TIKUS ampuh menyebarkan demam berdarah. Kesimpulan mengejutkan ini dipublikasikan oleh John Hopkins Medical Center di Amerika Serikat belum lama ini. Dr. James Childs dari pusat kesehatan itu menemukan, dua pertiga dari ribuan tikus di Baltimore yang ditangkap untuk diteliti sudah terinfeksi virus penyebab demam berdarah (haemorrhagic fever). Virus yang menjangkiti tikus-tikus tersebut dari jenis virus hanta. Virus ini salah satu dari sejumlah virus penyebab demam berdarah yang kebanyakan belum bisa diidentifikasi sampai kini. Sejauh ini, memang masih banyak seluk-beluk demam berdarah yang belum terungkap. Dalam pada itu, virolog Suprapti Thayeb awal 1960-an berhasil mengisolasi virus dengue yang menimbulkan demam berdarah di Indonesia. Virus ini ditemukannya berkembang biak dalam tubuh nyamuk jenis Aedes aegypti. Makanya, wabah demam berdarah di Indonesia (dan di kawasan Asia Tenggara) dipastikan berjangkit melalui gigitan nyamuk. Gejala klinis demam berdarah yang diakibatkan virus hanta kurang lebih sama dengan demam berdarah yang disebabkan virus dengue. Penderita terkena renjatan (syok) yang bisa mengakibatkan kematian dalam waktu singkat, setelah darah keluar dari permukaan kulit di seluruh tubuh. Bedanya, demam berdarah akibat virus hanta menimbulkan kerusakan ginjal, sedangkan demam berdarah akibat virus dengue merusak limpa dan hati. Kendati sebagian besar tikus di Baltimore membawa virus demam berdarah, belum tercatat terjadinya epidemi di Amerika Serikat. Sejauh ini epidemi demam berdarah baru terjadi di Asia. Wabah besar pernah terjadi di Asia Utara, dan di Asia Tenggara berkali-kali terjadi penjangkitan lokal. Karena itu, penemuan John Hopkins tadi menandakan ancaman yang mengkhawatirkan bagi negara-negara Asia. Di banyak negara Asia, tikus gampang berkembang biak karena masih banyak kawasan yang kotor. Bila benar tikus mudah ketularan virus demam bedarah, termasuk virus dengue, ancaman wabah yang diakibatkannya bisa sangat mengerikan. Menurut Childs, munculnya virus demam berdarah pada tikus sangat mungkin gejala baru. Setelah bertahun-tahun meneliti tikus, bersama rekannya Dr. Richard Lore, ia menemukan banyak hal baru pada kondisi fisik dan perilaku tikus. Karena itu, kata Childs, tikus merupakan ancaman kesehatan paling utama bagi manusia. Mereka menemukan ukuran fisik tikus dewasa ini jauh lebih besar. Binatang ini mengonsumsi makanan manusia yang mempunyai kadar kalori tinggi. Dalam proses bertahun-tahun, pola makanan ini mungkin saja menimbulkan perubahan. Sejenis tikus seperti Rattus norvegicus, yang diteliti Lore, menampakkan perubahan sangat mencolok. Tikus ini sudah sampai pada tingkat tak mau mengonsumsi makanan membusuk. Berbeda dengan tikus lain, yang kehilangan kemampuan memuntahkan makanan yang busuk. Seperti manusia, Rattus norvegicus akan mati keracunan bila mengonsumsi makanan busuk. Yang menakjubkan, masyarakat tikus ini memiliki jaringan informasi luar biasa. Bila seekor tikus mati karena keracunan makanan, dalam waktu singkat ancaman itu tersebar, sehingga tidak seekor pun tikus di seluruh koloni mau mendekati makanan itu. Tikus zaman sekarang, menurut kedua peneliti itu, jauh lebih cerdas daripada tikus di masa lampau. Dalam semua jaringan lubang tikus, Lore dan Childs menemukan ruang pengaman yang membelok dari jalur lorong utama. Lubang ini berfungsi sebagai tempat sembunyi. Strategi ini membuat pembasmian tikus makin sulit. "Dan persembunyian itu juga digunakan untuk tempat bertahan menghadapi perubahan temperatur," kata Lore. Kecerdasannya dalam mencari makanan di lingkungan rumah tangga membuat tikus masa kini tak lagi menimbun makanannya di lorong yang dibuat hewan ini. Kondisi lorong yang bersih membuat harapan hidup menjadi lebih tinggi, sehingga tikus itu tak mati karena penyakit. Turunnya angka kematian itu disertai naiknya angka kelahiran. Menurut Childs dan Lore, dalam satu koloni tikus betina setiap 50 hari rata-rata melahirkan 10 bayi tikus. Jumlah tikus betina yang hamil dalam satu koloni rata-rata 42%. Betinanya bunting pada usia dua sampai empat bulan. Masa kehamilannya rata-rata hanya 22 hari. Sementara usia rata-rata tikus antara empat dan lima bulan, Lore menemukan 10% dari tikus yang ditelitinya itu mencapai usia satu tahun. Bisa dibayangkan hebatnya daya kembang biak tikus masa kini. Dalam tempo tertentu, tikus yang ditemukan kedua peneliti itu menjadi agresif. Bahkan kini tikus-tikus jantan jadi kanibalis dan mempunyai kecenderungan menyerang. Tikus betina yang ditemukan Lore tidak seagresif tikus jantan. Kecuali bila binatang itu sedang melindungi anaknya yang berusia di bawah satu bulan. Ada lagi yang menarik: tikus betina hidup bersama dalam koloni-koloni terpisah. Dan mereka akan menyerang tikus betina asing yang datang dari "rukun tetangga" lain. Namun, sejauh ini Childs dan Lore belum mengamati dampak virus hanta pada tikus. Demikian pula upaya mereka mengatasi dampak virus ini. Juga, belum ditemukan kematian besar-besaran akibat epidemi demam berdarah di lingkungan tikus. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini