TEKANAN darah tinggi bukanlah penyakit misterius, tidak segelap AIDS, misalnya. Namun, penyebab kematian yang tergolong tinggi di Indonesia ini ternyata mengandung misteri. Seperti pada AIDS, yang sampai kini tidak bisa dipastikan virus penyebabnya, hipertensi alias tekanan darah tinggi hampir-hampir mirip itu. Memang, kalau seseorang gampang naik darah, gampang mengamuk, atau setidaknya hampir tiap hari pusing kepala, maka cepat bisa disimpulkan bahwa ia terkena darah tinggi. Dan dugaan ini biasanya jarang meleset. Namun, jangan sampai Anda tidak percaya kalau dikatakan bahwa sekitar 90 persen kasus hipertensi sampai kini tidak diketahui sebabnya. Aneh, memang. Penyakit tekanan darah tinggi yang tidak dikenal sebab-musababnya itu oleh para dokter disebut "hipertensi primer" atau "hipertensi esensial". Dan sepuluh persen sisanya justru datang karena sebab lain, artinya sebagai komplikasi penyakit lain, seperti penyakit ginjal atau peninggian hormon tertentu. Pada umumnya, tekanan darah cenderung naik sesuai dengan meningkatnya umur seseorang. Itulah sebabnya, hipertensi lebih banyak terjadi pada manula (manusia lanjut usia). Sebetulnya, hipertensi sendiri tidak membahayakan. Yang mengganggu adalah komplikasi yang ditimbulkannya di belakang hari, seperti penyakit jantung, ginjal, dan saraf. Hipertensi memang tidak muncul tiba-tiba. Penyakit ini datang perlahan, tahap demi tahap. Bisa saja selama bertahun-tahun penderita tak merasakan gejala apa pun. Inilah masa laten yang menyelubungi perkembangan penyakit. Selama masa laten ini, organ-organ tubuh mulai mengalami perusakan. Kalaupun gejala-gejala muncul pada masa ini, sering tidak khas benar. Penderita mungkin cuma mengeluh pusing atau sakit kepala biasa. Repotnya, sering hipertensi ketahuan jelas sosoknya setelah umur makin renta. Pada saat itu banyak organ sudah mulai aus -- ini sejalan dengan proses ketuaan (degenerasi) yang terjadi di semua sel tubuh kita. Mungkin situasi yang nyaris seperti ini membuat para ahli antusias untuk menelitinya. Sabtu pekan lalu, misalnya, mereka berkumpul dalam Simposium Hipertensi Pada Manula, di Hotel Hyatt Aryaduta, Jakarta. Diselenggarakan oleh Bagian Kardiologi FKUI, bekerja sama dengan RS Jantung Harapan Kita, simposium itu menghadirkan beberapa ahli, seperti dr. Nurhay Abdurrachman, kardiolog FKUI Arini Setiawati, Ph.D., ahli farmakologi FKUI dan dr. J. Irawan Sugeng, kardiolog RS Harapan Kita. Menurut para ahli, angka hipertensi sering disesuaikan dengan jenis kelamin dan usia penderitanya. Tapi sebagai patokan umum digunakan angka 160/95 mm air raksa (mm Hg). Artinya, jika tekanan darah seseorang ada di atas angka itu, ia bisa dikategorikan menderita hipertensi. Tentu saja 160/95 bukan harga mati. Angka hipertensi bisa sangat bervariasi, sesuai dengan derajat penyakitnya: ringan, sedang, ataupun berat. Yang jelas, berapa pun angka tekanan darah seorang penderita hipertensi, ia perlu segera menurunkannya. Menurut Irawan Sugeng, penurunan tekanan darah pada penderita hipertensi mesti dilakukan secara bertahap. "Biasanya dimulai dengan diet rendah garam, mengurangi kegemukan, alkohol, dan stres," katanya. Obat antihipertensi baru diberikan jika semua usaha itu belum juga menolong. Adapun pada manula, hipertensi sering disertai dengan banyak penyakit lain, hingga dalam pengobatannya mesti diperhatikan adanya penyakit lain yang menyertai, seperti lemah jantung, kencing manis, penyakit paru, dan penyakit ginjal. "Adanya penyakit-penyakit itu akan mempengaruhi pemilihan obat antihipertensi," ujar Irawan. Sejalan dengan pendapat Irawan, dr. Nurhay Abdurrachman mengingatkan bahwa pembenan obat pada manula perlu lebih hati-hati. "Orang tua biasanya lebih peka terhadap obat," ujar Nurhay. Karena itu, para ahli menekankan penananan yang bersifat menyeluruh. Misalnya pemberian obat antihipertensi tak boleh membebani jantung yang sudah melemah atau membebani organ napas yang mulai kembang-kempis. "Penanggulangan hipertensi pada orang tua harus dilakukan secara holistik (menyeluruh) karena eratnya hubungan satu organ dengan organ yang lain," kata Nurhay lagi. Maka, pilihan bisa dijatuhkan, misalnya, pada ketanserin, sebuah obat yang juga dibicarakan pada simposium. Menurut Arini Setiawati, Ph.D., ketanserin terutama efektif pada penderita yang pembuluh darahnya sudah rusak, disebabkan oleh kakunya pembuluh dan kencing manis. Pada pembuluh yang rusak sering terjadi penggumpalan sel pembeku darah (trombosit aggregation) yang memacu munculnya serotonin, at yang berperan pada munculnya hlpertensi kronis seperti pada manula itu. Irawan mengatakan, pada manula yang menderita hipertensi, kepekaan trombosit terhadap serotonin meningkat. Bahkan pembuluh darah pun lebih peka pada serotonin. Akibatnya, peranan serotonin sebagai "penyebab" hipertensi -- pada manula -- bertambah besar. Maka, tak aneh jika kemudian dokter berusaha mengurangi efek serotonin ini dengan ketanserin. Sebab, obat ini diketahui mampu menghambat munculnya serotonin -- ia digolongkan S-2 Serotonergic antagonist. Menurut Irawan, berhubung efek vasodilator (melebarnya pembuluh) yang dihasilkan obat ini baru nyata setelah 2 minggu dan maksimal setelah 8-12 minggu mungkin obat ini ideal untuk hipertensi pada manula. Karena efek yang datang perlahan itu, maka kemungkinan terjadinya iskemia serebri (kosongnya pembuluh otak) akibat pengobatan juga bisa dihindarkan. Selain itu, ia diketahui bisa menghalangi penumpukan trombosit, menurunkan lemak dan bisa digunakan bagi manula penderita hipertensi yang juga berpenyakit asma, kencing manis, dan lemah jantung. Tapi itu semua adalah hasil penelitian di luar negeri. "Untuk penderita di Indonesia masih harus diteliti lebih lanjut," kata Irawan. Syafiq Basri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini