RUMAH bilik bambu berukuran 6 x 12 meter itu ramai dikunjungi petani. Mereka bergembira, karena kasasi perkara "petani ramai-ramai merebut pistol Pak Kuwu" ditolak Mahkamah Agung, pekan lalu. "Kami bersyukur atas penolakan itu. Tapi kehidupan kami masih tetap prihatin," kata Taryono, 39, penghuni rumah berlantai tanah beratap seng di Kampung Cipangasih, sekitar 120 km arah selatan Ciamis. Taryono, yang tak lepas dari pici hitamnya dan selalu berpakaian seragam petani sontog hitam itu, adalah tokoh petani di sana, sekaligus imam masjid di desa berpenduduk 5.700 jiwa itu. Di Pengadilan Negeri Ciamis, ayah dua anak itu dua tahun lalu divonis 12 bulan penjara potong tahanan. Bersama tiga petani lain, Taryono dituduh merebut pistol milik Sersan Mayor Djadja, Kuwu (Kepala Desa) Kertaharja. Jaksa menuntut mereka 10 bulan sampai 12 bulan penjara. Hakim mengabulkan tuntutan itu. Tapi di tingkat banding para terdakwa dibebaskan. Dan di tingkat kasasi, Mahkamah Agung mengukuhkan putusan banding. Sekarang giliran kami menuntut ganti rugi," kata Taryono, mantap. LBH Bandung, yang menangani perkara tersebut, yakin sekali akan menang. "Tuntutan mereka mestinya berhasil karena sudah ada ketetapan hukum," kata Dindin S. Maolani, Ketua Tim LBH kepada TEMPO. Pihak Kejaksaan Negeri Ciamis pun pasrah. "Itu hak mereka, silakan saja mengajukan tuntutan," kata Dennis D. Poerba, Kajari Ciamis. Peristiwa "perampasan" pistol itu merupakan rangkaian ketidakpuasan petani Cimerak terhadap pelaksanaan PIR bantuan Bank Dunia. Petani yang sudah menggarap tanahnya di dua desa, Kertaharja dan Sindangsari, tiba-tiba dinyatakan bukan sebagai pemilik tanah yang sah. Padahal, mereka menggarapnya sejak tahun 60-an dan selama ini mereka hidup berkecukupan. Dari cengkih saja, sekali panen, bisa mendatangkan uang jutaan. Sejak adanya proyek PIR, surat-surat pemilikan tanah mereka -- di antaranya 134 sertifikat -- dirampas dan dinyatakan "aspal". Selanjutnya di tanah itu ditanami kelapa kacukan. Para petani protes, berdemonstrasi ke kantor PTP XIII, penyelenggara PIR di Cimerak. Tapi mereka malah dituduh digerakkan oleh PKI. Akhirnya 300-an petani yang mewakili seluruh petani Cimerak itu minta perlindungan hukum kepada LBH Bandung (TEMPO, 21 Januari 1984). "Kami bukan menentang proyek PIR, tapi cara-cara pelaksanaannya yang kami tentang," kata Taryono. Para petani sendiri menolak istilah "perampasan" pistol ketika terjadi insiden dengan pamong desa. Pak Kuwu yang ABRI memang mencabut pstol, lantas drebut petani. "Bukan merebut, tapi mengamankan pistol itu agar tidak jatuh korban. Maklum, Kuwu sedang emosional," kata Taryono. Pistol itu pun esok harinya diserahkan Taryono ke Polsek Cijulang. Kini, dua tahun setelah kasus Cimerak itu, Gubernur Yogie S.M. secara simbolis membagikan sertifikat tanah (konversi) kepada 200 petani Cimerak, meliputi tanah seluas 300 hektar. Tapi tampaknya para petani masih akan menangis. Sebab, dua tahun lagi mereka -- penerima sertifikat -- harus mengembalikan kredit PIR Rp 56 ribu per bulan selama 15 tahun, untuk tiap dua hektar tanah mereka. Celakanya, hasil panen kelapa kacukan, sejak 6 bulan lalu, sangat tidak memadai. Tampaknya, persoalan ini masih akan berbuntut panjang. LBH Bandung bersiap-siap menuntut jaksa yang dulu menyatakan bahwa 134 sertifikat petani itu aspal. "Sudah dua tahun sejak persidangan, jaksa belum bisa membuktikan aspal-tidaknya sertifikat itu," kata Dindin S. Maulani. "Lagi pula, sejauh ini belum ada seorang pun pejabat agraria Ciamis yang ditindak karena membuat sertifikat aspal," tambahnya. Hal itu juga diakui Kepala Kantor Agraria Ciamis, Tatang Adimiharja. "Sejauh ini memang belum ada yang ditindak. Kami masih melakukan penelitian," katanya. Artinya, aksa terlalu cepat mendakwa. Hasan Sukur (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini