DI antara para dokter yang berkumpul di ruang monitor RSCM -- di sebelah ruang operasi -- terlihat seorang wanita cantik berkaca mata. Dari ekspresi wajahnya bisa diketahui bahwa ia ikut tegang menanti hasil operasi-pemisahan Yuliana-Yuliani. Namun, ia masih sempat menyapa orangtua kedua bayi dan membesarkan hati mereka. Dialah Nyonya Halimah Bambang Trihatmodjo, menantu Presiden, ketua pengurus Yayasan Tiara Putra yakni badan sosial yang tergugah menolong operasi pemisahan Yuliana-Yuliani. Ketika membaca tentang kesulitan dana operasi di media massa, September lalu Halimah spontan mencari informasi bagaimana sebaiknya menolong bayi kembar asal Riau itu. Nyonya Anti Suroso, sekretaris yayasan, mengisahkan bagaimana Halimah gelisah mendengar nasib Yuliana-Yuliani yang ketika itu masih terkatung-katung di Tanjungpinang. "Ayo kita jemput saja anak-anak itu," kata Anti, menirukan ucapan Halimah waktu itu. Yayasan Tiara Putra -- singkatan dari Bhakti Nusantara Putra -- didirikan tahun 1983 dengan tujuan menolong anak-anak balita tidak mampu. Awal pembentukannya tak lain karena tergugah heboh ekspor bayi ke luar negeri. Waktu itu baru terbongkar praktek mafia bayi yang membeli bayi-bayi dari orangtua tidak mampu, lalu menjualnya pada sejumlah orang asing melalui proses adopsi yang tidak wajar. Dewasa ini Tiara Putra kini mengelola sebuah panti asuhan, merawat anak-anak telantar sampai batas usia 12 tahun. Yuliana-Yuliani termasuk kategori usia untuk ditolong. Selain ikut mendukung biaya operasi mereka, Tiara Putra juga bermaksud ikut membesarkan anak-anak itu dengan bantuan dana. "Mereka masuk anak-anak istimewa, ya," ujar Anti, "jadi tidak perlu terbatas sampai 12 tahun." Namun, sampai kini pembicaraan lebih lanjut belum dilakukan. "Ya, memang susah bagi kami menahan Yuliana-Yuliani di panti asuhan yayasan, sebab orangtua mereka 'kan ingin berkumpul dengan anak-anaknya," kata Anti lagi. Dan kalaupun itu yang dikehendaki, Tiara Putra tidak keberatan. Ketika ditanya berapa besar dana yang diturunkan untuk biaya operasi pemisahan di RSCM itu, pihak Tiara Putra menolak menjelaskan. Anti sendiri berkata, tidak pantas bicara dana karena terkesan seperti menghitung-hitung. "Dana tidak penting," katanya, "yang utama niat kami untuk menolong yang sungguh-sungguh." Tiara Putra juga menolak dikatakan sebagai satu-satunya dermawan yang membiayai operasi Yuliana-Yuliani. Secara resmi Anti menegaskan, sumbangan mereka hanya sebagian kecil saja dari biaya kesuluruhan. Orangtua si kembar asal Riau itu, Tularji dan Hartini, mengaku mendapat bantuan dana dari Tiara Putra selama berada di Jakarta. Namun, fasilitas penginapan dan pengurusannya untuk sampai ke Jakarta diperoleh mereka dari Pemda Riau. Di samping itu, walaupun pasangan sederhana itu tak begitu mengerti apa yang telah dilakukan pada proses operasi anak-anak mereka, spontan mengutarakan rasa terima kasih yang tak terhingga pada para dokter, baik yang di Riau maupun yang di Jakarta. Keduanya merasakan, usaha menolong itu datang sungguh-sungguh dari hati nurani. "Ini berkat," kata Tularji, "kalau tidak bagaimana kami bisa membayar para dokter." Tenaga 45 dokter yang turun tangan menolong di RSCM terhitung sektor biaya yang terbesar, bila seluruh kalkulasi biaya mau diperhitungkan. Mereka tak mengutip honorarium sesen pun. Selain tenaga fisik, waktu yang mereka berikan tak terbatas. Sebagian besar kembali melakukan studi dan latihan berminggu-minggu, untuk memperhitungkan segala kemungkinan. Watak ketuanya, Prof. Iskandar Wahidayat, tercermin pada kerja seluruh tim. Iskandar, sudah lama diketahui berjiwa sosial. Di lingkungan RSCM ia dikenal pengumpul anak-anak penderita penyakit darah thalasemia. Karena rasa haru ia menolong anak-anak ini dengan biaya dari kantungnya sendiri, sebab sebagian anak-anak penderita penyakit itu datang dari keluarga tidak mampu, sedangkan biaya pengobatannya mahal sekali. Namun, para dokter di RSCM, baik Prof. Iskandar, dr. Hidayat yang direktur RSCM, maupun koordinator tim dr. Markum menampik pihaknya disebutkan paling berjasa. Dalam pendanaan mereka menunjuk Tiara Putra sebagai yang paling besar andilnya. Namun, mereka membenarkan pernyataan yayasan itu, tentang adanya kelompok masyarakat lain yang turun tangan. Di sisi peralatan, menurut Markum dan Hidayat, jangan dilupakan jasa rumah sakit lain, seperti St. Carolus dan RS Harapan Kita yang meminjamkan alat-alat. Di samping itu, dalam pengadaan peralatan yang terhitung sangat penting untuk suksesnya operasi, ada sejumlah importir ikut membantu: mencari informasi, memesan, kemudian mendatangkannya ke Indonesia. Semua peralatan canggih itu, secara fantastis, terkumpul di RSCM dalam waktu kurang dari satu bulan. Juga tepat waktu. Ada beberapa di antaranya sempat tertahan di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng, karena birokrasi bea cukai. Semua pihak yang terlibat lalu turun tangan, mengusahakan agar alat-alat kedokteran canggih itu cepat bisa dikeluarkan. Dan dengan ikhtiar yang sangat memerlukan konsentrasi, monitoring terus-menerus dan tenaga fisik, satu demi satu peralatan itu akhirnya bisa dilarikan ke RSCM, hingga semua siap pada waktunya. Padmosantjojo, tokoh utama pemisahan ini, mengisahkan, perangkat pisau operasi khusus untuk kasus kraniopagus, baru datang Selasa sore, sementara pembedahan esok paginya. Ia berkomentar, "Keberhasilan ini memang hasil kerja sama yang besar. Dengan cara ini, masalah sesulit apa pun akan bisa kita atasi." Jis. dan Agus Wahid (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini