SEORANG Senator Amerika pekan silam tampak menjadi tamu pemerintah. Ernest Hollings, Senator dari Partai Demokrat, selama kunjungannya di Jakarta diterima Menteri Perdagangan, Menteri Luar Negeri, Ketua DPR/MPR, sampai dengan Presiden Soeharto. Holling cukup dikenal. Dialah yang berperan besar menyusun sebuah RUU berbau proteksionis yang kini sangat dirisaukan kalangan pengusaha tekstil di Indonesia. "Senator memang diundang pemerintah supaya kita bisa mengetahui apa sebenarnya keinginan Amerika dengan Hollings' Bill," tutur Menteri Muda Perdagangan Soedrajad Djiwandono kepada TEMPO. Dari pertemuan Hollings dengan Menteri Perdagangan Arifin Siregar, Soedrajad mendengar bahwa Hollings dan para senator lainnya berniat mengubah sebagian besar kuota tekstil di pasar AS. Kuota yang selama ini dibagi-bagikan kepada negara-negara berkembang nantinya akan dipotong tinggal sekitar 20%. Selebihnya dilepaskan sebagai kuota global. Itu berarti, sebagian besar pasar tekstil yang selama ini dibuka di AS akan dilemparkan bagaikan sebuah kue untuk diperebutkan negara-negara pengekspor tekstil. Tinggal sekitar 20% dari pasar tekstil AS yang nantina dibagikan kepada negara-negara berkembang. Senator Hollings dan rekan-rekannya, menurut kesimpulan Soedrajad, ingin menjalankan perdagangan berasaskan timbal balik (reciprocity) pada negara-negara yang mendapatkan kuota. "Jelas, RUU itu tidak sesuai dengan perjanjian serat multilateral (MFA), dan aturan main perdagangan dunia yang diatur dalam GATT," kata Menteri lagi. Sebab, asas timbal balik itu hampir sama dengan barter, yakni sistem yang berlawanan dengan keinginan dunia. Keinginan internasional sekarang, perdagangan dilakukan bebas antara berbagai negara. "Jelas, RUU itu cukup memprihatinkan. Kalau sistem itu diberlakukan oleh sebuah negara kecil, mungkin tidak akan terlalu mempengaruhi sistem perdagangan dunia. AS kan sebuah negara terkuat di dunia," kata Soedrajad. Dan kalangan pengusaha Indonesia sudah memberikan tanggapan. Ketika senator itu diperkenalkan Duta Besar Wolfowits dalam suatu acara cocktail di rumah Dubes AS, Ketua FITI (Federasi Industri Tekstil Indonesia) H. Aminuddin langsung menyodorkan sebuah memorandum. Memorandum singkat FITI itu intinya meminta sang senator agar meninjau kembali Hollings' Bill. Sebab, menurut FITI, UU itu tak pantas diberlakukan AS, negara yang dikenal sangat getol mengampanyekan perdagangan bebas, sehat, dan wajar. Hollings' Bill juga cukup merisaukan FITI. Sebab, UU itu akan akan memotong kuota ekspor tekstil Indonesia ke AS. Kelak, hal itu bakal menghambat ekspor komoditi nonmigas Indonesia, sekaligus mengancam kehidupan sekitar 1,8 juta warga yang bekerja di industri tekstil. Tapi, menurut Soedradjad, Hollings' Bill sebenarnya tidak akan terlalu merugikan Indonesia. Kalau yang 80% kuota diglobalkan, berarti para eksportir tekstil Indonesia harus bersaing. "Saya rasa kita harus bisa. Sebab, Amerika memang sudah mencanangkan akan memberlakukan kuota global mulai tahun 1992," kata Soedrajad. Sistem counter trade yang akan diberlakukan AS untuk negara-negara yang kebagian kuota 20% juga tidak menjadi masalah. Sebab, Indonesia mengimpor kapas cukup banyak dari Amerika. Toh Indonesia tetap tidak bisa mendukung UU itu. "Kita harus mempertimbangkan hal itu secara internasional," katanya. RUU yang condong proteksionistis itu sebenarnya bukan hal baru. Tahun 1985, Jenkin's Bill, sebuah RUU yang juga memotong impor tekstil, pernah lahir, kemudian diveto Presiden Reagan dan akhirnya gugur di parlemen AS, Agustus 1986. Hollings' Bill pun diduga bakal kena veto. Tapi bukan tidak mungkin akan lolos juga akhirnya. Semangat proteksionisme kini sedang melanda AS, dan belakangan sangat diberati beban politik, menjelang pemilu presiden November depan. Buktinya, pekan silam Presiden AS itu menandatangani sebuah UU Perdagangan Amerika, yang semangatnya gencar membalas negara-negara NICs -- terutama Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan. Tinggal kelihaian Indonesia untuk memanfaatkan peluang yang ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini