DI kursi cokelat tua mereka duduk, Hartini, 22 tahun, dan suaminya, Tularji, 26 tahun. Sebentar-sebentar tangan mereka dijabat orang dan mereka pun tersenyum. Kebahagiaan itu tak bisa disembunyikan. "Bagaimana sekarang saya tidak bahagia, Mas?" kata Tularji. "Mulanya, kami sempat bingung. Anak kami lahir dalam keadaan begitu, padahal kami keluarga tidak mampu. Dari mana kami beroleh biaya operasi?" Tularji pantas khawatir. Berkumis lebat, berambut mengombak, berkaus, dan bercelana jeans, ia mirip Slamet Rahardjo, setidaknya begitulah pendapat suster-suster RSCM. Dan mereka bilang, ia pantas menjadi bintang film. Tapi nasibnya apes. Kerja kasar telah dijalaninya sejak kecil. "Suster-suster itu tak percaya bahwa saya hanya tukang batu." Tularji -- yang biasa dipanggil Pawit lahir di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, dari orangtua asal Pacitan. Ia anak tunggal janda Jumi, buruh. Ayahnya meninggal selagi ia dalam kandungan. Ibunya hanya mampu menyekolahkan Tularji sampai tamat SD, tahun 1975. Banyak orang mengulurkan bantuan untuk membiayai sekolahnya. Ia mau, tapi ibunya menolak. "Ibu khawatir bila saya pandai nanti, saya akan melupakannya." Tularji harus puas menjadi buruh bangunan, kemudian jadi tukang batu. Sampai pada suatu hari ia menikahi Hartini, kawan sejak kecil. Hartini juga dari keluarga pas-pasan, kendati tak semiskin Pawit. Ia lulusan SMP, anak ke-9 dari 12 bersaudara. Kedua orangtuanya, Ahmad Asmarja dan Dawen, asal Purwokerto. Mereka juga tinggal di Tanjungpinang. Pernikahannya berlangsung tanpa berbelit, bulan Puasa 1985. Setahun setelah perkawinan, mereka dikaruniai anak laki-laki, dan, "sangat mirip saya," kata Pawit. Tapi Tuhan berkehendak lain. Bayi itu meninggal pada usia 19 hari. Pekerjaan Pawit masih tak menentu. Dalam keadaan seperti itu, Hartini hamil lagi. Lalu beberapa perubahan terjadi. Kini, pekerjaan demi pekerjaan yang ganti menanti Pawit, sampai tetangganya bilang, bayi di rahim itu ngrejekeni alias membawa rezeki. Hartini pun berubah. Ia jadi pembersih, tak tahan melihat kotor. Ia juga amat doyan makan, sehari bisa menghabiskan enam piring nasi. Pepaya 3 kg atau pisang 1 kg disikatnya sendiri. Ketika bidang memberi tahu anak mereka bakal kembar, pasangan itu semula tak percaya. Mereka baru percaya setelah Hartini bermimpi menggendong bayi, sedang salah seorang adiknya yang kembar, Dety, menggendong bayi lain yang juga bayinya. Tak lupa ia bercerita bagaimana bayinya sangat aktif. "Dalam perut ini kakinya kejat-kejat. Barangkali mereka berkelahi." Dua hari setelah mimpi, Hartini merasa desakan akan melahirkan. Pawit, yang sedang bekerja, dikabari. Pukul 11.00 hari Selasa itu, Pawit membawa istrinya ke RSU Tanjungpinang. Dokter Kandungan Azis Ismail pun turun tangan. Tapi si anak belum juga nongol, sang ibu malah terserang demam hebat sehari-semalam. Ketika dironsen, tampak bayinya kembar. Kamis menjelang tengah malam, ketuban pecah. Hartini diinfus, tapi bayi tak kunjung lahir. Si kembar seperti berdesakan, tak mau antre. Esok paginya, dr. Azis memutuskan untuk operasi Caesar. Sekitar pukul 13.00, 31 Juli 1987, operasi baru selesai. Ternyata, kepala dua bayi perempuan itu dempet. Pawit bingung ketika dr. Azis memberi tahu bahwa bayinya kembar siam. "Apa itu kembar siam?" tanyanya. Setelah dijelaskan, wajahnya berubah pias. Ia lari -- sungguh-sungguh lari -- menuju ibu dan ibu mertuanya yang menunggu di lain ruangan. Setelah menyampaikan berita istimewa itu, Pawit pingsan. Hartini belum di izinkan melihat bayinya, dan gelisah ketika mendengar ada kelainan. Di hari ke-17 ketika Hartini dibolehkan melihat anaknya, ia kaget bukan alang kepalang. Hanya saja tak pingsan. "Saya pasrah," ujarnya. Ia sangat sedih, apalagi ketika si kembar menolak disusui olehnya. Pawit dan Hartini mengaku tak tahu harus berbuat apa. Menurut dokter, anaknya harus dirawat terus di rumah sakit, diawasi dr. Bambang Sumantri. Dokter inilah yang, bersama Kepala RSU Tanjungpinang Surojo, berencana memisah kembar siam itu dengan operasi. Pawit pun sangat berharap anaknya bisa dioperasi, walau tak bisa membayangkan apa risikonya. Melalui korespondensi dan sejumlah perundingan, disepakatilah operasi pemisahan bayi yang bernama Prestiana Yuliana dan Prestiana Yuliani itu, di Jakarta. Transpor ke Jakarta ditanggung Sempati Air Transport, akomodasi di Jakarta tanggungan Pemda Riau dan Yayasan Tiara Putra, biaya operasi (Rp 30 juta) juga ditanggung yayasan ini. "Hati kami blong. Ternyata, pemerintah memperhatikan kami," kata Pawit. Tapi masih ada hal lain yang mengganjal. Mereka tak tega melepas si kembar hanya dengan seorang staf Rumah Sakit Tanjungpinang. "Kami ingin berada di samping mereka, tapi tak punya ongkos," keluhnya. Keinginan ini diketahui Pemda Riau. Akhirnya disetujui, Pawit dan Hartini ikut ke Jakarta, 30 Agustus 1987. Perasaan harap-harap cemas tak henti mengganggu pasangan itu selama di Ibu Kota. Kerja mereka tak lain pulang-balik RSCM, lalu kembali ke penginapan -- Mess Pemda Riau. "Kata suami saya, saya harus tenang dan banyak berdoa," ucap Hartini. Pawit sendiri tak henti membaca Quran. Malam menjelang operasi, mereka tak bisa memicingkan mata barang sekejap. Keduanya lalu khusyuk berdoa. Kendati gelisah, mereka tak begitu khawatir. Berbeda dengan Theresia Binder, ibu anak kembar siam yang dioperasi di Baltimore, Amerika, belum lama berselang. Ia terus-menerus dihantui kecemasan: anaknya mati satu atau hidup semua. Sebaliknya, Hartini dan Pawit yakin, kedua anaknya bakal selamat. Keyakinan itu diperoleh lagi-lagi dari mimpi Hartini. Syahdan, dua hari menjelang pemisahan Yuliana-Yuliani, Hartini merasa diberi dua kuntum bunga oleh seseorang. "Bunga itu indah sekali. Pasti perlambang Yuliana dan Yuliani," kata Hartini. Dalam mimpi ia melihat adiknya yang kembar datang dan berucap, "Syukur, anakmu selamat." Kini operasi sudah usai dan sukses. Para perawat RSCM menyalami, menciumi, dan merangkul mereka. Suami-istri itu hanya bisa tersenyum dan mengucap, "Alhamdulillah." Tanda terima kasih pada para dokter yang telah menolong anaknya, disalurkan Pawit dan Hartini dalam cita-cita tinggi. "Kami ingin anak kami nanti jadi dokter," tutur mereka, masih tersenyum. Zaim Uchrowi, Agus Wahid, Tri Budianto (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini