Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Sidoarjo - Prihatin dengan makin marak anak-anak kecanduan gadget, memotivasi Achmad Irfandi mendirikan Kampung Lali Gadget.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belasan bocah tampak berkumpul dalam dua kelompok di sebuah pendopo yang sesak dengan berbagai mainan. Anak-anak perempuan berseragam olahraga sibuk memainkan dakon, sementara yang laki-laki heboh dengan adu gasing. Teriakan dan celotehan terdengar nyaring sepanjang mereka memainkan permainan tradisional tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berada di Dusen Bendet, Desa Pagerngumbuk, Wonoayu, Sidoarjo, Jawa Timur, pendopo itu merupakan markas Kampung Lali Gadget. Tempat tersebut sehari-hari jadi jujukan anak-anak sekitar desa setempat untuk bermain. "Mereka datang sendiri. Ada juga yang diantar orang tuanya," kata pendiri Kampung Lali Gadget, Achmad Irfandi, kepada Tempo, Ahad, 14 Juli 2024.
Penerima Semangat Astra Terpadu Untuk atau SATU Indonesia Awards 2021 Bidang Pendidikan itu mengatakan Kampung Lali Gadget didirikan pada 2018. Pemicunya adalah keresahannya melihat anak-anak di desanya kecanduan gadget. Selain itu, Achmad Irfandi tergerak setelah menyaksikan berita di sebuah televisi bahwa banyak anak masuk rumah sakit jiwa karena kecanduan gadget.
Anak-anak bermain holaho di pendopo Kampung Lali Gadget di Desa Pagerngumbuk, Wonoayu, Sidoarjo, 14 Juli 2024. Tempo/Nur Hadi
Awalnya, ia dan sejumlah pemuda di desanya membuat kegiatan literasi berupa mendongeng dan mewarnai untuk mengatasi masalah tersebut. Berhasil menghadirkan sekitar 45 anak dari tiga sekolah dasar di desanya, ia tertantang membuat kegiatan lanjutan yang bisa menarik lebih banyak peserta. “Di sela-sela itulah muncul ide permainan tradisional,” katanya.
Menurut pria 31 tahun tersebut, sebenarnya anak-anak sekarang tidak tahu permainan tradisional karena sejak lahir tidak pernah dikenalkan. Mereka terpaksa main gadget karena tidak ada pilihan. “Mereka lahir sudah ada Internet,” kata lulusan magister Pendidikan dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya (Unesa) tersebut.
Kegiatan kedua akhirnya diberi nama “Dolanan Tonpo Gadget”. Kegiatan itu digelar di pekarangan belakang rumah tokoh inspiratif ini. Pesertanya pun lebih banyak, yakni 70-an anak. Selain diikuti siswa di tiga sekolah dasar di desanya, peserta datang dari kampung lain karena mengetahui publikasi di media sosial.
Berkaca pada kegiatan yang kedua, Irfandi dan volunteer (relawan) sepakat mengganti nama menjadi Kampung Lali Gadget. Kegiatan ketiga yang digelar dua bulan kemudian menjadi titik balik. Pesertanya nyaris mencapai 500 anak dengan 100 volunteer. “Sebelumnya kami buka open recruitment. Siapa pun boleh bantu, baik donasi atau menjadi volunteer,” kata dia.
Karena sambutan yang luar biasa, mendorong Irfandi dan volunteer memutuskan merutinkan kegiatan menjadi dua bulan sekali. “Kalau tidak diteruskan sama saja dengan komunitas lain yang cuma sekali acara selesai.” Kegiatan tersebut akhirnya dilaksanakan sampai sembilan kali sebelum akhirnya berhenti karena pandemi Covid-19.
Di tengah masa pandemi yang penuh ketidakpastian, Irfandi setiap akhir pekan memulai kembali mengumpulkan secara terbatas anak-anak di sekitar rumahnya. Sembari mengaktifkan kegiatan, Irfandi berupaya agar kegiatan yang dilakukan Kampung Lali Gadget tidak bergantung pada bantuan dari donatur. “Jadi kami harus punya otoritas mandiri,” katanya.
Selanjutnya: Pembentukan Yayasan Kampung Lali Gadget
Akhirnya, pada 2020, dibentuk Yayasan Kampung Lali Gadget. Atas saran dan masukan seorang teman serta orang tua peserta, diputuskan kegiatan Kampung Lali Gadget harus berbayar. “Anak lokal tetap free. Istilahnya subsidi silang,” ujarnya. Uang dari peserta dibuat untuk operasional, mulai dari sewa lahan, pengadaan properti dan mainan, hingga membayar volunteer tetap.
Untuk menunjang kegiatan, dengan merogoh uang pribadi dari jualan udeng pacul gowang khas Sidoarjo serta bantuan dari sejumlah teman dan donator, Irfandi membangun pendopo Kampung Lali Gadget pada 2021. Menempati pekarangan yang disewa dari pamannya, pendopo seluas 12 x 10 meter tersebut berdiri persis di depan rumah orangtua Irfandi.
Meski berbayar, masyarakat tetap menyambut dengan baik, terutama lembaga pendidikan, baik di Sidoarjo maupun di luar Sidoarjo. Awalnya setiap anak atau siswa membayar Rp 5 ribu. Namun kini naik menjadi Rp 35 ribu. “Pemasukan yang paling besar dari sekolah-sekolah yang datang ke sini,” ujarnya.
Anak-anak bermain gasing di pendopo Kampung Lali Gadget di Desa Pagerngumbuk, Wonoayu, Sidoarjo, 14 Juli 20204. Tempo/Nur Hadi
Seorang tetangganya mengaku jika anaknya mengalami perubahan setelah rutin mengunjungi Kampung Lali Gadget. “Jadi kritis, apa-apa ditanyakan,” katanya menirukan tetangganya itu. Irfandi berasumsi itu terjadi karena anak tersebut berinteraksi dengan anak lain yang mendapatkan pola asuh yang baik. “Tamu yang datang selalu penasaran terhadap sesuatu yang baru.”
Karena berdampak pada anak-anak kecanduan gadget, Irfandi berharap desa-desa lain bisa mereplikasi apa yang dilakukan Kampung Lali Gadget. Sebab, kata dia, masalah kecanduan gadget terjadi di semua tempat. “Tidak harus sama,” ujarnya. “Bayangkan di setiap desa ada ruang-ruang bermain seperti Kampung Lali Gadget.”
Ia menyebut sudah ada tiga daerah yang mencontoh dengan branding berbeda. Ketiga daerah itu adalah Probolinggo, Jawa Timur; Demak, Jawa Tengah; dan Tangerang Selatan, Banten. Dalam waktu dekat menyusul Pasuruan. “Kami sudah membuat modul, tinggal mendetailkan sampai ke bentuk permainan,” katanya.
Ikhtiar yang dilakukan Irfandi mengatasi kecanduan gadget lewat permainan tradisional diganjar penghargaan oleh pemerintah daerah. Secara berturut-turut ia dinobatkan sebagai Pemuda Pelopor Provinsi Jawa Timur Bidang Pendidikan pada 2019 dan 2020. Atas capaiannya itu, Kampung Lali Gadget kini jadi aset sekaligus prioritas desa dan pemerintah Kabupaten Sidoarjo.