PERTOKOAN di Jalan H. Agus Salim, Jakarta, sudah tutup sejak pukul sembilan malam. Tapi dentum musik rock yang menggelegar menggoyang tubuh cewek-cewek yang berdiri di dekat pintu-pintu mobil yang diparkir di sana. Sembari mengisap rokok dan makan-minum, mereka itu memajang diri alias ngeceng, sampai dinihari. Tak jelas benar, apakah cewek yang suka memperagakan diri itu termasuk yang mudah digaet atau tidak. Tapi, menurut seorang psikolog yang rajin mengaman, remaja-remaja putri ini bisa dibedakan, mereka yang sekadar jual tampang, mereka yang berpacaran seraya berhubungan seks, atau mereka yang terlibat dengan oom-oom sambil mengharapkan imbalan. Tiga kelompok inilah yang sering disebut sebagai "perek", singkatan dari perempuan eksperimen. Perek yang cari duit biasanya senang bersolek. Tipe ini tentu bukanlah tipe yang sempat menulis buku harian, karena mereka memang tidak punya waktu untuk itu. "Yang penting, pakai make-up," kata Wieke, remaja 18 tahun yang betah jual tampang di RB (Roti Bakar Edi di Pasar Kaget) atau di Baskom (Bakso Kumis) sepanjang jalur hijau Jalan Dharmawangsa VIII, Jakarta. Kendati demikian, ternyata mereka tak semata-mata mencari uang sepertl umumnya pelacur. "Mereka minta uang, tapi pakai alasan untuk temannya yang perlu duit atau alasan-alasan lainnya," ucap Panky, 34 tahun, yang mengaku pernah mengajak kencan seorang perek dari Jalan H. Agus Salim. Tempat mereka beroperasi bukan hanya di pinggir-pinggir jalan. Perek biasa menggerogoti kocek oom-oom di diskotek, coffee shops, dan lobi hotel-hotel mewah. Sebuah penelitian untuk penyusunan skripsi dilakukan selama hampir setahun oleh Sugeng Wisnubroto dari Jurusan Kriminologi FISIP-UI (1986) -- mengungkapkan bahwa remaja perek biasanya meminta duit kepada para oom sebelum mereka bilang oke. Begitu duit diberikan, mereka berdalih macam-macam. "Sabtu depan saja, Oom," itu cara mereka berkelit. Hanya dalam keadaan terpojok, mereka bersedia melayani pria-pria iseng yang kurang dikenalnya. Itu pun ada syaratnya: si lelaki harus bonafide. Kemahiran menolak ajakan lawan jenisnya itulah yang membedakan mereka dari WTS. Kalaupun mereka mau terlibat hubungan seksual, maka itu hanya dilakukan dengan pria yang disukai atau dikenalnya. Tanpa imbalan duit. Setelah itu, perek cenderung membina hubungan dengan lelaki tersebut, baik sebagai teman biasa atau sebagai teman kencan setengah permanen. Penasihat perkawinan, Ibu Kar, yang mengasuh rubrik dari Hati ke Hati di majalah Femina, prihatin mendengar adanya gejala serba boleh atau permissiveness di kalangan remaja perek. "Jika betul gadis-gadis itu berkencan dengan oom-oom dan tak keberatan kehilangan kegadisannya, sungguh menyedihkan sekali. Apalagi imbalannya sekadar ditraktir makan," katanya dengan bulu roma berdiri. Tak jarang ditemukan perek yang berasal dari keluarga mampu. Hasil penelitian Sugeng juga mengungkapkan bahwa penyimpangan peri laku remaja-remaja ini berumur sekitar 20 tahun -- antara lain terletak pada kerapuhan hubungan orangtua dan anak. Ada indikasi, kedua orangtua mereka sudah hidup berpisah. Ada yang karena ayahnya menyeleweng dengan perempuan lain, ada pula yang ayahnya suka kawin. Di samping itu, sebelum terjun menjadi perek, mereka telah melakukan senggama di luar perkawinan. Beberapa di antaranya pernah hamil dan melakukan aborsi. Menyedihkan. Namun, tak semua sesuram itu nasibnya. "Kalau saya, Insya Allah, belum pernah. Dalam Quran, itu 'kan dilarang. Bagaimanapun, hukum karma itu berlaku. Gimana, hayo?" tanya Wieke, yang mengaku tak ada permasalahan serius yang dihadapinya, ataupun orangtuanya. Perek membentuk semacam kelompok yang erat