Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Menjaga perut turis

Hasil survei ditjen p2mplp di 16 kabupaten dan 8 provinsi yang menjadi tujuan wisata,menunjukkan bahwa makanan paling tercemar ada di dki.menkes berusaha melindungi wisata agar tidak kapok ke indonesia

28 Juli 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAKANAN Eropa kini sudah masuk warung. Di perkampungan turis Sosrowijayan, Yogyakarta, sekurangnya dibuka sepuluh restoran kecil mirip warung yang khusus melayani para turis asing. Masakan dan makanan yang mereka suguhkan itu hidangan Eropa. Nama restoran juga seperti ikut menggalakkan pariwisata, misalnya, Superman, French Grill, Rendezvous, atau La Mama. Konsumennya memang wisatawan yang menginap di losmen sekitar Sosrowijayan dengan tarif Rp 5.000 sehari. Restoran-restoran kecil -- yang umumnya merupakan bisnis keluarga itu -- tidak memasang tarif kelas hotel internasional. Harga makanan berkisar antara Rp 1.000 dan Rp 5.000. Suparman, pemilik restoran "Superman", mengaku belajar memasak makanan Eropa dari buku-buku dan hasil mengikuti kursus kilat. Ia mulai membuka usahanya pada 1973 dan kini mempunyai beberapa cabang Superman Restaurant. Sehari, kata Suparman, pengunjung ke restorannya rata-rata 15 orang. "Dulu, waktu belum banyak yang buka restoran begini, bisa 50 pelanggan sehari," ujarnya. Restoran Superman, tentu saja, tidak terlalu bersih. Pelayan dan juru masaknya memang tidak berpendidikan memasak. Mereka terang tak tahu seluk-beluk higiene makanan. Proses mengolah makanan dan penyajiannya bahkan tak berbeda dengan restoran dan warung non-Eropa. Sedangkan "Rendezvous Restaurant" agaknya lebih apik. Ditata bergaya mutakhir, dan dicat serba putih. "Saya sengaja memilih warna ini supaya kalau kotor sedikit langsung kelihatan," kata Kurniawan, pemiliknya. Sebaliknya, kesan kotor tampak juga. Ada lalat di mana-mana. Kenyataan seperti di Yogya itulah yang ditunjuk dr. Gandung Hartono. Pekan lalu Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Permukiman (P2MPLP) ini tampil di "Seminar Penyehatan Makanan Para Pengusaha/Pengelola Restoran dan Hotel" di Hotel Indonesia (HI) Jakarta. Disebutnya, makanan jual umumnya tercemar dan terkontaminasi bakteri, sehingga bisa membuat turis kena diare. Tingkat pencemarannya, kata Gandung, tergolong cukup tinggi. Khususnya bagi para wisatawan. Kesimpulan ini didasarkan survei Ditjen P2MPLP di 16 kabupaten dan 8 provinsi yang jadi tujuan wisata. Hasil survei menunjukkan bahwa makanan paling tercemar ada di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (65,5%). Selanjutnya Jawa Barat (57%), Sumatera Selatan (48,83%), Jawa Tengah (18,69%), Daerah Istimewa Yogyakarta (10,75%), dan Bali (7,29%). Menurut dua pejabat Ditjen P2MPLP, ukuran kontaminasi dalam persentase ditentukan oleh tingkat kontaminasi bakteri E. Coli. Contohnya: di Bali, 7,29% makanan jual terkontaminasi bakteri ini. "Ini indikator yang paling peka untuk tes," kata Tatang, pejabat itu. "Jadi, kami memang tidak mengetes semua kuman karena nanti terlampau mahal." Pejabat lain, Sofyan Mukti, mengemukakan bahwa survei Ditjen P2MPLP itu meliputi pengambilan sampel makanan jual. Sampel berasal dari pedagang kaki lima, industri makanan rumah tangga, perusahaan jasa boga, restoran hotel, restoran di luar hotel, dan warung. Survei yang dilakukan secara acak berlangsung selama delapan bulan, dan berakhir belum lama ini. Kemudian dilakukan pengetesan pada makanan dan pengamatan tempat penjualan makanan. Semuanya ada 1.591 tempat penjualan yang disurvei dan 772 sampel makanan yang dites. Di seluruh Indonesia ada 22.717 industri makanan yang terdaftar, dan 2.119 restoran. Karena keterbatasan tenaga dan dana, menurut Tatang, pengamatan kondisi fisik bangunan, peralatan masak, dan penjamahan tak dilakukan. "Tapi hasil survei itu cukup mewakili kenyataan," ujar Tatang. Dalam pada itu, Gandung mengakui, masalah pencemaran makanan harus dilihat dari konteks pariwisata. "Jadi, konsumen makanan kita anggap rentan," katanya. "Kalau kita yang masuk restoran barangkali sudah kebal, tidak akan apa-apa." Maka, pertimbangan peringatan Gandung dasarnya untuk melindungi industri wisata sehingga turis jangan terkena diare dan kapok berkunjung lagi ke Indonesia. Dan masih dalam konteks itu, dua tahun lalu, Menteri Kesehatan dr. Adhyatma mengeluarkan persyaratan kesehatan untuk restoran. Sedangkan seminar di HI hari itu, dan Ditjen P2MPLP ikut jadi penyelenggara, dimaksudkan untuk memasyarakatkan SK Menkes 22 April 1989 dimaksud. "Sekarang, syarat itu belum diterapkan secara ketat," kata Sofyan. "Pengusaha restoran diberi masa transisi selama dua tahun. Sesudah masa transisi habis, Ditjen P2MPLP akan melakukan pengontrolan. "Pertama, kita arahkan agar terdaftar. Kemudian mengamati cara makanan diproduksi harus memenuhi persyaratan," ujar Sofyan. Bila persyaratan terpenuhi, restoran yang bersangkutan akan mendapat sertifikat. Warung-warung di Sosrowijayan juga kena? Kata Sofyan, warung kecil tidak akan disurvei. Yang disurvei hanya restoran yang mempunyai sanitasi dan penyaluran air bersih. Maka, warung kecil masih tergolong liar dan di luar tanggung jawab Depkes. Warung ini bukannya tidak diperhatikan. Tapi pendekatannya harus lain. "Masalah kesehatan lingkungan ini tidak sama dengan persoalan restoran," kata Sofyan. Para pengusaha restoran di hotel-hotel internasional segera bereaksi. "Restoran yang diselenggarakan di hotel berbintang ditangani oleh tenaga-tenaga yang mendapat pendidikan di bidang perhotelan," kata Doddy W. Soekardiman kepada R. Fadjri dari TEMPO. Hotel-hotel bertaraf internasional, menurut manajer Hotel Ambarrukmo Palace, Yogyakarta, itu harus mengikuti standar internasional karena konsumennya memang memperhatikan standar itu. "Kami ekstraketat menjaga makanan yang kami hidangkan," kata Doddy. "Walau cuma sehelai rambut ditemukan pelanggan di makanan, rasanya kredibiltas kami sudah rusak. Padahal, itu masih jauh dari urusan pelanggan terancam sakit, atau apa." Jis dan Sugrahetty Dyan K.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus