Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tokoh Inspiratif: Justitia Avila Veda, Pendamping Kaum Hawa Korban Kekerasan Seksual

Justitia Avila Veda ingin memberi tahu bahwa para korban kekerasan seksual tidaklah sendiri.

29 Juli 2024 | 08.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Empatinya terhadap kaum hawa Indonesia yang acap mengalami kekerasan seksual menuntun langkah Justitia Avila Veda lebih jauh. Veda, begitu ia disapa, merasa tergerak hatinya untuk memberikan konsultasi hukum secara gratis kepada para korban.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Berdasarkan penuturan beberapa kawan, banyak sekali dari mereka menyimpan pengalaman pelecehan atau kekerasan seksual serta meminta bantuan,” kata Veda kepada Tempo, Selasa, 9 Juli 2024 di Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi Veda, setiap perempuan pasti pernah mengalami pelecehan atau kekerasan seksual. Dia merasakan hal itu. Oleh karena itu, Veda ingin mendampingi dan membela para korban. Untuk itu, dia ingin memperluas akses bantuan di luar lingkaran pertemanan.

Perempuan kelahiran Semarang, Jawa Tengah, 11 Oktober 1994 ini pun kemudian mencoba mengunggah cuitan lewat media sosial Twitter, sekarang media sosial X, pada Juni 2020. Saat itu sedang terjadi pandemi Covid-19.

Ternyata, katanya, respons publik luar biasa. Dalam 24 jam, lanjut Veda, ada sekitar 40 aduan via surat elektronik atau e-mail dan beberapa lainnya via pesan langsung (DM) Twitter. Cuitan Veda pun viral.

Advokat Annisa Anoviani Syarief dan Theresya Agnes Anugrah pun ikut tergerak hatinya. Mereka menghubungi Veda untuk menawarkan bantuan untuk merespons konsultasi tersebut secara sukarela.

Saat dihubungi Tempo, Annisa mengatakan bahwa Veda merupakan orang yang berjiwa besar karena memiliki kepedulian sosial terhadap perempuan korban kekerasan seksual.

“Apa yang dilakukan Veda adalah langkah yang mulia. Di saat terjadi banyak korban kekerasan seksual, ada seseorang yang membuka konsultasi gratis saat itu. Membantu sekali,” ujar Annisa kepada Tempo, Rabu, 17 Juli 2024. “Padahal, tidak ada yang membiayai. Semua dibiayai sendiri.”

Dengan bergabungnya mereka, estimasi pesan dapat mencapai 150 hanya dalam 2 x 24 jam. Berdasarkan hal itu, mereka merasa memerlukan suatu sistem yang dapat memonitor aduan yang masuk, menjadi standar bagi kualitas konsultasi hukum yang kami berikan, serta memastikan akuntabilitas dari profesi mereka.

”Saat itu kami bertiga mulai set up e-mail sehingga berbagai aduan via DM bisa di-pool dan track lebih baik via e-mail,” kata Veda.

Inisiatif mereka bertiga terus terekspos di media sosial, dan kemudian semakin banyak pengacara menghubunginya untuk menawarkan bantuan. Lagi-lagi, secara cuma-cuma. Pada saat inilah, mereka memutuskan mendirikan Kolektif Advokat Keadilan Gender (KAKG).

Menurut Veda, pengaduan didominasi Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) di masa pandemi. KBGO ini difasilitasi teknologi dapat didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan melalui medium teknologi dengan niatan atau maksud melecehkan korban berdasarkan gender atau seksual.

“Saat pandemi banyak yang menghabiskan waktunya dengan memanfaatkan teknologi diduga memunculkan penyebaran konten intim nonkonsensual disusul pemerasan berbasis konten intim,” tutur jebolan Fakultas Hukum, Universitas Indonesia 2015 itu.

Veda menambahkan, KAKG menggunakan pendekatan holistik sebagai pilar dasar. Ini mencakup layanan konsultasi atau pendampingan hukum; rujukan ke mitra untuk pemulihan psikis atau medis; dan rujukan untuk rumah aman.

Peraih penghargaan SATU Indonesia Awards dari Astra ini menjelaskan, sikap KAKG dalam menghadapi keputusan pencabutan aduan tersebut adalah menghormati keputusan korban.

Perjalanan pencarian keadilan ini adalah milik korban seutuhnya. KAKG ada untuk mendampingi, memberikan informasi, nasihat atau masukan, tetapi tidak pernah untuk membuat keputusan. Apa pun keputusan dalam penanganan kasus akan berdampak langsung bagi korban.

”Agensi korban untuk menentukan keputusannya, keadilannya, dan perjalanannya sendiri adalah bagian dari kebangkitan mereka atas kekerasan yang terjadi,” kata peraih Master Hukum dari University of Chicago Law School ini.

“Sebab pada dasarnya, saat terjadi kekerasan, kuasa dan kemandirian korban diambil alih oleh orang lain.”

Bagi korban kekerasan seksual dapat menyampaikan aduannya ke e-mail: [email protected], Hotline: 088299989248, Instagram: @advokatgender, dan TikTok: @advokatgender.

Veda mengatakan, banyak korban yang hanya meminta layanan konsultasi hukum. Sebagian lagi meminta pendampingan hukum langsung, baik dengan mekanisme di dalam maupun di luar pengadilan, dengan hasil yang berbeda-beda.

”Sejauh ini setidaknya sudah ada lima putusan pengadilan atas perkara yang kami dampingi dan dalam 1 kasus, korban berhasil memperoleh restitusi dari pelaku,” jelas Veda.

Per awal 2024, total ada sekitar 550 pengaduan yang datang ke KAKG. Sebesar 93 persen pengaduan datang dari kaum perempuan, 5 persen kelompok minoritas gender, dan 2 persen laki-laki (heteronormatif).

Untuk ke depannya, Veda mengharapkan agar tidak ada lagi kasus kekerasan seksual yang terjadi, sehingga KAKG tidak perlu ada.

“Semua kalangan dapat memperoleh akses keadilan dari pihak pemerintah. Dalam artian, pemerintah sudah cukup kapasitas untuk menyediakan hukum yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat,” ujarnya. ***

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus