SI burung merak W.S. Rendra seakan patah sayapnya. Setelah memadu kasih dengan berbagai perempuan -- selama bertahun-tahun -- ia akhirnya jatuh kasihan pada diri sendiri. Ia jenuh, atau barangkali juga ia sudah berubah. "Penyelewengan itu merepotkan," katanya terus terang. "Kalau satu minggu nyeleweng seks sampai lima kali, kita terpaksa harus berbohong lima kali pula," tutur Rendra. Bukan hal yang luar biasa bila Rendra berkencan dengan lebih dari satu wanita. Dalam permainan petak umpet yang menegangkan itu, kadang-kadang terjadi ledakan. Salah seorang pacar, misalnya, tiba-tiba nekat dan secara sengaja mengungkapkan hubungan mereka. Tak ayal lagi, pacar-pacar yang lain sakit hati dan terjadilah konflik. "Kalau kamu brutal, saya juga bisa brutal," ujar penyair itu, menirukan protes pacar-pacarnya. Sesudah itu, terjadilah balas-membalas. Semua itu mencapai klimaks pada terbongkarnya penyelewengan. Yang kena istri. Sakit hati lagi. "Akhirnya, saya capek," katanya. "Merasa, ah, aku ini sudah terlalu sering membohongi wanita." Suatu saat ia pun sampai ke tingkat di mana merasa bahwa menyakiti hati orang lain terasa bagaikan menyakiti diri sendiri. Dan Rendra pun memutuskan untuk menghentikan petualangannya, tanpa menjelaskan kapan titik balik yang penting itu terjadi. "Kalau mau punya teman kencan, memang harus kuat," ujar seorang tokoh yang tak mau disebutkan namanya. "Kuat untuk bilang 'tidak' sama si pacar, kuat dan pintar membagi waktu." Katanya, teman kencan sering jadi berbahaya. Khususnya apabila hubungan sudah jauh berlarut-larut. Pada tahap itu, sang pacar bisa meneror istri. "Kalau sudah begini, habislah dia, walaupun tadinya saya menggebu-gebu." Pria flamboyan ini mengaku, biasanya sudah dari awal ia menegaskan bahwa keluarga dan istrinya adalah nomor satu. "Jadi, jangan ada yang berani mencoba mengutak-atik keluarga saya." Tampak jelas bahwa orang penting ini agak mendua sikapnya, satu hal yang mungkin bisa ditemukan juga pada banyak pria lain. Ia tak bersedia memutuskan kencan, tapi juga bersiteguh agar keluarganya tetap tegak. "Kebetulan istri saya bijaksana, dan saya punya prinsip, saya toh kembali ke rumah dengan utuh." Seperti banyak bos, khususnya yang punya kedudukan penting, ia menjalin hubungan ekstramarital (hubungan luar nikah) tidak dengan WTS. Mengapa? "Karena saya tidak mendapat kepuasan mental. Kencan 'kan untuk kepuasan mental, tidak hanya fisik saja." Pacar-pacarnya memang bukan wanita sembarangan. Punya posisi dan tergolong wanita-wnita terhormat -- paling tidak di mata umum. Kencan pun jadi "canggih". Pada dasarnya, katanya berteori, pria ingin disanjung, dimanja. Pria yang sudah menikah selama 25 tahun ini beranggapan bahwa punya teman kencan tidak harus dikatakan menyeleweng. Kencan, dalam anggapannya, adalah usaha pria normal mencari kesegaran. Ia tidak mengatakan bahwa tuntutan selera pria semakin beragam, sementara di pihak lain, wanita juga begitu. Ia juga tidak menjadikan kehidupan rumah tangga yang rutin sebagai kambing hitam. Di samping itu, ia tetap prototip pria Indonesia yang mengharamkan penyelewengan istri, sementara ia boleh berbuat sesuka hati. "Pada dasarnya, cowok memang rakus perempuan," ujar pembalap terkemuka Chandra Alim. Diakuinya, ia tidak terkecuali. "Ada tiga hal yang tidak terpisahkan di dunia balap: uang, cewek dan minum. Cewek ngerubuti pembalap itu biasa. Di situ malah letak glamour-nya"' ujar Chandra tanpa menyembunyikan rasa bangganya. Tapi ia juga melihat bahwa wanita zaman sekarang lain. Kata pembalap ini, banyak wanita yang sama gencarnya dalam hal mengeJar lawan jenisnya. Mereka sampai-sampai membagi pria ke beberapa kelompok, berdasar ukuran menarik tidaknya dari segi seks: "Yang paling top, menurut mereka, adalah duda, sesudah itu lelaki yang punya istri,' ujar Chandra. "Kalau tidak mendapat pria jenis ini, baru mereka mencari berturut-turut, playboy, gigolo, dan terakhir daun muda." Chandra, yang lulusan fakultas ilmu sosial dan bekerja sebagai kepala cabang PT Unilever di Lampung itu, bertutur lebih jauh. "Kalau seorang wanita mulai menceritakan masalah rumah tangganya, itu tanda bahwa kencan akan bisa menjadi lanjut." Bagaimana melanjutkannya? "Ya, harus berpengalaman menggunakan bahasa badan ...." ujar Chandra, lalu membeberkan rahasianya. Kendati populer dan pengagumnya banyak, ia mengaku tidak mudah menumpahkan perasaan yang dalam pada wanita-wanita kawan kencannya. Apa karena ia sudah menikah? Sulit juga bagi Chandra untuk menjawabnya. "Pokoknya, kalau sudah serius, sehingga melibatkan emosi, itu nyeleweng namanya." Dan seperti hanya tokoh di atas, Chandra tidak bisa menoleransi kalau istrinya menyeleweng. Dia sendiri berusaha menahan diri, "tapi kalau mau mengurangi, nggak bisa sekaligus, harus sedikit-sedikit." Hubungan luar nikah, menurut seorang dokter yang tak mau disebutkan namanya, terasa mengejutkan kalau dilihat siapa-siapa pelakunya. Di masa lalu, hubungan ini didominasi pelacur, tapi sekarang mungkin tidak lagi. Dokter itu mengutarakan pengalamannya dalam mcnjalin perasaan dengan seorang ibu rumah tangga yang tergolong baik-baik. Cara ibu itu sungguh-sungguh canggih. "Ia tidak langsung mengajak dan menentukan di mana," ujar sang dokter. Untuk mengamankan hubungan, penjadwalan waktu menjadi sangat penting. Maka, si ibu rumah tangga lalu memberikan jadwal tetap kegiatannya selama seminggu. Jam sekian ia mengantar anaknya les balet, jam sekian arisan, jam sekian soppng. Jadwal itu tentunya sengaja dilonggarkan pada jam-jam tertentu. Baik di antara dua acara atau, "Antara jam sekian sampai jam sekian saya tidak punya kegiatan sama sekali." Daftar itu cuma punya satu arti. Kita tahu apa. Apa komentar sang dokter? "Jangan dikira yang gemar main gila itu hanya wanita pekerja. Justru yang diam di rumah ada kalanya berani seperti itu." Dan pengalaman unik seperti ini bukan cuma dia sendiri yang merasakannya. Seorang sarjana ilmu sosial pernah ditraktir jalan-jalan keluar negeri oleh seorang nyonya penggede. Dengan sedikit malu, diakuinya bahwa dalam perjalanan itu, akhirnya ia bertugas sebagai pendamping luar dan dalam. "Apa yang selama ini saya dengar dan saya amati ternyata bisa terjadi pada diri saya sendiri," tutur sarjana itu seraya menghela napas. "Dan setelah itu, kalau saya berlagak genit pada beberapa ibu, ternyata ada respons." Nah, ini sudah lampu kuning, setidaknya bagi lembaga perkawinan di negeri ini. Kini, sebagai seorang pengamat sosial, ia mempermasalahkan apakah karena keroposnya lembaga perkawinan maka orang-orang semakin bebas, atau kebebasan begitu mencuat hingga mengancam lembaga perkawinan. Ia condong pada kemungkinan kedua. Dan kalau dugaan saya benar, ini berarti seluruh tatanan masyarakat kita sedang mengalami perubahan." Soalnya adalah berubah ke arah mana. Linda Djalil, Budiono Darsono (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini