TAK ada makhluk yang abadi. Bila saatnya tiba, tak bisa ditawar kematian harus diterima sebagai penutup bagian terakhir kehidupan: ketuaan. Sudah ditakdirkan tiap jenis spesies memiliki masa hidup yang khas. Yang satu lebih pendek daripada yang lainnya. Namun, seleksi alam -- dalam menghadirkan kematian -- tak senantiasa didasarkan habisnya masa hidup. Binatang di rimba raya hampir tak pernah menghabiskan masa hidup itu. Tunduk pada hukum rimba, kehidupan di sana dibatasi sebuah siklus. Yang lemah dimangsa yang kuat, yang kuat musnah karena kehabisan makanan. Bagaimana dengan manusia? Mortalitas pada spesies dari jenis yang paling unggul ini sedikit lebih canggih. Seleksi alam terutama datang dari penyakit. Penyakit umum, seperti wabah, dan juga penyakit ketuaan. Masalah mendasar seperti itulah yang muncul pada simposium gerontologi "Teori Biologi Modern pada Proses Ketuaan" yang diselenggarakan di New York, Amerika Serikat, Juni lalu. Peristiwa ini tercatat sebagai pertemuan ilmiah terbesar mengenai gerontologi (ilmu ketuaan). Sebagian besar ahli gerontologi dunia berkumpul di sana, termasuk yang bergerak di bidang biologi. Simposium tak mengubah proposisi, manusia imortal -- tak pernah ada tanda dari usaha-usaha yang memungkinkan manusia bisa hidup kekal. Namun, berapa tahunkah "jatah" yang diberikan bagi kehidupan manusia? Inilah pangkal diskusi yang membuahkan berbagai teori baru dalam ilmu ketuaan. Berdasarkan statistik, digariskan secara teoretis, masa hidup manusia sebenarnya 115 tahun. Pada usia sekitar ini, diperkirakan manusia akan mati secara alamiah. Bagaimana proses kematian itu terjadi, tak seorang pun bisa membuktikannya hingga kini. Sejumlah ahli biologi molekul telah mencoba meneliti bagaimana mutasi genetik terjadi secara teratur menuju ketuaan, dan akhirnya kematian. Tak ada jawaban bisa didapat. Tak ada perbedaan genetik bisa ditemukan pada seseorang berusia muda dan seorang tua di atas 100 tahun yang masih sehat. Tetapi, usia rata-rata yang bisa dicapai manusia hanya 75-80 tahun. Artinya, alam memiliki seleksi yang sangat ketat, dan tak membiarkan sebagian besar manusia menghabiskan "jatah" hidupnya. Medianya: penyakit. Di antaranya penyakit ketuaan. Dalam gerontologi berbagai penyakit ketuaan sudah diteliti: Alzheimer, Parkinson, skleroderma sistemik, dan sejumlah lagi. Di antara bagian tubuh yang rentan terhadap ketuaan, juga sudah diketahui: ginjal, paru-paru, dan sistem pertahanan tubuh. Sementara itu, jantung, liver, dan bagian perut relatif lebih tahan -- meningkatnya jumlah kematian akibat kanker liver dan jantung menunjukkan semakin besarnya jumlah kematian akibat penyakit umum, bukan penyakit ketuaan itu. Di masa kini, seperti tampak pada simposium di New York itu, pengkajian penyakit ketuaan tak lagi cuma mendata simtom-simtom dan mencari pengobatannya. Para ahli biologi molekul menyuruk lebih dalam: ke lingkungan sel dan inti sel tempat terdapat molekul DNA (deoxyribonucleic acid). DNA adalah untaian asam amino yang mengandung gen, pemrakarsa pembuatan semua zat yang diperlukan metabolisme: protein, hormon, antibodi, dan lain-lain. Hingga kini, jumlah substansi DNA belum diketahui dengan pasti, tapi diperkirakan ada 3 milyar unit kimiawi di sana -- para peneliti Amerika baru akan mendata sekitar 1 juta unit, dalam waktu dekat. Dari penelitian biologi molekul terungkap, terjadi ribuan kasus kerusakan pada untaian DNA setiap harinya. Kerusakan-kerusakan ini secara kontinu diatasi oleh DNA sendiri. Nah, menurut penelitian Dr. Irwin Fridovich, pada akhirnya usaha rehabilitasi DNA keteter. Unit-unit penyelamat tak mampu menghadapi ketakberesan yang datang bertubi-tubi. Dengan kata lain: bingung. Kerusakan yang tak bisa ditangani dan kemudian menjadi berlarut-larut di lingkungan inti sel -- di semua organ tubuh -- itulah pangkal ketuaan. Pernah dilakukan sebuah penelitian, mengambil gen yang bertanggung jawab memproduksi protein yang merupakan katalis pembuatan hormon. Ketika diamati terus-menerus, terlihat gen itu lama-kelamaan bingung dan membuat kesalahan-kesalahan, hingga protein yang diproduksi pun tak menentu komposisinya. Manifestasi salah produksi protein ini bisa terjadi pada jaringan kolagen, yang mengandung sangat banyak protein. Jaringan ini berfungsi menjaga kelenturan semua bagian tubuh: kulit, persendian, dan sebagainya. Pada keadaan normal, ketika masih muda misalnya serat-serat jaringan kolagen membentuk semacam jala yang elastis. Namun, bila kerusakan terjadi, muncul untaian kimiawi yang kaku mengikat serat-serat kolagen. Maka, jaringan kolagen kehilangan kelenturannya. Dalam proses ketuaan terlihat kekakuan jarinan kolagen ini kemudian merusakkan pula jaringan-jaringan sekelilingnya. Ancaman kematian muncul apabila kerusakan jaringan kolagen ini merambat ke organ-organ tubuh penting, seperti paru-paru, ginjal, liver, lambung, dan jantung. Tanda-tanda menurunnya kelenturan kolagen sama persis dengan tanda-tanda ketuaan. Kekakuan persendian, mengeriputnya kulit, dan mengendurnya lapisan lemak. Salah produksi protein tak cuma merusakkan jaringan-jaringan yang mengandung protein. Kebingungan genetik mengakibatkan pula terlepasnya zat-zat yang janggal. Zat-zat janggal tertentu, hasil salah produksi itu, ternyata menyerang unsur sangat penting dalam metabolisme, yaitu oksigen. Zat yang kemudian disebut "substansi radikal" (free radicals) ini merusakkan secara kontinu sekitar 5% oksigen yang masuk dengan jalan mengubah struktur atiom oksigen hingga menjadi oksigen-oksigen liar. Selanjutnya, oksigen-oksigen liar ini kembali menyerang untaian DNA dan memperbanyak kerusakan yang terjadi. Penemuan ini tentunya membuahkan kontroversi dalam usaha menekan ketuaan. Olah raga, hingga kini, dipercaya bisa menjaga kesegaran organ-organ tubuh. Namun, olah raga juga membuat perputaran oksigen menjadi lebih cepat. Dengan kata lain, oksigen-oksigen liar lebih banyak diproduksi dan kerusakan DNA di berbagai organ semakin parah. Kerusakan genetik ini bagai payung yang menaungi berbagai kerusakan lain yang lebih dikenal. Dua yang pokok, daya tahan tubuh menghadapi penyakit (kekebalan) dan keseimbangan hormonal. Di sektor hormon, keadaan menjadi lebih parah oleh ketakseimbanganannya sendiri. Sudah diketahui, keseimbangan hormon sangat dipengaruhi faktor psikologis, yang di masa kini banyak menjadi faktor pengguncang. Di antara yang populer, stress yang membuat berlebihnya hormon adrenalin. Kelebihan ini mengganggu keseimbangan hormonal dan diduga menimbulkan banyak penyakit. Pada imunitas, manifestasi kerusakan sering kali berupa mengerutnya kelenjar thymus di rongga dada tempat 25 jenis hormon bertugas memberikan instruksi pembuatan sel-sel T yang penting kedudukannya dalam sistem kekebalan tubuh. Sel ini, selain mengaktifkan pembuatan antibodi, juga menyerang secara langsung penyakit yang masuk. Kerusakan kelenjar thymus sering kali membuat sistem kekebalan tubuh justru menyerang jaringan-jaringan tubuh sendiri. Dari penemuan baru itu, muncul gagasan "terapi genetik" mengatasi ketuaan. Beberapa percobaan bioteknologi, membuat komposisi baru DNA (rDNA) pada cacing sederhana, ternyata bisa memperpanjang usia rata-rata. Pada manusia usaha itu bisa dilakukan dengan memperkuat unit-unit penyelamat di lingkungan inti sel yang bisa menghancurkan zat-zat janggal akibat salah produksi. Cara lain, membuat rDNA (rekombinan DNA) dengan jalan memutus untaian molekul itu, dan menggantikan beberapa gennya, hingga misalnya tak terjadi salah produksi protein. Namun, ikhtiar genetik itu masih teoretis. Usaha ini bergantung pada upaya mendata unit DNA yang kini sedang dilakukan dengan komputer dan akan menelan biaya US$ 10 milyar -- dalam waktu 3-10 tahun. Bila perjuangan ini berhasil, manusia mungkin bisa memperpanjang usianya. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini