Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Papeda menjadi yang berbahan utama sagu dan ikan, menjadi makanan pokok warga Papua. Tapi, papeda orisinal biasanya dikudap dengan menggunakan wadah gerabah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nah, warga Kampung Abar, Distrik Ebungfauw, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua mempertahankan cara menikmati papeda dengan gerabah. Warga pun menjadikannya atraksi dalam festival makan papeda dalam gerabah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Kelompok pengrajin gerabah Titian Hidup Kampung Abar, Distrik Ebungfauw, Kabupaten Jayapura Naftali Felle di Sentani, Minggu, 7 Juli 2020, sebagaimana dikutip dari ANTARA, mengatakan festival makan papeda dalam gerabah diselenggarakan setiap 30 September saban tahunnya.
Untuk perhelatan 2020, acara tersebut tetap dilakukan pada September, "Sebagai persiapan acara tersebut, mama-mama pengrajin sudah mulai membuat gerabah sebagai wadah untuk makan papeda," kata Naftali.
Selama ini, dalam menyelenggarakan festival, para pengrajin gerabah selalu didukung oleh masyarakat Abar secara swadaya. Bila tidak ada bantuan dari pemerintah, masyarakat Abar sudah siap menyelenggarakannya.
"Gerabah bisa kami buat sendiri, bahan tanah liat banyak. Untuk membuat papeda, tinggal ambil sagu di hutan. Ulat sagu dan ikan sebagai lauknya tinggal ambil di Danau Sentani," ujarnya.
Menurut dia, stand tempat acara berlangsung, akan dibuat dari bahan-bahan alami, yang semuanya berasal dari pohon sagu. Atap dibuat dari daun sagu dan dinding dari pelepah sagu. Ulat sagu dan ikan sebagai lauknya, ulat sagu bisa diambil di hutan sagu, ikan masih banyak di Danau Sentani.
Natfali menjelaskan, untuk memasak papeda, warga Kampung Abar menggunakan briket arang yang terbuat dari ampas batang sagu, yang sudah diambil patinya. Tradisi mengudap papeda dalam gerabah, menurut Natfali, karena papeda dan gerabah sudah jadi identitas masyarakat Abar dan Sentani.
"Jadi kami akan tetap menyelenggarakan festival ini sebagai bentuk pelestarian budaya yang diwariskan oleh nenek moyang," katanya.
Natfali menegaskan, perayaan festival makan papeda dalam gerabah tetap mengikuti pedoman new normal dari pemerintah. Dalam festival ini, kata dia, akan diatur jarak antar pengunjung. Selain itu gerabah hasil karya mama-mama pengrajin akan ditampilkan di depan rumah masing-masing, tidak berkumpul dalam satu tempat.
Sementara itu, Hari Suroto, peneliti dari Balai Arkeologi Provinsi Papua mengatakan, berkaitan dengan new normal, agar para pengunjung festival tidak berkonsentrasi pada satu tempat, maka pengunjung akan dipandu melihat situs Kampung Tua Abar.
Di situs tersebut, dahulu kala nenek moyang masyarakat Abar, membangun kampung pertama sebelum mereka pindah ke Kampung Abar saat ini.
Bupati Oksibil Costan Oktemka menunjukkan cara makan papeda di Alenia Papua Coffee and Kitchen Kemang, Jakarta Selatan, Kamis, 3 Mei 2018. TEMPO | Francisca Christy Rosana
Menurut Hari, di situs Kampung Abar ditemukan pecahan-pecahan gerabah pada permukaan tanahnya. Jika dilihat bentuk gerabah dan motif hiasnya berbeda dengan yang dibuat oleh pengrajin gerabah Abar saat ini.
Selain melihat Kampung Tua Abar, para pengunjung diajak berkeliling di hutan sagu yang berada di dekat Kampung Abar.