SETELAH berjalan baik untuk waktu yang cukup lama, terjadi juga benturan dalam perusahaan patungan Jepang-Indonesia, PT Inalum. Alkisah, menurut pihak Jepang, seperti direkam koresponden TEMPO di Tokyo, Otorita Asahan, sebagai mitra usaha Jepang, telah membuat suatu keputusan yang "merugikan pihak Jepang." Menurut yang empunya cerita, menjelang akhir Juni lalu Ketua Otorita Proyek Asahan, Abdoel Raoef Soehoed, telah meminta agar Direktur Utama PT Inalum, K. Yoshida, menghentikan pemasokan aluminium kepada lima pembeli di Jepang. Mereka yang selain langganan )uga memiliki saham di PT Inalum adalah: perusahaan Sumitomo Aluminium, Nihon Keikinzoku, Showa Denko, Mitsubishi Kasei, dan Mitsui Aluminium. Sayang, A.R. Soehoed belum bersedia memberi keterangan ketika TEMPO beberapa kali menghubunginya, sejak Jumat yang lalu. Kepada Tri Boedianto Soekarno dari TEMPO, Soehoed menyarankan supaya menemui Leon Sumantri, pejabat Otorita Asahan yang mengepalai bidang aluminium. Tetapi Sumantri pun sampai Senin petang awal pekan ini tak bersedla memberikan informasi. Tapi dari sumber-sumber yang dekat dengan Otorita Asahan, diperoleh keterangan mengapa sampai ketuanya menempuh cara yang agak keras. "Orang-orang Jepang itu kaku sikapnya, dan mereka bisa saja akan menyaingi industri aluminium di Indonesia, yang baru saja mulai bersemi," kata salah sebuah sumber tadi. Sikap yang agak keras dari Ketua Otorita Asahan itu pun punya latar belakang tersendiri. Itu, kabarnya, disebabkan agar jatah produksi Inalum diperbesar untuk memenuhi permintaan pasaran di dalam negeri. Tapi pihak Jepang, yang seluruhnya memiliki bagian saham sejumlah 59 persen, tak sepaham dengan keinginan Ketua Otorita Asahan yang jangkung itu. Mereka, sebagai mitra usaha, berpendapat setiap persoalan yang menyangkut operasi dan manajemen perusahaan patungan harus diputuskan setelah dikonsultasikan oleh masing-masing pemegang saham. Mereka keberatan untuk mematuhi suatu keputusan yang mereka anggap berat sebelah. Ichiro Shinba, Presiden Nippon Asahan Aluminium Co. Ltd., kabarnya sudah menyetujui bahwa bagian batangan aluminium yang akan disisihkan unuk memenuhi kebutuhan dalam negeri Indonesia ditingkatkan menjadi 41 persen, sesuai dengan jumlah sahamnya. Tapi Otorita Asahan, seperti dituturkan Shinba dalam sebuah suratnya bulan Juli lalu, telah mendesak untuk memperoleh bagian yang lebih besar lagi. Perusahaan yang mewakili semua pihak Jepang di Inalum itu menyatakan bahwa mereka sudah cukup banyak mengalah. Buktinya, Jepang sudah bersedia mengurangi jatah sejak tahun silam. Sejak mulai beroperasi tahun 1982, pabrik aluminium di Kuala Tanjung itu memang diwajibkan menutup kebutuhan pasar Indonesia. Tapi dalam Master Agreement, perjanjian yang diteken tahun itu juga, pemasokan ke pasar Indonesla ada batasnya iuga, yakm makslmal sepertiga dari seluruh produksi Inalum. Kalau saja Indonesia memperoleh bagian yang lebih besar, sebagian darinya agaknya bisa disisihkan untuk dijual ke luar negeri. Itu berarti pihak Otorita akan bisa mengumpulkan devisa yang lebih banyak, mengingat pasaran aluminium yang kini sedang naik daun. Di sekitar masa resesi tiga tahun silam, harga logam itu sempat terempas hingga US$ 1.100 per ton. Akibatnya, proyek Inalum yang dibangun ketika harga masih berkisar US$ 2.000 per ton itu menderita pukulan yang tidak sebentar. Itulah sebabnya, proyek yang telah menelan investasi lebih dari semilyar dolar AS itu harus mendapatkan suntikan modal lagi. Hal itu dilakukan tahun silam. Dan Indonesia kabarnya berhasil menambah modalnya sehingga menerima andil 41%. Kebetulan tahun silam pasar aluminium mulai membaik sehingga harga naik mencapai US$ 1.700 per ton. Tapi dalam semester terakhir ini ada gejala harganya mulai merosot. Agustus lalu harganya sudah turun lagi sampai US$ 1.600. Sementara itu, harga di bursa London untuk penyerahan di bulan November tercatat sekitar US$ 1.500 per ton. Tapi Otorita Asahan mengatakan, bukan soal pasaran yang membuat mereka meminta bagian yang lebih besar. Namun, pihak Otorita beranggapan bahwa sistem bagi hasil itu harus memperhitungkan juga fasilitas-fasilitas yang telah diberikan Indonesia. Antara lain penggunaan air Danau Toba serta fasilitas keringanan pajak. Tak jelas apakah fasilitas-fasilitas itu telah dipakai juga dalam Master Agreement tahun 1982. Sebab, ketika itu andil Indonesia masih sekitar 25%, tapi jatah untuk Indonesia ternyata bisa mencapai 33,3%. Pihak Jepang ternyata tak bisa menerima rumus perhitungan seperti itu. Pengalaman mereka, sistem bagi hasil proyek-proyek pengolahan sumber alam umumnya hanya mengikuti pola kepemilikan saham. Hanya dalam penambangan minyak ada rumus bagi hasil yang lain. Menurut mereka, adalah wajar jika tuan rumah menyediakan fasilitas seperti air energi, dan keringanan perpajakan kepada para investor asing. "Jika fasilitas seperti itu harus diperhitungkan juga, kami bisa meminta supaya diperhitungkan juga sumber pembiayaan jangka panjang yang murah (antara lain dari Bank Exim Jepang), teknologi dan pcngetahuan yang kami bawa," ujar pejabat dari NAA tadi. Para investor Jepang di Inalum juga tak bisa menerima kritikan A.R. Soehoed bahwa mereka ingin menyaingi industri aluminium yang baru mulai berkuncup. Sebab, pada pengamatan mereka, industri aluminium di Indonesia bisa tumbuh karena PT Inalum lancar memasok aluminium. Jadi, berkembangnya industri aluminium Indonesia erat kaitannya dengan lahirnya PT Inalum, hasil kerJa sama antara para swasta Jepang dan pemerintah RI. Tampaknya, setelah melalui perdebatan yang cukup keras, kedua belah pihak masih Ingin akan dicarikan suatu jalan keluar yang sama-sama menguntungkan. Sampai awal pekan ini, belum ada pejabat pemerintah yang bersedia memberikan tanggapan. Sementara itu, pihak pemerintah Jepang ternyata juga belum mau ikut campur tangan langsung dalam sengketa itu. "Kami sebagai pemerintah ingin melihat dulu perkembangan negosiasi antara para swasta di Inalum," kata seorang pejabat dari bagian perencanaan kebijaksanaan perdagangan MITI di Tokyo. Para pejabat dari Otorita Asahan belum mau memberikan informasi, barangkali karena suasana mendekati perundingan. Para investor Jepang pun, yang dihubungi TEMPO, juga mengatakan masih ingin menyelesaikan sengketa itu secara musyawarah. Penyetopan suplai aluminium Asahan ke Jepang sejak Juli lalu belum sampai menghentikan kegiatan lima pabrik aluminium Jepang. Seorang pimpinan dari salah satu perusahaan aluminium di Tokyo, yang dihubungi TEMPO pekan lalu, mengatakan bahwa ditutupnya arus pemasokan Inalum masih bisa dikompensasikan Jepang dengan mengimpor 10.000 ton dari negara lain. Menurut statistik MITI, Jepang mengimpor aluminium sebanyak 1.900.000 ton tahun silam. Pemasok utama antara lain: Australia sebesar 410.000 ton, Brasil 250.000 ton, dan dari AS sejumlah 200.000 ton. Indonesia merupakan pemasok terbesar ke-6 dengan menyuplai 140.000 ton. Tapi Jepang mengakui bahwa posisi Indonesia agak istimewa. "Kalau mengimpor dari negara lain, kami harus berunding dengan beberapa perusahaan. Sedang di Indonesia, kami hanya berunding dengan satu pihak saja," kata seorang pejabat dari NAA. Lalu, untuk apa timbul perselisihan yang sampai dibawa ke luar pagar Otorita Asahan, oleh para eksekutif dan pemegang saham Jepang? Syukurlah, kalau perbedaan pendapat itu tak sampai membuat proyek semilyar dolar itu sampai retak. Max Wangkar, Seiichi Okawa, Tri Budiono Soekarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini