"CUMA ahli bedah saraf yang gila," ujar Dokter Padmosantjojo, sang komandan lapangan operasi. Itulah sebabnya mereka bisa tahan berdiri belasan jam di kamar operasi. Dan kerja berat seperti itu merupakan hal biasa bagi mereka. "Yang bukan ahli bedah saraf tidak ada yang gila begitu," sambung Padmo, yang membelah kraniopagus asal Riau ini. Kebiasaan itu memang khas ahli bedah saraf, berhubung operasi menyangkut satu-satunya organ yang peka dan tak tumbuh lagi jika mati. Maka kalau orang bedah saraf masuk kamar operasi, menurut Padmo, sejawat mereka seperti ahli anastesi dan perawat, sudah maklum: operasi akan lama sekali. "Sehingga, mereka suka bergurau dengan berkata 'Mau tidur di situ?'" Itulah sebabnya Padmo tak kaget bila harus bercokol 12 jam lebih, di kamar bedah sentral RSCM, Rabu lalu. Sering sudah ia begitu. Bahkan lulusan FK UI 1963 itu pernah berdiri di kamar operasi sejak jam 8.00 sampai jam 02.00 dinihari, untuk mengambil sebuah tumor di dasar tengkorak. Itu rekor terlamanya di kamar bedah. Meski tak sempat makan, minum, ataupun kencing, yang dilakukannya itu belum seerapa dibandingkan ketabahan dr. Umarkasan, ahli bedah saraf Surabaya. "Beliau itu pernah mengoperasi selama 28 jam nonstop. Bayangin, itu 'kan gila namanya," kata Padmo lagi. Umarkasan, salah seorang pakar bedah mikro ahli bedah saraf kita, ternyata juga ikut terlibat dalam tim itu. Meski ia tetap berada di Surabaya, Umarkasan siap terbang ke Jakarta sewaktu-waktu terutama kalau Padmo sampai terbentur jalan buntu. Syukurlah semua lancar. Meski pemisahan sinus yang hampir tiga jam itu mengorbankan 200-an cc darah si kembar, Padmo tak perlu mengundang Umarkasan. "Kita tidak takabur. Ini berkat kerja sama tim," kata Padmo di tepi kolam renang rumahnya, di Jalan Bangka, Jakarta Selatan. Dengan keberhasilan ini, tim telah memulai babak baru pelayanan kesehatan di Indonesia. Maka, Menteri Kesehatan pun menyatakan kepuasannya ketika menjenguk si kembar Yuliana-Yuliani seusai operasi. "Saya merasa bangga," ujar dr. Suwardjono Surjaningrat, Kamis pekan lalu di RSCM. Padmo sendiri punya kesan selama ini banyak orang terlalu kagum pada kehebatan dokter luar negeri. Padahal, dokter kita juga mampu, asalkan diberi fasilitas memadai seperti pada operasi kraniopagus itu. "Para ahli bedah saraf di Belanda pun sering mengakui ketekunan Padmosantjojo," ujar seorang dokter. Kesabaran dan ketelatenan orang Jawa ini adalah satu kelebihan yang belum tentu dimiliki dokter Barat. Lahir di Solo, Februari 1938, Raden Mas Padmosantjojo dikenal sangat sederhana. Ia, misalnya, tak ingin praktek sore sebagaimana laiknya para dokter. Bukan karena tak butuh uang. Tapi agaknya ia ingin membagi rezeki dengan dokter lain. Juga, supaya ada banyak waktu untuk keluarganya: seorang istri asal Manado dan seorang putri 12 tahun yang dipanggilnya Mutiara -- "Karena ia satu-satunya mutiara kami." Istrinya, Thea Tareck Makaliwe, jebolan Fakultas Administrasi Bisnis Universitas McGill, Kanada, kini jadi manajer personalia sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Ia pun tak kalah sibuk dengan suaminya. Sehingga, waktu Padmo membuat persiapan untuk operasi, sang istri tak bisa membantu. "Paling ia cuma membantu mendoakan keberhasilan operasi itu," kata Padmo. Akan halnya persiapan yang dilakukan Padmo, orang lain pun tak banyak tahu. Ahli bedah saraf lulusan Rijks Universiteit, Groningen, Belanda, 1970, itu diam-diam mencoba berbagai cara untuk menangani si kembar. Mula-mula ia membuat tempelan kertas dan kardus ungu, mirip bentuk lapisan dura mater di kepala. Sesudah digambari peta sinus, "mainan" itu dipisah-pisahkannya kembali secara perlahan. "Saya lihat, bagaimana kalau bocor di sini. Lalu bagaimana kalau bocornya di sebelah sana," kata penggemar lari pagi dan pendaki gunung itu. Eh, jebol. Ia pun membuat lagi. Jebol lagi. Berkali-kali. Tak cukup begitu. Kepala Bagian Bedah Saraf FK UI/RSCM ini berkeliling Jakarta, mencari sepasang boneka yang ukurannya sama dengan si kembar. Baru setelah membeli empat pasang, ia dapat sepasang yang cocok. Sepasang boneka -- satu di antaranya bermata sebelah -- itulah yang kemudian dibawanya ke mana saja ia pergi. Kepala kedua boneka itu ditempelkannya, persis pada posisi bersudut 15 derajat seperti posisi kepala Yuliana-Yuliani. Luas penempelan keduanya juga 34 cm -- seperti yang terjadi pada kepala si kembar Riau. Setelah digambari jalannya sinus, pasangan kembar boneka itu dimanfaatkannya untuk berlatih membelah sinus. Juga berkali-kali. Malah, kedua boneka itu juga dipakai gladi resik 41 anggota tim RSCM, sampai tiga kali. Pada gladi resik itu, semuanya diperbuat seakan operasi sungguh-sungguh. "Bahkan letak kamera video yang mengabadikan jalannya operasi juga diatur saat gladi resik," kata Padmo. Itulah persiapan mereka. Persiapan ini penting sekali. Sebab, tim sadar bahwa operasi menyangkut soal otak. Jika pada operasi usus buntu ada yang miring umpamanya, mungkin tidak apa-apa. Nanti di-betulin lagi. Juga tulang patah. Tapi otak? Siapa yang mau otaknya miring sedikit?" kata Padmo sembari menunjukkan boneka plastiknya. Persiapan yang dilakukan Padmo banyak dipuji orang, termasuk ketua tim sendiri, Prof. Dr. Iskandar Wahidayat, yang menyatakan kekagumannya. "Beliau betul-betul gigih, telaten, dan sabar," ujar ahli thalasemia yang kini Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI/RSCM itu. Iskandar sendiri juga gigih. Ialah orang pertama yang menerima Yuliana-Yuliani ketika tiba di Jakarta, 31 Agustus silam. Dan ia jadi sibuk. Jalan yang ditempuh guru besar yang kini berusia 55 tahun itu macam-macam, termasuk mengumpulkan literatur tentang kraniopagus dan membagikannya pada para dokter. Setelah berbagai diskusi dan pertemuan ilmiah antara para ahli, Prof. Iskandar diangkat sebagai ketua tim operasi pemisahan kepala si kembar. Tim terdiri dari ahli bedah saraf, ahli kesehatan anak, ahli bedah plastik, dan ahli anastesi. Ahli anastesi inilah yang menurut Padmo sangat penting. Meski mereka jarang disebut-sebut, "Sebetulnya mereka itulah 'the man behind the gun' yang perannya lebih penting dari kami," kata Padmo. Padmo benar. Ahli anastesi umumnya rendah hati dan jarang disebut-sebut orang. Padahal, tanpa mereka, tak mungkin sebuah operasi bisa berlangsung. Pada operasi kembar siam Baltimore, September silam, tim yang terdiri dari 70 dokter hanya bisa bekerja setelah dikomandoi ketuanya, dr. Mark Rogers, seorang anastesiolog. Adapun anastesiolog yang turun pada operasi di RSCM, diketuai dr. Muhardi, Kepala Bagian Anastesi FK UI/RSCM. Sedangkan anggotanya antara lain terdiri dari dr. Said Latief, dr. Oloan, dr. Adjie, dan dr. Adi. Menurut Muhardi, 61 tahun, kendati terjadi situasi kritis beberapa kali, keadaan masih dapat dikendalikan. "Berkat kerja tim yang kompak," katanya. Situasi kritis itu terjadi setidaknya sampai lima kali, misalnya ketika tekanan darah Yuliana drop ke angka 50 akibat perdarahan pada sinus saat dipisahkan. Namun, syukur alhamdulillah, semuanya terkuasai, "Dan saya puas seratus prosen, " kata Muhardi pada TEMPO. Meski begitu, ada juga ujian waktu operasi. Yang kena adalah dr. Bisono, ahli bedah plastik yang menyiapkan penutupan kulit kepala Yuliana-Yuliani. Terlalu lama berada di ruangan berpengatur suhu, dokter yang sejak dua hari sebelumnya sudah merasa kurang enak badan itu jadi merinding. "Badan saya panas dingin, lalu gemetera. Flu saya menjadi-jadi," kata Bisono. Ia pun minta posisinya digantikan. Maka, Kepala Bagian Bedah Plastik, dr. Sidik Setiamiharja, yang sejak awal sudah turut memonitor jalannya operasi, segera turun tangan, dibantu dr. Chaula Sukasah, ahli bedah plastik yang berwajah manis. Mereka inilah yang akhirnya melanjutkan penutupan kulit kepala Yuliana dan Yuliani. Ayah tiga anak -- seorang di antaranya kuliah di fakultas kedokteran juga -- lulusan FK UI, 1965, Bisono sejak awal ditugasi atasannya, dr. Sidik Setiamiharja, untuk mengepalai seksi bedah plastik operasi kembar Riau. Ia pun sibuk sejak rencana operasi dicanangkan. Lulus sebagai ahli bedah umum pada 1969, Bisono tidak saja menyiapkan penempelan pada saat operasi, melainkan sejak September ia juga telah membuat flap di kulit kepala kedua bayi, untuk persiapan pencangkokan kulit kepala. Ia bersyukur operasi telah sukses. "Kerja sama sungguh enak dan baik," kata ahli bedah plastik yang berusia 48 tahun itu. Itu terjadi, agaknya, karena para dokter dalam tim berusia sepantar. Sehingga, mereka bisa kompak sekali. "Memanggil teman kadang kami lakukan sambil bercanda. Maklumlah kami sudah saling mengenal," ujar Bisono yang pernah belajar bedah plastik di Australia. Dan itu semua agaknya juga kehendak Ilahi. Doa para dokter dan orangtua si kembar rupanya mustajab pula. Prof. Iskandar Wahidayat, misalnya, sering tersentak waktu tidur pada hari-hari menjelang operasi, saking tegangnya pikiran. Tapi ia tahu ada yang menentukan di atas sana. Ia pun segera berwudu dan salat tahajud, "demi keselamatan si kembar." Syafiq Basri dan Putut Tri Husodo (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini