Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bengt Save-Soderbergh *)
*) Sekretaris Jenderal IDEA (Badan Internasional untuk Bantuan Demokrasi dan Pemilu)
PIKIRAN yang umumnya muncul beberapa tahun lalu, saat kita mengadakan suatu pemilihan umum multipartai, demokrasi otomatis akan terjadi. Nyatanya tidak demikian. Demokrasi tidak muncul dalam seketika. Demokrasi adalah suatu tujuan yang perlu dibina dan diperkenalkan berulang kali. Sepuluh tahun lalu, hampir semua negara di Amerika Latin bisa melaksanakan pemilu dan para pengamat pun kemudian beranggapan bahwa demokratisasi telah berjalan lancar di sana. Namun, adanya kasus di Peru, Venezuela, dan Kolombia, memunculkan kenyataan bahwa demokrasi lebih dari sekadar pemilu, betapapun bebas dan adilnya pemilu tersebut. Di belahan dunia yang lain, pengenalan pemilu yang multipartai telah menapak menuju demokratisasi yang berkelanjutan. Namun, pada saat itu para penguasa telah mampu memanipulasi tidak hanya pemilu, tapi juga keseluruhan sistem demokrasi. Pada akhirnya, demokrasi tidak hanya berbicara tentang masalah teknik. Demokrasi lebih merupakan nilai dan kebudayaan sebagai kekuasaan. Tantangan demokrasi di masa sekarang adalah mencari cara untuk mengenalkan kebudayaan demokrasi yang murni. Ini berarti perlu belajar untuk menang dan kalah secara satria, dan mempercayai pentingnya dialog guna menyelesaikan masalah secara damai dengan tetap menghormati perbedaan pendapat. Penyelesaian konflik secara damai agaknya merupakan tujuan terpenting dari demokrasi. Namun, hal ini tidak bakal muncul dengan sendirinya, terlebih di negara yang punya sejarah kekerasan. Beberapa pakar menganggap hal ini sangat sulit dilakukan karena terkait dengan sejarah dan kebudayaan suatu masyarakat. Namun, kebudayaan dan kelakuan pun bisa berubah. Yang tetap akan jadi prinsip penting adalah konsep tradisional demokrasi berdasarkan pada hak asasi dan martabat dasar manusia. Adalah hak setiap orang untuk membicarakan isu yang penting bagi dirinya, untuk pengerahan politis, untuk berbicara bebas, dan untuk diperlakukan secara manusiawi. Hak-hak tersebut bersifat universal karena mencerminkan kebutuhan dan aspirasi dasar setiap manusia. Sebelum krisis ekonomi muncul di Asia, perdebatan tentang "nilai-nilai Asia" diterjemahkan sebagai indikasi bahwa orang Asia menghendaki format demokrasi yang berbeda. Ini menunjukkan masyarakat telah dicekoki nilai-nilai demokrasi dari luar, bukannya menumbuhkan nilai tersebut sesuai dengan kebudayaan politik mereka sendiri. Hal seperti ini bisa memunculkan politisi jahat yang akan memanipulasi perdebatan tersebut agar timbul anggapan bahwa demokrasi itu tidak cocok dan terlalu asing untuk kebudayaan Asia. Inilah sebabnya, dukungan terhadap demokrasi harus didasarkan pada pengetahuan yang luas mengenai masyarakat yang dituju, dan menempatkan masyarakat serta organisasi lokal sebagai fokus utama. Bantuan untuk demokrasi hanyalah pelengkap dari hal-hal yang sudah ada di negara tersebut. Yang dibutuhkan saat ini adalah pendekatan dan metode yang inovatif dalam bantuan demokrasi tersebut. Dalam konteks ini, pemerintahan yang demokratis sangatlah penting. Demokrasi memungkinkan munculnya usaha damai dalam menyelesaikan konflik. Sebagian besar konflik yang muncul saat ini terjadi di dalam negara-negara yang ada, bukan di antara mereka. Pada 1990, ada 27 konflik bersenjata, dan hanya dua di antaranya yang merupakan konflik antara dua negara. Umumnya mereka terikat pada konsep identitas, bangsa, dan nasionalisme, di antaranya Sierra Leone, Kosovo, Angola, atau Kolombia. Demokrasi menjadi penting dalam situasi tersebut, karena ini menyangkut keamanan dan stabilitas masyarakat yang terpecah-belah karena masalah etnis, agama, atau bahasa. Hukum penguasa menjadi topeng untuk menutupi dominasi sebuah kelompok atas kelompok lain, seperti Milosevic di Serbia, rezim apartheid di Afrika Selatan, dan junta yang berkuasa di Myanmar. Di sana tidak ada lembaga yang bisa mengekspresikan dan menyelesaikan masalah kebudayaan yang kompleks ini secara damai. Biasanya, mereka lalu mencoba menyelesaikan konflik dengan bersikap tak acuh, menyangkal, memberi tekanan, atauyang terburukmencoba menghilangkan penyebab konflik tersebut. Beberapa konflik memang kemudian bisa diselesaikan dengan cara ini, walau dengan bayaran yang mahal. Tetapi ini tidak berlaku untuk konflik yang berlarut-larut dan memiliki akar yang mendalam. Sistem otoriter memang bisa memberikan stabilitas untuk jangka pendek, tapi dalam jangka panjang terbukti menimbulkan masalah. Sebaliknya, melalui demokrasi, persengketaan akan meningkat, yang akhirnya memunculkan proses, perdebatan, dan reaksi. Namun, semua hasil akhir ini bersifat sementara, karena yang kalah hari ini dapat menjadi pemenang di esok hari. Berbeda dengan sistem lain, pemerintahan demokratis memperbolehkan pelbagai unek-unek diperdebatkan dan dibahas secara terbuka. Artinya, demokrasi berjalan seperti layaknya sistem penyelesaian konflik. Adalah kemampuan demokrasi untuk menyelesaikan konflik tanpa tekanan atau malah mengabaikan konflik itu sendiri, yang akan membedakan pemerintahan demokratis dengan yang lainnya. Ini tidak berarti demokrasi merupakan sesuatu yang sempurna, atau pemerintahan demokratis selalu menghasilkan penyelesaian yang damai. Pemilu yang terlalu dini yang hanya dilakukan untuk mencegah keterlibatan internasional, dan bukannya untuk dijadikan kontes persaingan yang bebas dan murni untuk memperoleh kekuasaan, adalah masalah yang harus dipikirkan. Meskipun demokrasi itu sering kotor dan rumit, cara ini merupakan harapan terbaik untuk menyelesaikan konflik yang ada. Pemenang penghargaan Nobel, Amatya Sen, pernah mengatakan bahwa demokrasi, bahkan di negara-negara miskin, tidak akan mengalami kelaparan. Sen mengambil contoh masalah kekurangan makanan yang umum terjadi di India, yang akan hilang seiring dengan hadirnya demokrasi murni, meskipun jumlah pasokan makanan tidak bertambah. Alasannya, menurut Sen, adalah adanya kebebasan pers dan timbulnya rasa tanggung jawab dalam diri para penguasa setempat di bawah aturan demokrasi. Dengan adanya demokrasi, informasi tentang kekurangan bahan makanan dipublikasikan secara luas dan memaksa pemerintah setempat untuk bertindak cepat dalam mengatasi keadaan ini atau mereka akan menerima pembalasan dari para pemilih. Serupa dengan kenyataan di atas adalah bencana kelaparan terburuk di dunia di negara otoriter seperti Sudan dan Korea Utara, tempat hak asasi manusia ditiadakan, pers mengalami penyensoran atau bahkan tidak memiliki eksistensi, dan pemerintah tidak memiliki rasa tanggung jawab politis kepada rakyat. Kesimpulannya, bencana kelaparan disebabkan oleh kepincangan politik, bukan kegagalan di bidang pertanian. Kesimpulan ini bertentangan dengan opini lama yang menganggap bahwa cara untuk menghindari bencana kelaparan yang buruk ini adalah dengan memusatkan perhatian kepada penyediaan dan distribusi bahan makanan. Kesimpulan ini juga menekankan argumen bahwa demokrasi bukanlah sebuah kemewahan yang hanya ditujukan untuk kalangan berpengaruh, seperti yang diangggap beberapa pakar ekonomi dulu. Ini masalah hidup dan mati, dan pengaruhnya sangat terasa di negara miskin. Demokrasi perlu dilihat sebagai prasyarat untuk pembangunan berkelanjutan, bahkan di negara-negara yang sangat miskin. Keikutsertaan politik menjadi kunci utama untuk memerangi kemiskinan. Demokrasi yang memfokuskan diri pada lembaga, peraturan, dan prosedur yang tidak memberikan keadilan dan hasil nyata bagi rakyat akan menghadapi banyak masalah. Beberapa isu perlu diangkat guna memperluas partisipasi politik. Kemajuan telah dicapai dalam hal wanita dalam politik, tapi itu tidaklah cukup. Di seluruh dunia, jumlah wanita hanya kurang dari 14 persen dari anggota parlemen. Menumbuhkan demokrasi dalam skala lokal juga perlu dilakukan. Ini lebih dari sekadar masalah desentralisasi, tapi berkaitan dengan pemberian wewenang kepada rakyat untuk mendiskusikan dan membuat keputusan mengenai hal-hal yang terjadi dalam hidup mereka sehari-hari. Demokrasi tidak akan terjadi tanpa kehadiran partai politik. Masalah ini sering dianggap terlalu sensitif untuk dibicarakan dari sudut pandang bantuan internasional, tetapi peranan dan fungsi partai politik tersebut nyatanya adalah bagian penting dari agenda demokrasi internasional. Tanpa adanya dukungan dana, partai politik hanya menjadi alat untuk kepentingan pemegang dana tertentu, untuk melakukan praktek korupsi dan pelbagai tindakan yang tidak demokratis, bukannya dijadikan ekspresi keanggotaan demokratis. Demokrasi yang sudah berjalan akan menghadapi dilema seperti ini, tapi masalah ini lebih memburuk di sebuah negara yang sedang dalam masa transisi. Membangun sebuah institusi demokratis juga memerlukan pemikiran jangka panjang. Ini menjadi pelajaran utama bagi Badan Internasional untuk Bantuan Demokrasi dan Pemilu (International Institute for Democracy and Electoral Assistance, IDEA) dalam bekerja sama dengan badan manajemen pemilu di seluruh dunia. Banyak kasus saat pemilu pertama dan kedua di suatu negara memperoleh dana besar dari pihak luar, tetapi pelaksana pemilu setempat menggunakan teknologi dan metode yang akan sulit dipahami dan dipertahankan tanpa adanya bantuan luar negeri. Untuk membangun suatu struktur yang tepat guna dan mampu bertahan memang diperlukan waktu yang cukup lama. Banyak organisasi internasional yang mengangkat isu mengenai apa yang disebut "pemerintahan yang baik". Memang, beberapa pemerintahan memiliki program dan proyek yang nyata, tetapi yang lainnya bekerja secara spesifik secara normatif. Keduanya penting, tetapi di masa sekarang, dimensi normatif kian menonjol. Perkembangan ini menjadi titik pusat dalam kaitan dengan prospek demokrasi di masa depan sebagai norma universal. Ini merupakan suatu pertanda penting bagi semua yang sedang melalui proses demokratisasi. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo