Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Soetjipto Wirosardjono *)
*) Pengamat sosial
MBOK sampean yang memberi tahu, supaya Gus Dur mau mundur!" seru seorang teman yang punya akses dengan pusat pergolakan politik Tanah Air, khususnya faksi yang menghendaki agar Presiden segera diganti. Saya kapok. Dulu, tatkala saya diminta menyampaikan agar Gus Dur mau mengundurkan diri dari jabatan Ketua Tanfidziyah PB Nahdlatul Ulama hasil Muktamar Cipasung, ternyata hal itu kemudian dibantah oleh orang yang menugasi saya. Bahkan, ada yang bilang supaya saya ngarang bahwa permintaan agar Gus Dur mundur dulu itu bukanlah atas permintaan siapa pun. Padahal, segera setelah amanah saya sampaikan dan ditolak oleh Gus Dur, saya melapor balik. Amanah telah saya sampaikan baik-baik dan jawaban Gus Dur jelas. Tidak bisa begitu saja mundur, karena jabatan Ketua Umum NU itu juga amanah dari umatnya! Saya pikir urusan menjadi beres sampai di situ. Ternyata tidak. Rupanya, saya diharap juga menggunakan segala cara agar pokoknya Gus Dur tidak menjadi pemimpin organisasi umat Islam besar itu. Pesan yang saya kutip di atas agar saya memberi tahu Gus Dur supaya mundur ada hubungannya dengan cerita lama yang saya ungkapkan di atas. "Kalau tidak mundur sukarela akan dimundurkan secara menyakitkan, lo!" ancamnya. "Ah, belum tahu dia," kata saya dalam hati mendengar gertak itu. Setahu saya, Gus Dur orangnya paling bisa menahan rasa sakit, termasuk tahan menanggung sakitnya dipermalukan siapa pun, termasuk oleh mantan Presiden Soeharto. Di Muktamar NU Cipasung dulu itu, Gus Dur juga sudah disakiti dan dipermalukan di muka umum, khususnya di muka para ulama NU. Bayangkan, sebagai penanggung jawab muktamar, ia tidak diizinkan duduk di deretan depan dan tak diizinkan berpidato menyambut para muktamirin hanya karena Presiden Soeharto ada di situ. Untuk lebih dinistakan, Gus Dur tidak disalami, tidak diajak bersalaman, oleh sang tamu kehormatan muktamar. Siapa saja orang yang menemani si Gus yang sedang dinistakan itu? Tatkala makan siang di restoran Sunda di luar Kota Cipasung, pengiring tokoh yang sedang dinistakan ini bukan eksponen NU (boleh jadi mereka takut), melainkan tokoh LSM, Marsilam Simanjuntak, Bondan Gunawan, Djohan Efendi, dan lain-lain. Sehingga, begitu melihat kedatangan mereka, pemimpin operasi intel dari Departemen Dalam Negeri yang kebetulan sedang makan siang di tempat yang sama, Mayor Jenderal Sutoyo S.K., Direktur Jenderal Sosial Politik, tertegun, berdecak seraya mengangguk-angguk, "Oh, mereka yang main." Nah, kalau ancamannya sekadar mau menistakan, Gus Dur tidak akan gentar. Apalagi jika yang mengancam dinilai ada di bawah kaliber Soeharto. "Apakah kira-kira Gus Dur akan bisa bertahan menghadapi gempuran DPR?" tanya seorang pengurus Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia yang mengikuti Buloggate dan Bruneigate. "Gus Dur punya pendukung yang menghendakinya karena alasan masing-masing," jawab saya seraya menggambarkan bahwa wajah pendukung itu tidak sama dengan yang berdemo merobohkan pohon pelindung sepanjang jalan raya di Situbondo-Banyuwangi atau yang membakar gedung kantor DPD Golkar. Sebab, yang berdemo itu hanyalah massa yang digerakkan tanpa ideologikecuali menyediakan diri dimanfaatkan buat bikin gegeran politik. Saya tidak bermaksud menakut-nakuti gerakan anti-Gus Dur dengan kekuatan jin atau prewangan yang siap diperintah majikan. Yang tidak ingin melihat Gus Dur turun sekarang antara lain anak-anak muda usia yang mengira bahwa reformasi total hanya dapat digelindingkan guna menggusur semua elemen mapan tinggalan Orde Baru jika kondisi chaos dipertahankan sampai pilar utama kekuatan Orde Baru roboh. Di mata mereka, belum ditemukan seorang pemimpin politik Indonesia saat ini yang dapat ditunggangi dan membiarkan perontokan pilar berjalan terus. Ada lagi lapis masyarakat yang menggarisbawahi mitos bahwa Gus Dur-lah pemimpin umat Islam dengan pengikut yang besar dan toleransinya sudah terbukti. Termasuk dalam kategori terakhir itu umat beragama lain dan Islam abangan. Apakah semua umat beragama nonmuslim menghendaki Gus Dur tetap menjadi presiden dan tidak perlu diganti sebelum 2004? Tentu tidak semua. Banyak di antara mereka yang sudah menikmati kemapanan dan, karena itu, menolak chaos dibiarkan, apalagi digunakan sebagai pendekatan untuk mengelola politik buat mewujudkan perubahan mendasar tatanan politik pemerintahan. Lalu, kenapa sebagian besar partai Islam memilih kubu anti-Gus Dur? Siapa pun yang mengenal jejak perkembangan ideologi politik Gus Dur tahu bahwa Gus Dur tidak sepakat syariat Islam, khususnya hukum Islam (fiqh), dijadikan acuan utama mengelola Negara Indonesia karena pluralisme warga negaranya dan umumnya Gus Dur menghendaki tatanan masyarakat modern. Yang juga menganggap pemerintahan Gus Dur, betapapun tidak profesionalnya, perlu dijaga dan tidak diganti di tengah jalan karena semua pengganti potensialnya tidak sedikit pun atau sedikit sekali punya track record dalam gerakan social reform di Indonesia adalah kalangan LSM advokasi. Apa mereka punya massa? Tidak juga. Sesuai dengan bidangnya, lahan tempat main mereka adalah media massa. Tapi ingat, media massa kini adalah lahan bisnis yang menuntut kemapanan dipertahankan dan order dipelihara. Jadi, ujungnya adalah pertarungan kepentingan antara kemapanan dan reformasi total. Perkara apakah Gus Dur dapat bertahan dari gempuran lawan politiknya sangat bergantung pada apakah lawan politiknya mengetahui pengapesan Gus Dur. Sejauh ini, retorika lawan-lawannya mengacu pada norma baku etika politik masyarakat modern. Misalnya strategi menggempur dari sudut kebohongan publiknya Gus Dur, yang memang terkenal buruk. Padahal, bagi pengikutnya, kebohongan publiknya itu sering menjadi "hiburan". Strategi lain, tuduhan pemerintahan Gus Dur tidak memberantas KKN akan dimainkan dengan wit (wiletnya) Gus Dur membeberkan korupnya lawan. Lalu, bagaimana Gus Dur dapat jatuh? Lawanlah Gus Dur dengan kekuatannya sendiri, dengan membiarkannya berkiprah semaunya sampai habis tenaganya! |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo