KANKER kini sedang diusahakan lagi untuk dihadang. Tim dokter yang dipimpin Hans Wolf, ahli kanker dari Universita Regensburg, Jerman, baru-baru ini menemukan vaksin pencegah infeksi yang disebabkan virus epstein barr (VEB). Vaksin baru ini, dalam uji coba di Cina, menurut majalah New Scientist, terbukti mencegah infeksi virus yang sering menimbulkan kanker hidung dan tenggorokan. Tim dari Jerman itu bukan yang pertama mengembangkan vaksin tadi. Sebelumnya, ahli kanker di Inggris telah mengembangkannya. Namun, untuk uji coba yang langsung dilakukan terhadap manusia, baru tim dari Jerman itu yang berani melakukan. Para ahli percaya bahwa VEB adalah biang kerok timbulnya penyakit kanker. Dalam beberapa tahun terakhir, virus itu telah merenggut sekitar 50.000 nyawa penduduk Benua Asia. Di negara- negara Barat, virus yang dicurigai mampir ke dalam 95% orang dewasa ini dikenal sebagai penyebab infectis mononucleosis sejenis penyakit yang menyerupai flu. Negeri Tirai Bambu itu dipilih Wolf dan kawan-kawannya sebagai ajang uji coba karena sebagian besar penduduknya gemar melahap makanan yang diawetkan. Garam yang terkandung dalam makanan itu dicurigai banyak menyimpan VEB. Karena itu, menurut A. Harryanto Reksodiputro, ahli kanker dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, ras tertentu di Asia memang lebih mudah dijangkiti kanker. Vaksin yang digunakan Wolf dalam uji coba di Cina itu dibuat berdasarkan prototipe yang dibuatnya di Jerman. Vaksin ini dari virus vaccinia yang direkayasa secara genetik untuk menghasilkan protein VEB yang disebut gp 220-340. Hasilnya meyakinkan. Enam dari sembilan anak yang disuntik vaksin itu terlindungi dari infeksi VEB selama 16 bulan. Sebaliknya, sepuluh anak yang tidak divaksinasi terinfeksi virus tersebut. Jumlah anak yang dilibatkan dalam percobaan itu memang sedikit. Namun, menurut Wolf, faktanya sepuluh anak yang tidak memperoleh vaksinasi terinfeksi, sedangkan dua pertiga anak yang cuma diberi vaksin berdosis tunggal malah terlindungi. Dalam debat internasional, eksperimen yang dilakukan Wolf dan kawan-kawannya itu tak luput dari kecaman. Alasan mereka, Wolf tidak melakukan uji coba terhadap hewan. Akibatnya, mereka meragukan keampuhan vaksin temuan Wolf. Kemudian, ia membalas serangan tersebut. ''Itu tidak akan memberi gambaran bagaimana vaksin bekerja pada manusia,'' tangkisnya. Agaknya Wolf betul juga. Ini terbukti dari penelitian Dokter Donald Morton dari Santa Monica, Amerika Serikat, yang menghasilkan vaksin pemusnah sel kanker yang biasa menyerang 30 tempat di tubuh lengan, paru-paru, tenggorokan beberapa waktu berselang. Awalnya, vaksinasi yang ia lakukan pada seekor tikus tampak mujarab. Tapi ketika dilakukan pada manusia, malah gagal. Buyarlah hasil penelitian yang dilakukannya selama 25 tahun itu. Hingga hari ini, penemuan Wolf itu tetap tak mudah memperoleh pengakuan. Guy de The, ahli epidemiologi virus dari Institut Pasteur Paris, meragukan keampuhan temuan dokter dari Jerman itu. ''Virus cuma salah satu faktor penyebab kanker,'' kata De The. Lain lagi dengan Harryanto. ''Bagaimanapun, virus itu adalah faktor utama penyebab kanker,'' katanya. Ia optimistis, temuan sejawatnya itu suatu saat akan mendapat pengakuan. ''Kalau itu terjadi, orang-orang yang punya risiko tinggi sebaiknya divaksinasi,'' katanya. Temuan Wolf itu tentu akan sangat bermanfaat. Apalagi, menurut Harryanto, kanker hidung, tenggorokan, dan kelenjar getah bening merupakan kanker yang sering berjangkit di kalangan orang Asia. Andi Reza Rohadian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini