mimbar.
Bukan pemandangan aneh bila setiap pengajian digelar, jemaahnya selalu meluber hingga ke keluar masjid. Untuk mengakomodasi jemaah, pengurus memasang sejumlah layar. ”Bisa sampai lima layar kita pasang,” kata Abdulrahman, asisten Hasan Assegaf.
Kini hampir tak ada waktu yang tersisa. Saban malam, dia mengisi berbagai majelis. ”Sampai tahun depan, jadwalnya penuh, jadi mesti antre,” kata Abdulrahman. Melihat jumlahnya yang selalu membeludak, diperkirakan mereka mencapai lebih dari 25 ribu orang.
Tentu perjalanan ini tidak diraih dengan mudah. Mau tahu pada awal Munzir memulai dakwahnya? ”Hanya sembilan orang,” katanya. Hal itu terjadi pada 1998. ”Awalnya saya mengajarkan ilmu fikih,” katanya. Namun ia melihat masyarakat menginginkan yang lebih dari hanya sekadar ilmu ibadah. ”Mereka lebih banyak bertanya tentang kenapa kita harus beribadah,” kata Munzir, yang menyelesaikan studi di Yaman.
Menyadari kebutuhan jemaahnya, ia mengemas dakwahnya dengan sentuhan kelembutan. ”Karena senangnya mereka duduk dan hadir mendengarkan penyampaian yang lembut dari kasih sayang Allah SWT dan budi pekerti Rasul,” kata Munzir ihwal bertambahnya jemaah Majelis Rasulullah.
Hal serupa dialami Habib Hasan bin Ja’far Assegaf, yang memulai dakwah pada 1998, saat dia berusia 21 tahun. Waktu itu jemaahnya 10 sampai 20 orang. Hasan bin Assegaf, yang lulusan Pondok Pesantren Daarul Hadits al-Faqihiyyah, Malang, Jawa Timur, memberikan pengajian dari rumah ke rumah dan kemudian berkembang ke berbagai musala.
Rupanya, ada hal baru yang dirasakan jemaahnya. Dalam setiap dakwahnya, mereka steril dari guyonan yang sudah menjadi ciri umum para dai di negeri ini. Bahkan dalam setiap tausiyah mereka membawakannya dengan serius.
Mereka memiliki pakem dalam berdakwah. Majelis Rasulullah, misalnya. Habib Munzir memulai dengan membaca selawat, pemberian tausiyah, dilanjutkan pembacaan zikir, dan ditutup dengan kesenian hadroh. ”Itu sudah standar kami,” ujar Habib Munzir.
Sedangkan Nurul Musthofa memulai dengan pembacaan tahlil, pembacaan ratib, atau pujian. Itu berlangsung selama 15 menit. Setelah itu, dilanjutkan dengan pembacaan Asmaul Husna dan ayat-ayat suci Al-Quran. Akhir acara adalah pembacaan ringkas sejarah Rasulullah.
Meskipun demikian, ada hal penunjang lainnya, yakni soal penampilan. Imamah (kopiah penutup kepala), gamis putih yang menjulur hingga mata kaki, dan jubah yang menyelimuti gamis menjadi penampilan standar. Tambahan lain, bolehlah dengan kacamata hitam seperti yang sering dipakai Hasan Ja’far Assegaf, dalam setiap penampilan.
Lantas bagaimana mereka menjalankan segala kegiatan? Habib Munzir berkisah, majelisnya mengandalkan infak dari jemaah dan bantuan tidak tetap dari donatur. ”Ya, ada satu-dua…,” katanya. Tatkala hadir di Gema Ramadan XL di At-Tin, majelis ini mendapat infak dari PT Exelcomindo Rp 50 juta. Namun ternyata sosok Habib Munzir tetap bersahaja. Kini sehari-hari dia cukup mengendarai sedan berwarna perak keluaran akhir 1990-an.
Sedangkan habib lainnya, yakni Hasan, membangun aula di sekitar rumahnya di kawasan Ciganjur, Jakarta Selatan. Gedung itu untuk kepentingan taklim. Semua tak lain merupakan upaya mereka agar Hasan dapat langsung menyapa masyarakat khususnya pemuda.
Hasan, menurut Abdulrahman, asistennya, tak ingin dakwahnya ”seperti bohlam”. Punya masa terang, lalu mati.
Irfan Budiman, Iqbal Muhtarom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo