Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Singapura

Pm singapura lee kuan yew pada perayaan hari nasional ke-21, berpidato bahwa ekonomi singapura tumbuh 0,8%. ia tidak berbicara masa depan yang adil makmur, tapi proses tak henti-henti dan tantangan selalu datang.

16 Agustus 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA tak tahu kenapa Singapura cemas. Hari itu saya berdiri di sebuah sudut Orchard Road. Orang seperti mengalir, menyusupi etalase-etalase. Dan di kaki lima yang rapi dan bersih, yang terkadang diteduhi pohon, anak-anak rnuda melangkah enak -- riang, ramping, rapi, seakan-akan trotoar itu sebuah catwalk yang panjang, tempat segala daya tarik dipasang. Toko-toko mengimbau. Logo-logo berlomba. Dunia, setidaknya di sudut ini tampak seperti sebuah karya desain -- juga ide pemasaran yang bagus. Dan saya tak tahu kenapa Singapura mesti cemas. Tapi hari itu adalah sebuah hari setelah awal 1985 lewat. Di tahun 1985, ekonomi Singapura tak tampak lagi tumbuh laju. Orang justru berbicara tentang makin derasnya tingkat pertumbuhan itu merosot. "Cepatnya kemerosotan ini mengingatkan saya kepada seorang penerjun payung yang meloncat dari pesawat dan parasutnya tak terbuka," kata Wakil Perdana Menteri Pertama Goh Chok Tong. Dengan kata lain, awas: sang penerjun, di tengah proses kejatuhan itu, tak boleh gagal membuka payungnya .... Tapi Singapura, kemudian, merayakan hari nasionalnya yang ke-21. Pekan lalu, sang penerjun ternyata belum membentur darat. Bendera-bendera dikibarkan di seluruh Republik yang kecil itu. Kembang api meloncer-loncer ke angkasa. Sebuah kue seberat 60 kilo -- bergambarkan kepala singa, gaya baru dipotong di ruang dalam Istana. Di siang harinya, parade besar ditampilkan. Dan Perdana Menteri Lee Kuan Yew berpidato bahwa ekonomi Singapura tampak tumbuh sedikit, 0,8% pada kuartal kedua tahun ini. Tapi rupanya ada negeri yang digerakkan untuk tidak menjadikan konsep tata tentrem sebagai sebuah ide dalam imajinasi mereka. Malam itu, Lee Kuan Yew menyerukan sebuah seruan "awas" yang lain. Kepada bangsanya ia berkata, banyak hal masih bisa jadi tidak beres. Ujian yang sebenarnya akan tiba tahun depan. Dan masa jaya pertumbuhan ekonomi yang cepat, seperti dua dasawarsa yang lalu, tak bakal kembali. "Together Singapore, Singapore!", seru penyanyi Clement Chow di malam kembang api. Barangkali itulah salah satu resep Lee Kuan Yew untuk menjadikan Singapura bukan cuma sebuah tempat, tapi juga sebuah bangsa. Ia tidak berbicara tentang sebuah masa depan yang adil makmur. Ia tak menjual gagasan tentang masyarakat yang sempurna. Seorang pragmatis tulen, ia berbicara tentang proses, yang tak henti-hentinya, dan tantangan, yang senantiasa datang. Ilusi tentang ketenteraman itu berbahaya -- bahkan Lee terasa menolak konsep ketenteraman itu sendiri. Ia, untuk meminjam kata-kata sebuah puisi Takdir Alisjahbana, meninggalkan "teluk yang tenang tiada beriak". Lee Kuan Yew hanya menyongsong gelombang. Karena itulah Singapura yang diproyeksikannya adalah Singapura yang siaga, dengan mata tak berkedip ke depan -- dan juga kepada para tetangga di sekitar. Singapura justru memanfaatkan ukuran geografmya yang terbatas, sebagai pelecut untuk menjadikan diri sejenis Daud di hadapan Goliath: kecil, liat, ramping, cerdik, gagah. Metafor yang dipergunakan Goh Chok Tong, ketika berbicara tentang kemerosotan tingkat pertumbuhan, agaknya juga mengandung citra diri semacam itu: Singapura sebagai "penerjun payung" -- sosok yang soliter, tapi berani, terlatih, dan menentukan nasibnya sendiri. Dengan kata lain, seluruh situasinya adalah situasi ke-arah-survival. Karena itulah sukses ekonomi Singapura terkadang jadi problemnya sendiri. Perdana Menteri Lee, misalnya, menyatakan cemasnya melihat bagaimana anak muda jadi terlampau banyak makan dan terbiasa hidup manja. Di lain pihak, para pengkritik masyarakat Singapura cemas melihat bagaimana bangsa itu umumnya kini hanya mengenal harga-harga di toko, tapi tak mengenal nilai-nilai dalam persahabatan. Tapi itulah tandanya bangsa yang tidak suka menjadikan tata tentrem sebagai sesuatu yang mirip adem ayem. Mereka selalu cenderung melihat lebih cepat kekurangan sendiri. Dan mungkin itulah sebabnya para pemimpin Singapura lebih cepat pula mengoreksi keadaan dan menyiapkan diri menghadapi problem yang akan datang. Suksesi adalah contohnya. Lee Kuan Yew yang masih tetap perdana menteri sejak 21 tahun yang lalu, tahu bahwa ia tak akan selama-lamanya di situ. Maka, ia pun menyediakan tempat, dan melatih, para pemimpin baru pada saat mereka muda -- sadar bahwa ia sendiri dulu mampu jadi perdana menteri sebelum umurnya 40 tahun. Itu berarti, kalaupun Singapura tak cukup punya ilmu bumi yang kaya dan sejarah yang lama, dengan masa lalu yang pendek itu ia telah siap dengan masa depan yang panjang. Dan saya memang tak tahu kenapa Singapura cemas. Saya hanya tahu di sana cemas ternyata bukan tabu .... Dirgahayu. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus