RABU 21 Oktober 1987, pukul 06.00 pagi WIB, sebuah praoperasi disiapkan secara istimewa di Rumah Sakit Umum Pusat, Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Sepagi itu para petugas sudah sibuk memeriksa sejumlah peralatan operasi yang disiapkan sejak sehari sebelumnya instrumen bedah, alat monitor darah, lampu operasi tambahan, alat penghisap darah, dan perangkat anastesi. Hari itu, Yuliana-Yuliani, kembar siam yang nasibnya dinantikan jutaan orang di tanah air, akan menjalani operasi pemisahan yang mendebarkan dan yang pertama di negeri ini. Kepala mereka yang menyatu akan dilepaskan. Prof. Iskandar Wahidayat, dokter ahli anak yang ditugasi mengetuai tim dokter, pagi itu tampak sangat tegang. Sejak lepas subuh bersama para asistennya, ia berulang kali memeriksa keadaan Yuliana-Yuliani yang akan memasuki ruang operasi. Tangis keras, dalam dua warna suara yang berbeda, seolah menandakan kembar berusia 51 hari itu telah siap. Sebaliknya, kedua orangtua mereka, Tularji dan Hartini, gelisah di ruang tunggu. Hartini, sang ibu, duduk dengan kepala terkulai ke samping. Pandangannya kosong. Tularji, suaminya, terus merokok sambil menggenggam erat lembaran-lembaran surat Yasin yang dibacanya berulang kali. "Bial anak-anak selamat," katanya pelahan. Tak lama tangis anak-anaknya mereda. Keduanya jatuh tertidur setelah mendapat obat penenang Luminal. Pukul 06.45 WIB, enam anestesiolog yang dipimpin dr. Muhardi memasuki ruang operasi. Pembiusan segera dimulai. Dua suntikan larutan Hallotan diberikan berturut-turut, sementara anestetikum dalam bentuk gas sedikit-sedikit mulai diberikan. Hallotan dihentikan setelah dua suntikan. Lalu proses anestesi dilanjutkan dengan penyuntikan Pankuronium, obat pelumpuh otot, dan Fentanil, bahan analgesik kerabat opium. Ketika kedua bayi mulai tak sadar, proses pembiusan diambil alih gas dalam komposisi yang berubah-ubah tapi berimbang. Inilah metode anestesi berimbang yang diterapkan sepanjang operasi berlangsung. Pompa elektronik pada ventilator yang terletak di sisi-sisi meja operasi -- lewat pipa-pipa karet -- mengalirkan N20, oksigen, dan gas Isofloran. Kondisi berimbang diperhitungkan berdasar pemantauan seluruh kondisi kedua bayi. Pemantauan dilakukan dengan teliti melalui delapan monitor komputer yang dipasang tak jauh dari meja operasi. Empat untuk Yuliana, dan empat untuk Yuliani. Seluruh kondisi mereka dapat termonitor dari detak jantung, tekanan darah, suhu sampai kadar oksigen dalam darah. Pukul 09.00 WIB, para ahli bedah saraf dan bedah plastik yang dipimpin dr. Padmosantjojo mengambil tempat di ruang operasi. Tim yang terdiri dari 16 orang termasuk perawat, dan pengatur peralatan operasi, siap menghadapi pembedahan yang bersejarah itu. Padmosantjojo mengoleskan sendiri alkohol dan betadine ke meja operasi untuk menjamin keadaan suci hama. "Wah, waktu itu saya dag dig dug," ahli bedah saraf itu mengungkapkan. Adalah beban tanggung jawab yang membuat Padmo cemas, bukan operasi dan kondisi pasangan kembar riau itu. Pemeriksaan telah dilakukan lengkap, dan kondisi mereka yang jauh-jauh diterbangkan dari Kampung Kolam, Kecamatan Tanjungpinang, Riau, sudah terbaca seluruhnya. September lalu, hasil pemeriksaan dengan CT-Scan Computed Tomography Scanning menunjukkan otak keduanya terpisah. Namun, ketika itu keputusan operasi tak segera bisa diambil. "Terdapat perbedaan pendapat," kata Prof. Iskandar, ketua tim, "ada yang memperkirakan pembuluh darah pada selaput otak menyatu, ada juga yang berpendapat terpisah." Kedudukan pembuluh-pembuluh yang dikenal sebagai sinus sagitalis superior itu memang tidak terdeteksi seluruhnya. Baru tanggal 1 Oktober, keadaannya jelas. Dengan pemeriksaan angiography di Rumah Sakit Harapan Kita, bisa direkam gambar pembuluh darah yang berfungsi mengalirkan darah dari otak ke jantung itu. Pembuluh itu ternyata terpisah. Kesepakatan pun dicapai. "Tim bedah di-fix-kan, hampir 45 dokter terlibat," ujar Prof. Iskandar. Sepuluh hari sebelum operasi pemisahan dilakukan, tim bedah plastik sudah memulai tugasnya. Dua dokter, Sidik Setiamihardja dan Bisono, menyayat lapisan kulit kepala di kedua sisi yang berhubungan, agar kulit pada kedua sisinya itu hidup dan menyangkut di satu kepala saja. Tujuannya bila kelak kulit itu diperlukan untuk menutup, pertumbuhannya sudah terintegrasi kesalah satu kepala. "Bismillah," terdengar Padmo bergumam, lalu suaranya terdengar tegas, "pisau." Perawat lalu meletakkan alat itu ke tangan Padmo. Bersama ahli bedah plastik dr. Bisono, Padmo mulai menyayat kulit kepala yang berhubungan. Dengan demikian, operasi pemisahan Yuliana-Yuliani memasuki tahap separasi atau fase pemisahan tengkorak dan selaput otak. Dengan sebuah bor, Padmo membuat lubang sekitar 1,5 sentimeter dari batas pertemuan dua kepala yang bersambungan. Lalu sebuah alat pembuka seperti tang diselipkan ke lubang itu, dan "kraak", pengeratan tengkorak pun dimulai. Pemisahan kepala yang berhubungan itu tidak dilakukan serta-merta. Dengan kesabaran yang luar biasa tinggi, Padmosantoio dibantu asistennya, dr. Lucas B. Atmadji, mengerat tengkorak berikut selaput otak di baliknya mili demi mili. Tentu saja untuk menyusuri lingkaran tengkorak sepanjang 34 sentimeter, diperlukan waktu berjam-jam. Pada saat yang sama, dua asisten Padmosantjojo membentuk tulang penutup kepala tiruan, setelah menghitung luas lubang yang sudah hampir rampung. Tulang sintetis itu dibuat dari semen tulang. Bahan tulang tiruan ini mirip tanah liat pembuat patung, hingga mudah dibentuk. Untuk mencapai keadaan permanen, semen tulang ini dipanaskan. Inilah lempengan penutup bagian tengkorak yang bolong akibat pemisahan. Dalam proses pembiusan yang lama itu, suhu kedua bayi kembar peka terhadap pengaruh suhu rendah di ruang operasi yang menggunakan alat pendingin. Karena itu, telah disiapkan selimut khusus yang temperaturnya bisa diatur. Selimut ini berfungsi menaikkan suhu badan si kembar, bila temperatur tubuh mereka turun. Adapun selimut pengatur suhu bersama sejumlah peralatan lain, yang total bernilai Rp 40 juta, dldatangkan dari luar negeri, khusus untuk operasi Yuliana-Yuliani. Dana ini, menurut dr. Markum, yang bertindak sebagai koordinator pengadaan peralatan, disumbangkan Yayasan Tiara Putra yang diketuai Ny. Bambang Trihatmodjo, menantu Presiden Soeharto. Pada poses pengeratan tengkorak itu, tiba-tiba suhu Yuliana dan Yuliani naik, mencapai 38 derajat Celsius. Seorang anggota tim yang bertugas memonitor kedua bayi itu panik. "Suhu naik, matikan dulu blanket itu," serunya. Seluruh anggota tim terkejut dan ikut cemas. Namun, untung dalam beberapa menit seorang anestesiolog bisa menguasai keadaan. Suhu tubuh kedua bayi kembali normal. Pukul 13.30 WIB. Melalui alat komunikasi, dari ruang operasi dr. Padmosantjojo melaporkan perkembangan pada ketua tim Prof. Iskandar di ruang monitor. "Sepuluh menit lagi pemisahan selesai." Maka, para dokter dan peninjau di ruang monitor bersiap menantikan saat-saat yang sangat bersejarah itu. Namun, sepuluh menit telah lewat, tak ada berita terdengar. Apa yang terjadi ? Di ruang operasi, ketika Yuliani diangkat untuk dipisahkan, tiba-tiba darah muncrat dari sinus yang berada pada keadaan terbuka. Tim panik seketika. Juga pengamat dan para dokter di ruang monitor. "Wah sial sinus itu berhubungan," ujar Padmo mengulang kata-kata yang meluncur dari mulutnya ketika itu. Ia sama sekali tak menyangka keadaan itu akan terjadi, sebab pemeriksaan dengan angiography tak menunjukkan adanya penyatuan. "Keadaan tidak terdeteksi ini memang sangat mungkin," belakangan Padmo menjelaskan. Padmo harus segera bertindak, mau tak mau. Ia memutuskan untuk memisahkan kedua sinus dengan penyayatan. Tim anestesi segera bertindak menyusun keseimbangan baru dan dengan teliti menyiapkan pemantauan dengan ekstrahati-hati. Padmosantjojo minta posisi kedua bayi diubah, dan ia pun mulai melakukan penyayatan yang hampir tak mungkin dilakukan. Padmo berusaha memisahkan kedua pembuluh yang menempel pada keluasan 2 X 1 sentimeter itu tepat ditengah-tengah. Untuk ini ia membutuhkan waktu tiga jam. Sinus sagitalis superior itu selesai disayat tepat pukul 16.43. Namun, ketika Yuliana, bayi yang lebih montok (berat 5,5 kg), diangkat untuk dipisahkan kedua kalinya ketegangan kembali melanda. Soalnya, tekanan darah pada Yuliani -- yang berbobot 5,3 kg -- merosot menjadi 50, sementara pada Yuliana tekanan darah naik sampai 160. Yuliana segera mendapat tambahan darah sementara anestetikum pada Yuliani dikurangi. Keadaan bisa diatasi setelah tiga menit dan tahap akhir, penambalan lubang kecil di kedua sinus, dilakukan dengan menyumbatkan liodura -- selaput dura sintetis. Seluruh tim di ruang operasi dan ruang monitor menarik napas lega, tapi fase berikutnya menanti: tahap penutupan. Memasuki tahap ini, formasi ruang operasi diubah. Yuliana tetap pada meja operasi semula sedang Yuliani dipindahkan ke meja operasi di sebelahnya yang sudah disiapkan. Perangkat anestesi dan seorang anestesiolog ikut pindah untuk melanjutkan pembiusan. Sementara Padmosantjojo melakukan penutupan tengkorak Yuliana, dr. Lucas Atmadji melakukan hal sama pada Yuliani. Penutupan tidak mengalami kesulitan. Penambalan pada selaput otak ternyata tidak diperlukan, karena penyayatan yang cermat tidak meninggalkan perdarahan sama sekali. Pada tahap ini pula dua ahli operasi plastik, dr. Sidik Setiamihardja dan dr. Bisono, melakukan penutupan kulit kepala dengan menambalkan sebagian kulit dari paha dan punggung si kembar. Pukul 20.00 WIB seluruh proses operasi pemisahan Yuliana dan Yuliani selesai. Pukul 21.05, kembar dari Riau yang kini sudah terpisah itu, di bawah pengawalan ketat satuan pengaman, dibawa ke ruang gawat darurat, untuk mendapat perawatan pasca-operasi. Di sana kedua orangtua mereka menanti. Dan, babak pertama perjuangan Yuliana-Yuliani pun berlalu. Jim Supangkat, Putut Tri Husodo, Syafiq Basri (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini