Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mengapa teroris sering lolos

Berbagai aksi teroris internasional yang kian merajalela. sejumlah perangkat senjata dan bahan peledak yang digunakan teroris. upaya menangkal teroris dengan teknologi canggih masih belum andal. (sel)

16 Agustus 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AHAD, 23 Oktober 1983. Pagi baru saja tiba di Beirut, kota dengan tamasya yang menakjubkan, tetapi juga yang telah berubah menjadi ajang perang gila-gilaan dalam belasan tahun terakhir. Di dekat bandara internasional kota yang kusut itu, ratusan marinir AS masih lelap tertidur di dalam sebuah bangunan berlantai empat. Para marinir menamakan bangunan ini "Hilton Beirut". Sedangkan di Pentagon, ia disebut Markas Besar Tim Pendaratan Batalyon. Sebuah truk Mercedes-Benz berwarna kuning baru saja melewati pos penjagaan -tentara Libanon, kemudian meluncur di jalan yang tidak dikawal, menuju halaman parkir umum tepat di depan "Hilton" tadi. Dengan kecepatan 56 kilometer per jam, truk itu melintasi halaman parkir yang kosong, kemudian dengan mudahnya menerobos lapisan hambatan yang terbuat dari kawat. Dua orang marinir yang sedang berjaga tergagap meraih senapan M-16. Tetapi, mereka tidak bisa berbuat banyak. Kedua senjata itu kosong, sesuai dengan perintah yang berlaku. Sopir truk itu tampak tersenyum ketika melewati kedua marinir yang masih bingung. Kendaraan berat itu kemudian mendobrak karung-karung pembatas, langsung masuk ke lobi markas besar, dan berhenti di situ. Beberapa ahli percaya, sebuah relay elektrik murahan, seperti yang terdapat dalam mesin judi jackpot, kemudian memacu sebuah detonator yang ditempatkan di dalam truk. Akibatnya adalah ledakan yang dahsyat, yang ditimbulkan oleh muatan truk, yang menurut dugaan setara dengan enam ton TNT. Sebagian besar isi muatan ialah RDX, juga dikenal dengan sebutan hexogen, bahan peledak tingkat tinggi yang biasa digunakan di kalangan militer. Di sebuah kota dengan batas-batas yang tumpang tindih antara kehidupan sipil dan tempur, para teroris seperti mendapat peluang emas untuk menimbun, mencuri, bahkan mendapat pasokan bahan peledak. Dan kenyataan ini sudah berlangsung paling tidak untuk satu dasawarsa. Contoh paling mencolok ialah penjualan 21 ton bahan peledak tingkat tinggi kepada Libya oleh bekas agen CIA Edwin Wilson, 1977. Menurut beberapa ahli keamanan, Libya kemudian menyalurkan sebagian bahan peledak ini kepada berbagai kelompok teroris. Ledakan di "Hilton Beirut" tadi, menurut laboratorium forensik FBI, adalah ledakan nonnuklir terbesar yang pernah dicatat. Ledakan itu meninggalkan lubang sedalam tiga meter, dengan lebar sekitar 14 meter. "Hilton Beirut" berubah menjadi setumpukan abu, dan 241 dari sekitar 300 marinir yang berada di gedung itu langsung berangkat ke akhirat. Pentagon bahkan menyimpulkan, kehancuran benda dan nyawa tetap saja dahsyat, pun seumpama truk itu meledak di jalan raya, dari jarak sekitar 100 meter dari sasaran. "Terorisme merupakan sesuatu yang tidak bisa diramalkan, tidak bersifat ortodoks, dan kerap kali dilakukan dengan kesiapan untuk bunuh diri," tulis Wayne Biddle dalam majalah Discover, baru-baru ini. Di samping itu, "Teknologi, dari sisi lain, senantiasa membuka peluang untuk tindakan-tindakan ulangan, pencapaian standardisasi, dan perhitungan-perhitungan risiko." Kaum teroris memang menguasai seperangkat teknologi yang cocok untuk kepentingan mereka, mulai dari penggunaan korek api sampai pada peluncuran rudal inframerah. Tetapi, tidak jarang pula mereka mengambil kesempatan -- dari ketergantungan pertahanan masyarakat pada teknologi -- untuk bertindak menurut pola primitif. Peristiwa yang dialami pesawat Trans World Airlines dengan nomor penerbangan 840 merupakan contoh sehari-hari sepak terjang kaum teroris yang terentang melalui Roma, Athena, dan Kairo. Melalui kawasan bulan sabit terorisme yang subur ini, pengamanan penerbangan bisa dikatakan yang terketat di dunia -- di luar Israel. Setiap bandara utama di ketiga kota itu dilengkapi dengan perangkat canggih antiteroris, yang ditangani oleh tenaga-tenaga terlatih. Toh, mereka masih bisa kecolongan. Di salah satu bandara itulah, seseorang -- yang paling dicurigai adalah seorang penumpang wanita Libanon bernama May Mansur -- naik dari Kairo dan turun di Athena membawa dengan aman sebuah bom kecil melalui mesin-mesin sinar-X dan pelacak logam. Ketika TWA-840 itu merendah ke ketinggian 15 ribu kaki untuk mendarat di bandara Athena pada pukul 14.30, sebuah bom plastik seberat kira-kira seperempat kilogram meledak di bawah tempat duduk 10F kelas ekonomi, sektor nonperokok. Bahan peledak itu mungkin dari jenis C-4, campuran sangat tidak peka yang biasa digunakan pasukan NATO, dan mengandung 91% RDX. Mungkin juga dari jenis Semtex, dengan kandungan 44,5% RDX dan 44,5% PETN -- unsur bahan peledak tingkat tinggi lain. Sisanya sebagian besar hanya minyak sayur. Bom itu dirakit di Cekoslovakia. Baik C-4 maupun Semtex tidak bisa dicium oleh alat-alat pelacak bandara. Karena itu, siapa pun bisa melintaskan barang itu dengan aman, tanpa perlu memikirkan sebuah teknologi yang istimewa. Benda itu, misalnya, bisa dibawa masuk dalam sebuah amplop karton manila, dibuka dengan tenang, kemudian direkatkan di bawah tempat duduk 10F tadi. Untuk meledakkannya pun tidak diperlukan teknologi canggih. Sebuah detonator sebesar rokok sudah lebih dari cukup. Detonator itu bisa dipacu oleh batere yang lazim digunakan untuk kalkulator saku. Untuk penghitung waktu, sebuah arloji digital sudah memenuhi syarat. Maka, teknisi khusus menjadi mubazir untuk pekerjaan ini. Namun, lepas dari ukurannya yang kecil, dan desainnya yang "kampungan", akibat yang ditimbulkannya lumayan parah. Bom itu telah merobek dinding aluminium pesawat B-727 tadi, dan melemparkan empat orang Amerika -- satu di antaranya bayi berusia belum setahun -- ke awang-awang, awal April lalu. Jika bom itu meledak lebih cepat, misalnya di ketinggian 29 ribu kaki, di tempat perbedaan tekanan atmosfer antara di dalam dan di luar pesawat lebih tinggi, akibatnya pasti lebih fatal. Seluruh pesawat bisa hancur berkeping-keping. Kenyataan ini sekaligus membuktikan bahwa kaum teroris sendiri tidak sampai pada perhitungan desain yang matang, yang berhubungan dengan efek bahan peledak yang digunakan. Memang, setelah peristiwa itu, ada laporan yang menyatakan bahwa bom itu dirancang dengan "sangat canggih", mungkin sekali oleh seorang tokoh teroris bernama Rashid, yang konon memiliki keterampilan khusus di bidang bahan peledak. Laporan ini dibantah langsung oleh beberapa ahli terorisme Amerika. "Siapa saja bisa membuat bom semacam itu," ujar Bruce Hoffman, seorang analis pada Rand Corporation di Los Angeles. Tapi itulah. Justru dengan teknologi "sembarangan" itu, "jumlah tindakan yang bisa dilancarkan kaum teroris jauh lebih banyak daripada jenis pencegahan yang bisa kita lakukan," kata Paul Robinson, bekas direktur madya keamanan nasional di Laboratorium Nasional Los Alamos. Dengan pernyataan ini, Robinson sebetulnya ingin membuat perbandingan, siapa yang sesungguhnya berada di atas angin dalam perang antara teror dan antiteror. Kedudukan pihak pencegah memang tak menguntungkan. "Kita selalu dalam posisi yang menuntut bahwa pencegahan mensyaratkan musuh yang berimbang," katanya. Kini, ketika pemerintahan Reagan mengambil sikap lebih agresif terhadap kaum teroris, pertanyaan tentang teknologi yang mungkin atau tidak mungkin digunakan oleh kelompok-kelompok yang berhadapan menjadi semakin mendesak. Pertanyaan itu beredar gencar melalui bentangan yang sangat luas, mulai dari kamar-kamar siaga Armada VI AS yang beroperasi di Laut Tengah, sampai ke kantor-kantor biro perjalanan di seantero Amerika. Sementara itu, teknologi terorisme dan antiterorisme makin menjadi topik penting. Masyarakat -- khususnya AS -- seperti tak habis-habisnya berdiskusi tentang bom gelap, rudal antipesawat terbang berukuran portable, pistol plastik, alat pelacak bahan peledak, pengamanan elektronis, dan soal-soal lain yang senada. Sebaliknya, wawancara dengan sejumlah ahli senjata dan taktik membuahkan dampak yang mengecilkan hati. Menurut mereka, reaksi teknologis terhadap ancaman teroris bisa diamsalkan secarik plester untuk luka yang sangat dalam. Lebih buruk lagi, reaksi itu malah bisa memancing kekerasan yang lebih pekat. "Kita harus memacu tingkat teknologi antiterorisme kita paling tidak menyamai tingkat teknologi kaum teroris," kata Harvey McGeorge, ahli teknologi keamanan dan konsultan bidang terorisme. Yang menyebalkan, "Kaum teroris itu tidak pernah kekurangan teknologi yang cocok untuk kepentingannya -- setiap kemampuan kita meningkat, mereka langsung mengejarnya," McGeorge menambahkan. Di bidang literatur, selama dasawarsa terakhir cukup banyak yang ditulis tentang bagaimana harus bertindak menghadapi terorisme. Namun, bila masalahnya berkenaan dengan ancaman langsung, semua tulisan lebih banyak melakukan pendekatan ideologis, dan dengan gaya yang samar-samar. "Sebagai sebuah disiplin akademis, penulisan tentang terorisme termasuk di antara yang paling lemah," tutur Omar Kader, doktor terorisme lulusan Universitas California Selatan, dan konsultan perencanaan antiteror pemerintah federal, yang berkantor di Washington. Sebagai bahan perdebatan, Kader membagi dua kaum teroris. Yang pertama ialah dari jenis etnonasionalis, seperti IRA (tentara republik Irlandia) dan PLO. Mereka ini dipersatukan oleh bahasa, agama, dan wawasan teritorial. Sedangkan jenis kedua ialah yang digerakkan oleh motivasi ideologis, misalnya Brigade Merah atau pasukan-pasukan maut sayap kanan di Amerika Latin. Untuk