hubungannya. Di dalam kelompok Ini mereka menanamkan solidaritas yang tinggi. Mereka biasanya menyewa rumah secara patungan atau indekos -- meskipun mereka sebagian punya orangtua yang tinggal di kawasan permukiman elite. "Cuma sayangnya, ada juga teman yang kalau nginap suka nge-bye (mencuri) pakaian atau perhiasan," ujar Risanti, 14 tahun, anak keluarga berada yang tinggal di Kemang, Kebayoran Baru. Dalam hal ngeceng, mereka tak selalu bertahan di satu tempat. Seorang remaja yang suka pasang aksi di RB juga suka keluyuran di supermarket di Melawai, nongkrong di sebuah kedai es krim di Kebayoran, berkumpul sampai larut malam di supermarket di Kemang, atau masuk ke roller skate disco. Pokoknya bersenang-senang. Semangat hedonisme yang mengagungkan gaya hidup hura-hura memang ciri khas perek. Lihat saja penampilan mereka. Pakaian dan sepatu bagus-bagus, tak jarang eks impor. Rokoknya impor, keliling kota naik mobil, berdisko ria di diskotek, menenggak minuman keras dan obat-obat yang bikin teler, atau terlibat narkotik. Gara-gara narkotik dan minuman keras juga tempat mereka mangkal dan kebutkebutan di Taman Kodok -- belakang stadion Menteng -- digerebek polisi beberapa tahun silam. Di Taman Kodok itulah sebuah taman yang berukuran tak lebih dari 500 m2 di dekat Jalan Situbondo, Menteng perek untuk pertama kali mencuat sebagai gejala baru pada akhir 1981. Setelah itu, mereka pindah ke Jalan H. Agus Salim, kemudian bergeser ke Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat. Kota Surabaya juga sudah kejangkitan perek tahun-tahun belakangan ini. Reporter TEMPO Zed Abidin mengidentifikasikan mereka sebagai remaja usia sekolah, dan umumnya dari keluarga menengah Surabaya. Mereka suka ngeceng di sekitar Jalan Kusuma Wijaya, Jalan Sedap Malam, dan jalan-jalan lain di sekitar Kantor Kota Madya Surabaya. Malah ada beberapa perek yang sudah mulai berkeliaran di depan pusat perbelanjaan megah di Surabaya. Mereka suka sekali ditraktir ke disko dan restoran-restoran. Ada kalanya mereka dikirimkan kepada lelaki hidung belang di tempat rekreasi Kenjeran atau Tretes, 50 km dari Surabaya, oleh pacar-pacar mereka sendiri. Lain dengan Bandung. Perek di sini lebih terkenal sebagai bondon -- boncengan Don Juan. Ada pula yang menyebut bondon kependekan dari boneka donto (molek). Mereka berkeliaran di sebuah bar dan restoran di Jalan Kepatihan. Juga suka jual tampang di Jalan Ir. H. Juanda, Dago, dan di Jalan Terusan Pasteur. Kalau ada yang cocok, biasanya mereka naar boven ke Lembang yang dingin itu. Kini hampir di semua wilayah Jakarta ada kelompok-kelompok perek. Ada kelompok Kebayoran, Kelompok Permen (Perek Menteng), Kelompok Rawamangun. Bahkan pada pengakuan seorang di antara mereka kepada Budiono Darsono dari TEMPO, ada semacam "danrek", komandan perek, pada setiap kelompok itu. Setiap kelompok kecil ini dilengkapi dengan pasukan pelindung. Yang ini terdiri atas kaum pria. Pasukan pelindung suka berhubungan dengan pasukan pelindung dari kelompok lainnya. "Sekadar bertukar informasi saja," ujar danrek kelompok Sabang, seorang mahasiswi dari sebuah perguruan tinggi ternama di Jakarta. Ada semacam etika, agar setiap kelompok saling menghormati. Perek Sabang boleh-boleh saja nongkrong di RB di Kebayoran Baru, asal tak mengganggu. Begitu juga sebaliknya. Konon, danrek-danrek ini selain tersebar di Jakarta juga ada di Surabaya dan Bandung. Masa jabatan seorang danrek umumnya hanya setahun. Awal September ini, misalnya, akan diadakan pemilihan danrek Sabang yang baru, di depan sebuah toko serba ada, di malam hari tentu saja. Bachtiar Abdullah (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini