Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Limbah pertanian pelepah Pinang membawa Rengkuh Banyu Mahandaru menjadi pemenang SATU Indonesia Awards 2023 sebagai salah satu Tokoh Inspiratif. Pria kelahiran Garut, 26 Juli 1991 ini merupakan pendiri dan inisiator Plepah yang berfokus pada inisiatif pemberdayaan masyarakat di area konservasi melalui pengolahan produk hasil hutan non-kayu berupa limbah pertanian pohon Pinang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rengkuh Banyu gelisah melihat masifnya penggunaan wadah styrofoam yang dapat merusak lingkungan sekitar jika tidak dikelola secara baik dan benar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Inisiatif ini, di luar isu lingkungan adalah upaya meningkatkan nilai tambah dari limbah pertanian. Dulu orang mungkin tidak terfokus untuk melihat bahwa sektor pertanian adalah penyumbang emisi karbon tertinggi,” ujar Rengkuh Banyu saat ditemui Tempo, 8 Agustus 2024, soal awal terjun memanfaatkan pelepah Pinang.
Kelompok Plepah berkeliling dan melihat langsung para petani, khususnya di Jambi, Sumatera Selatan dan area lain menanam Pinang sebagai komoditi sampingan. Yang utama adalah tanaman kelapa sawit dan karet. Kebun Pinang biasnya sebagai pembatas kebun utama. Buah Pinang biasanya di ekspor ke India dan Cina. Area kebun Pinang di Sumatera totalnya sekitar 150.000 hektar. Terkonsentrasi di Jambi dan Sumatera Selatan.
Pada Desember 2018, fokus awal Plepah di Sumatera khususnya Desa Teluk Kulbi, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi dan Desa Mendis, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Plepah mengembangkan dan memproduksi produk kemasan ramah lingkungan seperti piring, mangkok dan kontainer makanan dengan memanfaatkan limbah agrikultur pelepah Pohon Pinang.
Dengan latar belakang sarjana Desain Produk di Institut Teknologi Bandung, Rengkuh membangun program tersebut juga mengembangkan dan memproduksi mesin tepat guna untuk mengoptimalkan produksi piring dan kontainer makanan dari pelepah Pinang.
Data terbaru di 2024 luasan kebun Pinang berkurang karena harga buah Pinang turun. Pohon-pohon Pinang yang ditanam 2010-2011 yang menua mestinya dilakukan penanaman kembali, tapi mereka berganti haluan ke Kelapa Sawit karena harga lebih stabil.
Selain itu, tim membangun ekosistem bisnis yang kokoh melalui kemitraan bersama usaha-usaha yang peduli terhadap isu lingkungan dan sosial.
Sejak awal didirikan, Plepah menggunakan pendekatan desain untuk menelisik dan mengatasi masalah sosial yang kompleks serta mengembangkan inovasi guna menghadirkan perubahan yang berkelanjutan. Keterlibatan dan pemberdayaan masyarakat merupakan fokus terdepan Plepah.
Oleh karena itu, Plepah menggunakan pendekatan etnografi sebagai salah satu metode dalam mengumpulkan data, sebagai fondasi dalam memastikan keberlangsungan dampak yang diharapkan. Plepah mendorong metode Disruptive Design yang berfokus pada kemampuan berempati untuk menghasilkan pemahaman dan solusi yang berkelanjutan dan tepat guna.
Dalam perjalanannya, Plepah menemukan dan mempelajari potensi pelepah pinang untuk menjawab tantangan isu lingkungan. Program ini berdiri sejak tahun 2018.
Rengkuh menyebutkan, biasanya para petani punya 2-3 hektar kebun Pinang, bisa menghasilkan 5-10 kilogram pelepah yang jatuh dari pohonnya setiap hari. Setelah dikumpulkan kemudian masuk pabrik. Teknik pemrosesan sederhana, dibikin menjadi wadah makanan menggunakan alat cetak pemanas.
“Pertama disterilkan lalu dipres atau dicetak dengan mesin khusus. Tak ada tambahan bahan lain. Satu lembar pelepah biasanya bisa dicetak menjadi 3-4 piring dengan tutupnya. Kalau dijadikan kontainer makanan seperti piring Hokben bisa 2-3 biji,” kata Rengkuh.
Awalnya mereka hanya memproduksi 500 pcs per bulan sambil terus melakukan riset dan pengembangan produksi. Omset Plepah sudah miliaran rupiah dengan kapasitas produksi sempat mencapai 120.000 pcs per bulan dari 3 pabriknya yang tersebar.
Plepah dirintis dengan modal pribadi Rp 100 juta melalui entitas bisnis PT Jentera Garda Futura. Perusahaan ini didirikan oleh tiga orang yang memiliki latar belakang Desain Produk yaitu Almira Zulfikar, Fadhlan Makarim, dan Rengkuh Banyu Mahandaru. Ketiganya tergabung dalam Footloose Initiative, organisasi multidisiplin yang berfokus pada inovasi sosial dan lingkungan.
Pemrosean pencetakan pelepah Pinang menjadi wadah makanan setelah proses sterilisasi dengan sinar UV, di pabrik Plepah, Tanjung Jabung Barat, Jambi dan Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Dok: Plepah
Awalnya tertarik untuk untuk mengimplementasikan design thinking pada masyarakat. Ketika Itu tahun 2018, Badan Ekonomi Kreatif menugaskan mereka memberikan edukasi, pendampingan dan eksplorasi bersama pelaku kreatif di daerah-daerah Indonesia. Saat melakukan interaksi dengan masyarakat di daerah mereka menyadari ada banyak masalah yang dapat diselesaikan dengan mengoptimalkan nilai-nilai lokal.
Mereka menggunakan pendekatan design thinking dan human centered design untuk menelisik dan mengatasi masalah sosial yang kompleks di seluruh sektor serta mengembangkan ide-ide inovatif untuk menghadirkan sebuah perubahan yang berkelanjutan. Salah satu hasilnya adalah pemberdayaan masyarakat di area konservasi melalui pengolahan produk non-kayu dan limbah agrikultur.
Yang membedakan profesi ketiganya dengan peran mereka di program ini adalah dalam proses pengembangan program/produk. Ketiganya mengikuti proses dari awal hingga akhir. Bukan hanya dalam proses mendesain, tetapi juga dalam tahap riset, pengembangan ide, produksi, hingga pemasaran walaupun masing-masing memiliki porsi tugas yang berbeda.
Di hulu Plepah menyajikan model bisnis berkelanjutan bagi BUMDes/Koperasi yang membantu perekonomian masyarakat melalui inovasi dari komoditas lokal. Sepanjang proses, Rengkuh dan tim menyatukan dan berkolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan. Salah satu yang memberikan dukungan secara langsung dalam bentuk fasilitas ialah Pemerintah Daerah Musi Banyuasin.
Tujuan keseluruhan dari program ini adalah menyediakan solusi alternatif bagi penggunaan plastik sekali pakai serta meningkatkan kapasitas ekonomi masyarakat. Untuk jangka panjang skema ini bertujuan untuk mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan untuk petani lokal dan Badan Usaha Milik Desa atau Koperasi Masyarakat melalui pengembangan komoditas .
Data dari tim Plepah, skema mereka telah memberikan sejumlah dampak positif. Masyarakat di area program mulai meninggalkan kebiasaan lamanya melakukan pembalakan liar untuk mendapatkan penghasilan. Hasil awal menunjukan adanya peningkatan pendapatan bagi masyarakat setempat.
Saat ini Plepah sudah membangun dua produksi di Desa Mendis, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan dan Tanjung Jabung Timur, Jambi. Mereka mempekerjakan masing-masing 20 orang dalam proses produksi.
Selain terdapat lima titik kantong suplai bahan baku di Kecamatan Dendang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang melibatkan 30-40 kepala keluarga. Hasil dari inovasi dengan mesin dan material, saat ini Plepah telah berhasil memproduksi kontainer makanan yang dapat terurai dalam 60 hari.
Produk Plepah anti air dan dapat dipanaskan hingga 200 derajat Celcius selama empat menit dalam Microwave dan 45 menit di dalam oven. Sebelum diedarkan, produk ini juga sudah disterilkan dengan UV.
Rengkuh dan kawan-kawan optimistis bisnis Plepah akan berkelanjutan jika masyarakat di desa, yang berada di sektor hulu, meningkat perekonomiannya. Di hulu, bisnis ini akan bertahan jika kemasan ramah lingkungan yang mereka produksi mudah didapatkan dan harganya terjangkau.
Sejauh ini, tim Plepah sudah mengalokasikan 100% waktu, tenaga dan, finansial untuk mengembangkan inisiatif ini lebih jauh agar dampak yang diharapkan bisa tercapai, baik dalam hal lingkungan juga peningkatan ekonomi masyarakat.
“Kami beli pelepah-pelepah petani saat ini dengan Rp 2.000 perkilogram. Dengan luasan kebun Pinang 2-3 hektar, petani bisa mendapatkan tambahan penghasilan sekitar Rp 3 juta. Jumlah itu naik dua kali lipat dari awal program pada 2018-2019,” ujar Rengkuh.
Soal harga, dia menyebutkan sebagai tantangan dan peluang. Saat ini harga wadah berbahan pelepah Pinang ini Rp 2.000-4.000. Lebih mahal daripada produk Styrofoam yang berkisar Rp 300. Maka focus pemasaran adalah mengedukasi Masyarakat karena produk tersebut ramah lingkungan. Ditanam begitu saja di tanah bakal terurai dalam waktu 2 bulan saja. Bandingkan Styrofoam atau wadah plastik yang sama-sama sekali pakai.
Peluangnya, produk wadah ramah lingkungan pelepah tersebut sudah diekspor ke Jepang mulai akhir tahun lalu. Ditambahkan Rengkuh, saat ini bisa mengekspor 1 kontainer berisi 240.000 wadah, biasanya sesuai order permintaan.
Plepah pernah terpilih sebagai Top 20 Good Design Award untuk kategori desain produk kemasan ramah lingkungan pada tahun 2020 oleh Kementerian Perindustrian. Selain itu, produk ini juga mendapatkan penghargaan untuk inovasi desain kemasan ramah lingkungan dari Bali Creative Industry Center, Fashion and Craft Award, pada tahun 2019 untuk kategori Inkubasi Bisnis Sosial.
Pada 2023 menjadi pemenang SATU Indonesia Awards 2023. Dengan penghargaan ini Rengkuh Banyu berharap dapat memberikan dampak positif bagi para petani dan Plepah. “Secara general kami ingin kelak perusahaan yang fokusnya manajemen limbah pertanian. Bahkan outputnya bisa jadi kemasan ramah lingkungan dan alternatif energi bio massa,” kata Rengkuh.
Pilihan editor: Tokoh Inspiratif Reza Permadi Ciptakan Atourin untuk Dorong Digitalisasi Pariwisata Indonesia