menghadapi kedua jenis itu, katanya, "Anda lebih baik mendengar para analis yang menguasai soal-soal paramiliter, ketimbang meminta fatwa para ahli geopolitik." Orang-orang yang memiliki pengetahuan paramiliter belakangan ini memang seperti turut bertanggung jawab, dan tidak keberatan menjual pengetahuan mereka kepada para eksekutif bisnis dan pejabat pemerintah yang kadang-kadang harus berhadapan dengan terorisme. Sementara para ahli antiteror federal banyak yang tidak mampu, atau tidak mau, mendiskusikan teknologi, sejawat komersial mereka berbicara secara terbuka tentang kekuatan dan kelemahan terorisme dan antiterorisme. "Sebagian besar kelompok teroris tidak memuja teknologi baru," kata McGeorge, konsultan bidang terorisme itu. Alasan mereka, teknologi baru itu selalu bersifat eksperimental, belum punya jaminan seratus persen akan berhasil. Mereka lebih suka memilih teknik yang paling sederhana, tetapi dengan hasil yang memuaskan. Tetapi, teknologi sederhana tidak otomatis berarti teknologi rendah. Bila menyangkut senjata ringan dan bahan peledak, misalnya, mereka memilih jenis yang mudah disembunyikan, dan bisa digunakan oleh hampir setiap orang. Senapan Kalashnikov rancangan Soviet itu termasuk yang paling disenangi dan bisa ditemukan di mana-mana, sejak gerakan gerakan revolusioner dalam Perang Dunia II. Bukan berarti bahwa persekongkolan komunis sudah merambat di mana-mana, melainkan karena senjata itu memang patut diandalkan. Toleransi mekanis sistem penembakannya menghasilkan tingkat keandalan yang tinggi. Demikian pula pistol mesin ringan Scorpion VZ-61 buatan Cekoslovakia, jenis yang digunakan Brigade Merah membunuh bekas perdana menteri Italia Aldo Moro pada 1978. Pistol ini digemari karena ukurannya yang kecil, dan jarak tembaknya yang efektif, sama dengan pistol Uzi buatan Israel. Namun, dalam sebuah dunia yang penuh dengan alat pembunuh, tak cukup kuat alasan untuk terlalu memuja model senjata tertentu. Hal yang sama berlaku di bidang bahan peledak. Bom plastik tampaknya paling banyak dipilih, dan dengan alasan yang masuk akal. Ketika kaum radikal AS mengebom sebuah gedung riset di Universitas Wisconsin, 1970, mereka menggunakan sebuah kendaraan berisi sekitar 900 kilogram pupuk buatan, yang kemudian dinyalakan. Jika bahan yang sama ini dipakai untuk meledakkan markas marinir di Beirut itu, dibutuhkan satu konvoi truk untuk menggantikan satu bom dengan bahan RDX. C-4 dan Semtex memiliki kekuatan sepertiga TNT, yang pada gilirannya dua kali lebih kuat daripada dinamit biasa. Bahan peledak plastik dikembangkan selama Perang Dunia II, bukan saja karena bahan tersebut menghasilkan ledakan yang lebih keras, melainkan juga oleh "keserasiannya" dengan lingkungan. Bahan ini hanya bisa diledakkan dengan detonator -- tidak gampang meletus oleh sentuhan fisik -- dan mudah dijinakkan oleh pemakai. Tergantung jumlah campuran yang dipakai, bahan ini mudah disamarkan sehingga tampak seolah-olah batu bata, kulit sepatu, tali jemuran, atau dempul biasa. Ramuan utama semua bahan peledak plastik ialah RDX (cyclotrimethylenetrinitramine) atau PETN (pentaerythrite tetranitrate). Bahan-bahan ini disiapkan pertama kali oleh para ilmuwan Jerman pada 1890-an, tetapi tidak digunakan secara luas sebagai bahan peledak hingga setelah Perang Dunia I. Dalam bentuk aslinya, kedua bahan peledak ini sangat peka terhadap sentuhan dan gesekan. Baru setelah dicampur dengan berbagai jenis plastik dan lilin, ia menjadi cukup stabil untuk penanganan yang tidak terlalu ruwet. Dalam Perang Dunia II, Inggris mengembangkan bahan peledak dengan unsur utama RDX, yang bisa dibentuk dengan tangan, dan menghasilkan kekuatan yang cukup ampuh. Angkatan Darat AS menyebut adonan itu Composition C, dan melakukan standardisasi dengan 88,3% RDX dan 11,7% plastik berminyak noneksplosif. Selama tahun-tahun beikutnya, campuran itu dibuat lebih kebal terhadap suhu ekstrem, dan lebih kuat daya ledaknya. C-4 lebih canggih dari Composition C. Ramuan ini tidak berbau, tampak seperti dempul, berwarna agak putih dan cokelat muda, dengan kandungan 91% RDX, 5,3% di-(2-ethylhexyl) sebacate, 2,1% polyisohutylene, dan 1,6% minyak pelumas motor. Dengan takaran seperdelapan kilogram, ramuan ini sudah mampu menimbulkan kerusakan yang berarti terhadap bahan bangunan apa saja. Ia disebut bahan peledak tingkat tinggi karena perubahannya ke dalam bentuk gas nyaris otomatis begitu ia dinyalakan, kira-kira dengan kecepatan 26.400 kaki per detik. Penyalaannya menimbulkan gelombang tekanan yang besar, yang pada gilirannya menabrak sasaran di sekitarnya. Watak C-4 yang ideal untuk keperluan militer membuat ramuan ini juga digemari oleh kaum teroris. Harganya murah. Bisa diramu dari bahan baku yang mudah didapat di mana-mana. Tidak peka terhadap guncangan tapi mudah dinyalakan, stabil untuk segala cuaca. Rendah kadar racunnya, serta gampang dibungkus dan ditangani. Bila Semtex kurang disukai, karena ramuan ini kadang-kadang kotor, atau minyak sayur yang menjadi campurannya meleleh pada cuaca tinggi. Kemungkinan ini membuat bahan tersebut mudah dilacak bila dimasukkan dalam bom surat atau ketika diselipkan di antara barang-barang lain. Akibat pelelehan minyak inilah, antara lain, sebuah rencana peledakan bisa digagalkan pada 17 April lalu. Ketika itu, para petugas keamanan perusahaan penerbangan Israel, El Al, berhasil menahan seorang wanita Irlandia bernama Marie Murphy, yang ketahuan membawa bom di dalam kopornya, pada penerbangan pesawat El Al menuju London. Kendati tidak banyak detail yang diberitakan tentang peristiwa itu kepada khalayak, cukup luas diketahui bahwa bom yang dibawa Marie Murphy terbuat dari 11/4 kilogram Semtex. Wanita itu ternyata diperalat kekasihnya, seorang jejaka Palestina. Senjata infanteri paling maju yang sudah sampai ke tangan para teroris ialah peluncur granat RPG-7 buatan Uni Soviet, dan rudal antipesawat terbang SAM-7 Strela. RPG-7, antara lain dimiliki Tentara Republik Irlandia (IRA), mampu menembus baja setebal 14 inci. Kendati tidak terlalu akurat, senjata ini mudah ditembakkan, dan mampu menghentikan kendaraan lapis baja. SAM-7, sebagai perbandingan, merupakan senjata pemburu bahang yang kurang praktis bila dibandingkan dengan RPG-7. SAM-7 agak rewel, harus ditangani dengan sedikit keterampilan khusus -- atau keberuntungan -- untuk mencapai dan menghancurluluhkan sasaran, sekalipun sasaran itu besar dan bergerak lambat, misalnya pesawat terbang yang sedang tinggal landas. Kaum contras Nikaragua memiliki senjata ini. Pada akhir 1970-an, agen-agen dinas rahasia AS menemukan model SAM-7 yang bisa dilipat dan dimasukkan ke dalam kopor. Padanan Amerika-nya yang lebih maju ialah Stinger. Kendati AS telah menjual senjata jenis ini kepada Arab Saudi dan Pakistan, Stinger, konon, belum jatuh ke tangan kelompok teroris. Kemungkinan ini, Stinger jatuh ke tangan teroris, bisa saja terjadi jika pemerintahan Reagan memasoknya untuk para pemberontak di Afghanistan, Angola, atau Nikaragua. Stinger membutuhkan lingkungan yang ideal untuk mencapai sasaran. Dalam hal berimprovisasi di bidang kesenjataan, IRA mungkin bisa disebut sebagai kelompok yang paling inovatif. Mereka merancang mortir 60 mm dengan jarak tembak 1.700 meter, yang bisa dilipat dan dimasukkan ke dalam kopor pakaian. Mereka juga mengubah berbagai perlengkapan sisa Perang Dunia I hingga bisa dimanfaatkan untuk kepentingan mutakhir. Bagi kalangan antiteroris, tokoh cemerlang yang diangap paling menguasai teknologi teror ialah Christian Klar, yang kini sedang mendekam di penjara Jerman Barat. Sempat bergabung sebentar dengan Faksi Tentara Merah, ia pernah mencoba membuat helikopter dan sejenis mortir dengan 40 laras. Untunglah, kedua perangkat perang itu tidak pernah sempat digunakan. Banyak tulisan yang mempercayai, suatu ketika kaum teroris akan menggunakan juga senjata-senjata nuklir, kimia, dan biologi. Tetapi sebagian besar ahli meremehkan kemungkinan ini. Dari segi kesulitan rekayasa saja, sukar dibayangkan bahwa kelompok-kelompok teroris, bahkan negara yang paling terkenal beringasan, mampu membangun semacam pabrik untuk keperluan tersebut. Sekalipun dari segi informasi, pengetahuan kesenjataan nuklir tidak lagi seketat di masa lampau. Seorang ahli yang ikut membantu pemerintah AS mengembangkan sistem pengamanan kesenjataan mengatakan, "Saya mampu merancang senjata semacam itu, seperti halnya orang lain juga. Tetapi saya belum tahu bagaimana saya bisa menyelesaikan seluruh sistemnya, dan saya tetap hidup." Ia belum bisa membayangkan, bagaimana proses menangani bahan-bahan seperti uranium atau plutonium dapat dilakukan secara praktis. Ahli ini memang lebih khawatir pada penggunaan senjata biologi oleh para teroris. Soalnya, "Anthrax misalnya, bisa saja dikembangkan secara aman di dalam garasi, bahkan oleh seseorang dengan pengetahuan yang kurang." "Ancaman senjata biologi kaum teroris merupakan suatu kenyataan," ujar Robinson, bekas direktur madya keamanan nasional itu. Meski, ia sendiri masih ragu. Sebab, katanya, penggunaan senjata biologi lebih sering berarti penghancuran masal. Sementara itu, sampai saat ini, tampaknya, akibat seperti itu belum termasuk tujuan para teroris. "Mungkinkah mereka sudah mau membantai sebuah kota yang penuh dengan penduduk, yang kini memang dimungkinkan oleh teknologi ? Atau, sudahkah mereka memerlukan hal seperti itu untuk memancing perhatian terhadap sebuah kasus?" ia bertanya. Kader, doktor terorisme itu, men jawab, "Sebagian besar teroris bukanlah orang orang nihilistis. Mereka ingin perubahan. Abu Nidal, pemimpin kelompok sempalan PLO itu, memang seorang yang ganas sekaligus pintar. Tetapi ia juga mungkin mengerti bahwa selalu ada batas yang bisa dilakukannya, dan tetap bertahan." Menilai kemampuan teknis kaum teroris, dan tujuan-tujuan politis mereka yang bisa dibaca, banyak pengamat menyimpulkan bahwa terorisme masih akan tetap menggunakan cara-cara yang relatif primitif. Dalam sebuah simposium tentang ancaman terorisme yang diselenggarakan di Washington DC, baru-baru ini, seorang Robert Kupperman mengatakan, "Terorisme bisa hidup bukan karena jumlah bahan peledak tingkat tinggi yang mereka gunakan, bukan juga karena banyaknya korban yang mereka bunuh. Mereka bisa hidup justru karena munculnya teknologi penerbangan pancargas yang memungkinkan mereka bergerak cepat, munculnya televisi satelit, dan sistem peliputan serba cepat yang membuat lalu lintas informasi menjadi sulit dibendung." Kupperman adalah penasihat senior pada Pusat Studi Strategis dan Masalah-Masalah Internasional di Georgetown. Di samping itu, "Tidaklah mungkin sebuah masyarakat yang tidak terlatih dalam teknologi tinggi bisa menggunakan teknologi tinggi tersebut dalam urusan terorisme," ujar Daniel Carlin, direktur madya teknologi keamanan pada Departemen Luar Negeri AS. Dengan kata lain, menurut kodrat alamiahnya, terorisme tidak membutuhkan teknologi yang terlalu rumit, tidak juga orang-orang dengan kemampuan teknologi yang canggih. Mungkin inilah sebabnya mengapa terorisme bisa menimbulkan rasa takut yang sangat besar pada masyarakat yang dimanjakan oleh ilusi-ilusi tentang kekuatan teknologi. "Kita memerlukan waktu yang panjang dan berat melawan terorisme, karena musuh yang satu ini bekerja tidak dalam kebiasaan tradisional, misalnya seperti perseteruan antara kita dan Uni Soviet," kata Carlin. "Dari segi penggunaan teknologi tinggi, sebetulnya tidak ada yang patut kita khawatirkan dari terorisme," kata Hoffman, konsultan bidang terorisme. "Kegandrungan pada teknologi mungkin lebih kuat di kalangan kriminal daripada di kalangan kaum teroris," ia menambahkan. Peledakan kriminal di sebuah hotel di Danau Tahoe, 1980, misalnya, membuktikan betapa para penjahat menggunakan sistem penyalaan bahan peledak yang sebelumnya tidak dikenal. Yang sesungguhnya terus berkembang ialah pencanggihan teknologi antiterorisme, terutama lewat produksi alat-alat baru. "Saya percaya bahwa dalam tingkat teknologi, pihak antiterorisme berada di atas angin," kata Robinson pula. Di Amerika Serikat, banyak orang percaya bahwa yang menaruh perhatian paling besar pada keamanan antiteroris di kalangan pemerintah ialah Departemen Energi. Soalnya, departemen ini tujuan utamanya memproduksikan senjata-senjata nuklir, sementara faktor keamanan di departemen ini ternyata agak berantakan. "Pada sebuah inspeksi di tahun 1979 dan 1980, yang meliputi situs-situs Departemen Energi di seluruh AS, ketahuanlah betapa mudahnya mencuri bom nuklir, atau menyabot reaktor, atau menemukan begitu saja bahan baku uranium yang diperkaya dan plutonium," ujar seorang di antara bekas anggota tim. Maling biasa saja mampu mencuri barang-barang itu. Setelah inspeksi itu, ratusan juta dolar dibelanjakan untuk mengembangkan teknologi baru yang dianggap bisa melindungi barang-barang penting yang berantakan itu. Gudang-gudang dibenahi, fasilitas riset diperketat, dan kilang-kilang pemrosesan bahan baku nuklir dijaga lebih rapi. Alat-alat penghambat, alarem, dan pelacak, dikembangkan di Laboratorium Sandia milik Departemen Energi di Albuquerque. Sandia adalah situs Pangkalan Angkatan Udara Kirtland, depot utama penyimpan senjata nuklir. Tidak cukup sampai di situ, Pegunungan Manzano yang memesonakan, yang terletak di dekat pangkalan itu, juga dikawal lebih ketat. Di perut pegunungan ini terdapat gudang-gudang bom termonuklir, yang dikelilingi oleh tiga lapis pagar beraliran listrik. Satu di antara kepentingan utama Sandia ialah pengembangan alat pelacak bahan peledak. Portal-portal pelacak sudah lama dipasang di berbagai fasilitas dan kilang nuklir Departemen Energi -- bahkan sudah sekitar satu dasawarsa. Tetapi alat itu hanya efektif untuk bahan peledak jenis dinamit. Pada 1988 nanti, Dinas Penerbangan Federal AS mengharapkan ditemukannya pelacak bahan peledak yang mampu menjaring penumpang yang membawa dinamit, produk-produk ammonium nitrate, blackpowder, TNT, C-4, PETN, dan RDX -- hanya dalam tiga sampai enam detik. Tetapi, para peneliti di Sandia menilai keinginan ini "terlalu ambisius". Molekul dari semua bahan peledak di atas ialah senyawa nitrogen. Sejenis alat difokuskan pada sifat elektrofilik molekul, yaitu sifat kecenderungan menyerap elektron. Sebuah kipas menarik sekitar lima kaki kubik udara dari tubuh seorang yang ditempatkan berdiri tegak lurus dengan alat pelacak. Uap ini kemudian dicampur dengan gas lembam, misalnya argon atau helium, kemudian ditembak dengan partikel-partikel beta dari sebuah sumber radioaktif berukuran kecil. Partikel-partikel beta tadi melepaskan elektron dari gas pengantarnya, dan membangkitkan arus listrik. Bila cukup banyak molekul yang berasal dari bahan peledak ikut terserap, elektron-elektron bebas akan terisap, dan mengubah arus listrik begitu rupa, sehingga alarem berbunyi. Banyak model terakhir gagal melacak bahan peledak plastik, karena tekanan uapnya -- takaran kecenderungan molekul tiap benda menguap dan membaur dengan udara -- yang terlalu rendah. Menurut Frank Conrad, seorang peneliti Sandia, metode lain yang layak diharapkan dan tampaknya luar biasa peka ialah melibatkan spektrometer mobilitas ion. Yakni, seperti yang digunakan untuk mencari kadar senyawa kimia beracun dalam suatu operasi pembersihan lingkungan. Metode ini bisa melacak RDX, yang tekanan uapnya berjumlah satu per trilyun. Alat ini bekerja dengan mengionisasi molekul-molekul yang dicurigai dengan sebuah sumber radioaktif, memacu ion itu di sebuah medan elektrik, kemudian mengukur watak saat tibanya di sebuah wadah yang sudah disiapkan. Teknik ketiga yang digunakan untuk melacak bahan peledak ialah penyinaran kimiawi. Dalam gejala ini, senyawa nitrogen menghasilkan kilatan sinar pada kehadiran ozone. Namun, di antara ketiga metode itu, belum satu pun yang diterapkan secara luas di bandara-bandara yang sibuk dan memerlukannya. Toh, semua itu tetap memberikan peluang kepada teroris. Setiap metode itu bisa dilumpuhkan, misalnya dengan membungkus bahan peledak di dalam tas plastik, sehingga uapnya tidak bisa ditarik dalam waktu singkat, waktu yang diperlukan seorang penumpang untuk melintasi gerbang pemeriksaan. Jenis-jenis tertentu ranjau militer berukuran kecil, yang diproduksikan dalam jumlah ratusan juta biji di seluruh pelosok dunia, juga sulit dijangkau alat pelacak. Soalnya, ranjau tersebut dalam bentuk aslinya sudah diselimuti ketat oleh plastik keras. Pemeriksaan barang bawaan di dalam bagasi juga masih merupakan persoalan tersendiri. Anjing-anjing pelacak memang bisa dipakai, tetapi tidak untuk waktu yang panjang. Setelah beberapa periode, anjing-anjing itu cenderung bingung menghadapi berbagai aroma yang muncul dari kopor-kopor penumpang, misalnya bau semir sepatu dan wangi-wangian. Dinas Penerbangan Federal AS sedang mencoba mengatasi persoalan tersebut dengan sebuah teknik yang dinamakan aktivasi neutron termal. Caranya, bagasi ditembak dengan neutron. Setiap molekul bahan peledak yang ada akan menangkap neutron ini, kemudian memancarkan sinar gamma energi tinggi yang dengan mudah bisa dilacak, kendati bahan peledak itu sendiri dibungkus dengan plastik. Namun, dalam tahun-tahun mendatang sebagian terbesar pesawat terbang akan tetap menjadi tempat empuk para teroris untuk menyelundupkan bahan peledak. Mungkin dalam jumlah kecil, tetapi hasilnya toh tetap maut. Kecuali, cara memeriksa bagasi satu demi satu oleh tenaga manusia -- yang demikian membosankan disepakati dilakukan di seluruh dunia. Sampai saat ini, hanya perusahaan penerbangan Israel, El Al, yang diketahui paling rajin memeriksa bagasi penumpang, kopor demi kopor. Sebagian besar ahli percaya, yang betul-betul dibutuhkan untuk menangkal terorisme sampai saat ini bukanlah perangkat teknologi yang mutakhir dan canggih. Yang lebih bermanfaat ialah satuan-satuan polisi yang bekerja keras, yang mampu mencegah aksi terorisme melalui pemanfaatan informasi, baik melalui jalan teknologis maupun nonteknologis. Kemudian, unit-unit keamanan bandara yang terlatih, yang mampu melakukan hal-hal yang tidak bisa diselesaikan oleh mesin. Berbeda dengan alat-alat pelacak bahan peledak, orang yang bisa dengan cepat "mencium" adanya logam berbahaya juga merupakan semacam "teknologi" yang matang. Mereka hendaknya disiapkan untuk cepat mengenali senapan, granat, atau pisau. Dan, terlatih "menyimak" benda-benda kecil seperti mata uang dan kepala sabuk, atau serpihan kecil besi dan logam nonbesi yang bisa merupakan bagian dari senjata atau bahan peledak. Sekarang ini di pasaran sedang laris senjata ringan dengan bingkai plastik, antara lain pistol Glock-17 yang dipakai oleh tentara Austria. Biro Alkohol, Tembakau, dan Senjata Api pemerintah AS resmi memang melarang impor Glock-17. Namun, Departemen Luar Negeri dan Dinas Penerbangan Federal AS tidak menanggapinya secara terlalu serius. Benda ini tak dianggap sebagai ancaman baru yang revolusioner. Daya tarik senjata ringan berbingkai plastik ini terletak pada bobotnya yang rendah dan harganya yang murah. Kecuali laras dan mekanisme penembakannya, pistol itu memang terbuat dari plastik. Harga eceran rata-rata US$ 430 sebuah, atau sekitar Rp 500.000. Pistol Glock-17 beratnya hanya sekitar 22 ons dalam keadaan tidak berpeluru. Bandingkan dengan Beretta 9 mm yang digunakan tentara AS, yang berat kosongnya 35 ons. Laboratorium Sandia juga memelopori penelitian di bidang alarem, termasuk sensor-sensor vibrasi, sensor jarak, dan pelacak bahang inframerah. Untuk melengkapi alarem-alarem tersebut, laboratorium Sandia juga mengembangkan desain busa-busa termoplastik yang memiliki daya rekat, asap-asap kimiawi dengan suhu rendah, dan material campuran yang diaktifkan, yang dengan cepat bisa dipompakan ke dalam ruangan alarem untuk menjebak tamu tak diundang. Menurut Robinson, para peneliti pemerintah AS dan Inggris kini sampai pada "tingkat prototip" perancangan gas dan aerosol yang bisa bekerja cepat dan melumpuhkan, yang bisa digunakan mengatasi pembajakan atau penyanderaan. Mereka juga mencoba penggunaan peluru-peluru karet yang bisa ditembakkan dengan cepat dan gencar, tetapi tak sampai membunuh -- hanya menimbulkan efek kejutan, paling jauh korbannya semaput. "Setelah peristiwa penyanderaan di kedutaan besar kami di Teheran, kami harus bekerja lebih keras," ujar Robinson. Berbagai jalan untuk mencairkan penyanderaan dipikirkan. Banyak di antara jalan ke luar itu kembali ke teknologi rendah, tapi digunakan secara piawai. "Ya, semacam meringkus pencuri dengan menyiramkan sambal," Robinson menambahkan. Memugar sistem keamanan untuk menangkal tindakan teror pada kedutaan besar AS di berbagai kawasan dunia akhirnya menambah ongkos yang tidak sedikit. Pada November 195, biro yang dipimpin Carlin -- biro teknologi keamanan -- didirikan di Departemen Luar Negeri AS, dengan anggaran US$ 4,4 milyar yang boleh dibelanjakan selama empat tahun. Dengan anggaran ini, sejumlah kedutaan besar mendapat tembok-tembok perlindungan baru, dengan desain dan struktur yang disiapkan untuk menangkal terorisme. "Prinsip-prinsip dalam menangkal serangan teroris sebetulnya belum begitu jauh dari cara-cara yang digunakan di istana-istana Abad Pertengahan," kata John Eberhard, Direktur Eksekutif Dewan Riset Bangunan, Akademi Nasional untuk Ilmu Pengetahuan, yang bertindak sebagai penasihat Departemen Luar Negeri AS. "Artinya, sebagian besar masih menggunakan penghambat fisik dan lubang perlindungan. Bedanya, kedutaan besar kami tentu saja tidak boleh tampak seperti benteng." Menurut Carlin, senjata maut utama yang harus dicarikan penangkalnya ialah bom truk. Kemudian, menyusul ancaman-ancaman yang lebih bersifat teknis, misalnya penyadapan informasi. Di samping merancang desain tata ruang khusus, para peneliti juga mempelajari kemungkinan memperkuat beton, dan mencegah kaca dari kepekaan guncangan, misalnya melapisinya dengan bahan Mylar. Sebuah perusahaan malah sudah selesai merancang semacam penangkal truk. Perangkat itu terdiri dari selembar baja setebal satu inci, yang terhampar rata di atas jalan dalam keadaan tidak bekerja. Bila penghambat itu diaktifkan, lembaran baja tadi mendadak berdiri tegak, sehingga truk atau kendaraan lain yang bermaksud menerobos tak bisa masuk. Untuk keperluan tersebut, sudah tentu lembaran baja itu dilengkapi dengan engsel-engsel yang digenjot oleh pompa-pompa hidrolik bertenaga listrik. Lembaran baja ini, yang bisa berdiri hanya dalam satu detik, kini sudah terpasang di kantor Departemen Luar Negeri AS, juga di sejumlah gedung pemerintah di Washington DC. Kurang ajarnya, setelah gudang-gudang senjata dan kantor-kantor perwakilan Amerika Serikat meningkatkan sistem keamanannya, terorisme malah masuk dari lubang yang lebih peka. "Jika gedung-gedung kedutaan sudah tak bisa ditembus, para teroris mengalihkan sasarannya kepada para tokoh bisnis dan wisatawan," kata McGeorge. Akibatnya, pemerintah negeri-negeri yang berurusan dengan terorisme harus lebih ketat lagi melindungi warga negaranya di berbagai penjuru dunia. Kecepatan para teroris mengalihkan sasaran dan membuat kejutan membuktikan satu hal: mereka tidak terhimpun dalam satu organisasi internasional yang monolit, seperti banyak diduga oleh orang Amerika. "Kita tidak berhadapan dengan mata rantai komando, melainkan dengan sel-sel kecil yang bekerja dan melindungi dirinya sendiri," ujar Carlin. Kenyataan ini juga membuat para teroris sulit dicari dan dihancurkan. Seperti kaum gerilyawan, mereka sangat mudah berbaur dengan penduduk setempat. Menghadapi mereka dengan cara yang canggih dan ongkos yang tinggi juga belum tentu menjamin hasil yang memuaskan. "Misalnya, pengeboman yang dilakukan F-111 AS di Libya," tulis Wayne Biddle. "Serangan yang mengandalkan teknologi tinggi itu, dan mendapat dukungan luas masyarakat Amerika, menurut banyak ahli terorisme di Washington malah menunjukkan ketidakberdayaan pemerintah AS menghadapi terorisme." Agaknya, dalam menghadapi terorisme, tidak ada sebuah negara pun yang patut menepuk dada dan menyebut diri superpower. Bukan karena terorisme lebih kuat, melainkan karena ia mampu bertindak melangkahi adab dan tatanan duniawi. Jeffrey Z. Rubin dan Nehemia Friedland, dalam tulisan mereka di majalah Psychology Today, menyebut kaum teroris itu sebagai "Aktor-aktor tragedi modern, dengan teater yang terbentang ke sekujur jagat." Untuk bisa diakui, didengarkan, dan memperoleh dampak, kaum teroris membutuhkan keahlian dalam membesar-besarkan dan melebih-lebihkan -- "seni" yang menjadi bagian penting pesona teater. Langkah pertama seorang teroris ialah menarik perhatian "penonton". Tidak hanya dalam bentuk kejutan yang terbatas di panggung, melainkan juga yang bisa menimbulkan reaksi di jalan-jalan, di seantero kota, dan unuk waktu yang relatif panjang. "Kita sering menyangka, kaum teroris itu hanya membutuhkan tujuan jangka pendek, misalnya untuk melepaskan sahabat-sahabatnya dari penjara," kata kedua penulis tadi. Padahal, "Tujuan mereka yang paling penting ialah membangkitkan kesan khalayak, dan menyampaikan sebuah pesan." Setelah berhasil menarik perhatian, mereka mulai mendramatisasi persoalan, seolah-olah mereka berjuang untuk tujuan suci dan mulia. Kelompok Baader Meinhof di Jerman Barat, misalnya, selalu menyatakan tindakan mereka sebagai bagian dari protes terhadap ketidakadilan yang ditanggungkan oleh semua orang yang menderita dan tertindas di muka bumi. Karena unsur dramatis tadilah, langkah-langkah mereka justru semakin tidak manusiawi. Untuk mereka, sebuah bis yang penuh dengan anak sekolah yang tidak tahu apa-apa lebih berarti ketimbang seiringan konvoi militer. Begitu pula, serangan terhadap pesawat terbang yang mengangkut sejumlah wisatawan lebih penting dari sasaran yang langsung menyerang basis-basis militer. Dalam membutuhkan perhatian khalayak, kaum teroris melihat media massa adalah jalan terbaik mencapai popularitas. Menurut Ariel Merari, seorang psikolog Israel dan ahli masalah terorisme, "Media massa sering kali menjadi titik pusat kegiatan kaum teroris." Di dalam sebuah kasus terorisme, para wartawan bisa bertindak menjadi semacam "kritikus seni" pada pertunjukan drama -- disadari atau tidak. Kaum teroris biasanya berbuat apa saja agar tindakan mereka diketahui secara luas, dengan kata lain "dipublikasikan" -- gratis. Media massa dianggap penting oleh kaum teroris karena para wartawan itu umumnya tidak hanya menyalurkan informasi, melainkan juga memberikan interpretasi, yang sebagian memang diperlukan kaum teroris. Pengalaman memperlihatkan, betapa antara kaum teroris dan pemerintah yang diperas selalu terjadi permainan tarik tambang yang menegangkan. Dalam permainan ini, sebetulnya, pikiran lebih menentukan daripada perkakas dan perlengkapan, betapapun canggihnya. Kaum teroris biasanya mulai bertindak dengan sebuah aksi yang dramatis, misalnya membajak pesawat terbang. Kemudian, mereka menyodorkan tuntutan dan ancaman. Pihak yang diancam, biasanya pemerintah, memulai langkahnya dengan menilai kredibilitas teroris, dengan cara yang sudah termasuk kuno tapi tetap ampuh, yaitu mengulur waktu. Sampai pada tingkat ini, mungkin saja para teroris mencoba membuktikan "kesungguhannya", misalnya dengan membunuh seorang sandera dan memperketat batas waktu. Pihak pemerintah tetap berusaha mengulur waktu, bahkan ketika sudah diputuskan bahwa jawaban yang akan diberikan ialah mengirim satuan komando. Kini, para pejabat pemerintah juga mulai memanfaatkan apa yang dinamakan "Sindrom Stockholm", yaitu kecenderungan untuk menjadi "akrab" antara teroris dan sandera sementara perundingan-perundingan belum memutuskan sesuatu. Keakraban ini telah terbukti beberapa kali membuat para teroris membatalkan niatnya membunuhi sandera. Bagi pemerintah yang diperas, yang paling dielakkan sebetulnya ialah kesan kehilangan muka dalam memenuhi tuntutan teroris. Karena itulah, kadang-kadang dibutuhkan pihak ketiga untuk melakukan hubungan di belakang layar, seperti yang terjadi dalam penyanderaan personel Amerika Serikat di gedung kedutaan besar negara itu di Teheran, Iran, beberapa tahun lampau. Dalam peristiwa itu berperan seorang pengacara Prancis, Christian Bourguet, dan seorang pedagang Argentina, Hector Villalon. Problem terorisme, tampaknya, belum akan selesai untuk jangka waktu yang sulit dibayangkan. "Terorisme akan tetap ada, selama masih terdapat kelompok yang merasa tidak memiliki kemerdekaan, dan karena itu menuntut perhatian," tulis Jeffrey Z. Rubin dan Nehemiah Friedlan. Disarankan, organisasi teroris, maupun pemerintah yang diancam, seyogyanya berusaha saling memahami dengan lebih baik. "Kedua pihak sebaiknya berusaha menempatkan hubungan-hubungan mereka dalam konteks mengakhiri sebuah drama -- kendati waktu yang dibutuhkan cukup panjang." Apakah ini berarti kompromi? Tidak, tentu saja. Yang ingin dinyatakan Rubin dan Friedlan, agaknya, ialah semacam imbauan yang sama dengan nada Biddle, bahwa perangkat, sistem, dan teknologi, betapapun canggihnya, bukanlah jawaban yang telak dan satu-satunya terhadap terorisme.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus