Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Tips Kesehatan

8 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jari Manis dan Autisme

Jari manis dan cincin biasanya tak terpisahkan, begitu pula jari manis dan autisme. Hal yang terakhir ini dibuktikan oleh John Manning, dokter spesialis anak dari Universitas Liverpool, London. Seperti dilaporkan dalam jurnal Developmental Medicine and Child Neurology edisi terbaru, Manning menemukan kaitan antara panjang jari tangan dan autisme, yakni semacam kelainan saraf yang membuat anak sulit berinteraksi dengan dunia luar.

Manning meneliti rasio panjang jari tangan 72 anak penyandang autisme dan 23 anak pengidap sindrom aspenger—mereka mirip anak autis, tetapi tingkat kecerdasannya tinggi. Sebagai perbandingan, Manning juga meneliti jari tangan pada 176 ayah dan ibu anak autis dan 38 anak yang sehat walafiat.

Hasilnya, jari manis anak autis jauh lebih panjang ketimbang jari telunjuknya. Yang normal ialah, jari manis sedikit lebih panjang atau relatif sama dengan telunjuk. "Anak pengidap sindrom aspenger juga punya jari manis yang panjang. Tapi, panjang jari manis anak autislah yang paling ekstrem," kata Manning seperti dikutip majalah The Economist, dua pekan lalu.

Menurut Manning, pembentukan jari pada janin—terjadi pada tiga bulan pertama kehamilan—dipengaruhi oleh kadar hormon testosteron pada rahim ibu. Semakin banyak testosteron di rahim, semakin panjang jari manis bayi. Hal ini terjadi melalui mekanisme fisiologis yang belum diketahui. Soalnya, kadar testosteron yang tinggi pada rahim terkait dengan beberapa jenis fenomena otak seperti autisme, disleksia, dan kidal.

Manning berharap temuannya akan memacu riset yang lebih mendalam. Tujuannya, "Agar autisme bisa dideteksi lebih dini, supaya bisa diterapi lebih tepat," tuturnya. Selama ini, gejala autisme—misalnya lambat bicara, sedikit kontak mata dengan orang lain, daya konsentrasi rendah, dan gemar mengamati benda yang bergerak memutar—biasanya baru tampak setelah bayi berusia 18 bulan.

Mencegah Kanker Prostat dengan Apel

Anda takut kanker prostat? Bila ingin selamat, rajinlah menyantap buah apel dan buncis, yang mengandung senyawa aktif kuesertin. Anjuran ini berdasarkan riset ilmuwan di Mayo Clinic, Rochester, Amerika Serikat, yang dimuat dalam jurnal Carcinogenesis edisi terbaru.

Pada uji laboratorium, Nianzeng Xing, ahli kanker dari Departemen Urologi di Mayo Clinic, membuktikan bahwa kuesertin sanggup memblokir reseptor hormon pria (androgen). Reseptor ini bertugas mengaktifkan gen-gen yang mengatur produksi beragam hormon pada saluran prostat. Jumlah reseptor yang terlalu melimpah akan memacu sel-sel sehingga membiak tak terkendali dan mengakibatkan kanker. Jadi, "Reseptor androgen perlu diblokir untuk mencegah kanker prostat," kata Xing seperti dikutip Science News Magazine, pekan lalu.

Sebetulnya, kuesertin sudah lama menjadi pokok penelitian, tapi baru kali ini riset difokuskan pada kanker prostat. Xing mengakui, masih diperlukan riset lebih mendalam untuk melacak cara kerja kuesertin. Namun, temuan Xing ini setidaknya membuka harapan baru bagi penderita kanker prostat. Berdasarkan data dari 13 fakultas kedokteran negeri sepanjang periode 1988-1990, di Indonesia, kanker prostat termasuk 10 penyakit ganas yang paling sering menyerang kaum pria.

Nah, sembari menunggu riset komplet, Xing menyarankan untuk memperkaya menu makanan dengan sumber kuesertin alami seperti apel, buncis, jeruk, teh, dan bawang merah.

Bugar tanpa Berolahraga

Tubuh yang bugar tak harus dicapai dengan olahraga berat yang mengucurkan keringat. Latihan enteng di sela kesibukan sehari-hari—membersihkan rumah, jalan kaki keliling kampung, bersepeda di lapangan, atau naik-turun tangga gedung kantor—ternyata efektif menjaga kesehatan tubuh. Ini bukan petuah dari orang yang malas berolahraga, melainkan hasil riset tim ilmuwan yang dipimpin Klaas Westerterp, pakar energetika manusia dari Universitas Maastricht, Belanda.

Riset yang laporannya dimuat dalam Science edisi terbaru ini melibatkan 30 responden, terdiri dari 16 laki-laki dan 14 perempuan berusia 22 sampai 32 tahun. Selama dua pekan penuh, Westerterp mencatat pasokan kalori dan aktivitas fisik semua responden. Guna memonitor efektivitas metabolisme, para peneliti mengamati kandungan air seni mereka secara berkala.

Kesimpulannya, kegiatan ringan cukup bermanfaat bagi tubuh. Metabolisme menjadi lancar dan kalori terbakar secara efektif. Alhasil, tubuh tidak melar dan stamina tetap terjaga. Poin ini sejalan dengan berbagai penelitian sebelumnya. Laporan yang ditulis Nurses' Health Study, misalnya, menyebutkan bahwa jalan kaki selama 30-60 menit tiap hari bisa mengurangi risiko terkena diabetes sampai 25 persen.

Jadi, "Tak perlu bergabung dengan klub olahraga, yang butuh waktu dan ongkos mahal," kata Westerterp seperti dikutip CNN Health, pekan lalu. Hanya, ia menambahkan, tubuh harus digerakkan dan jangan lengket di kursi atau tempat tidur saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum