Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FERNANDO belum genap 30 tahun. Dia juga masih terhitung pengantin baru karena baru beberapa bulan menikah. Sayangnya, ia tak pernah menikmati indahnya hubungan seks. Setiap kali berseranjang, penis pengusaha muda ini tak bisa mengalami ereksi. ”Mungkin saya sedang capek atau stres saja,” katanya menghibur diri. Namun kejadian itu terus berulang. Ia dan pasangannya pun lalu menyambangi ruang praktek androlog, dokter spesialis kesehatan alat reproduksi pria.
Barulah terungkap penyebabnya. Fernando mengidap hipertensi. Pembuluh darahnya menebal sehingga jalur yang mengalirkan darah menyempit. Walhasil, pasokan darah juga berkurang, termasuk yang menyuplai bagian penting itu: penis.
Fernando—bukan nama sebenarnya—lalu berobat ke spesialis jantung dan pembuluh darah. Selain mengatur pola makan, ia menenggak obat hipertensi. Kini tekanan darahnya relatif stabil. Hubungan suami-istri bukan lagi mimpi buruk. Kisah dengan happy ending ini mencuat dalam diskusi ”Waspadai Penyakit Kardiovaskuler yang Mengakibatkan Disfungsi Ereksi” di Hotel Ritz-Carlton, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis pekan lalu.
Sayangnya, penderita nasib seperti yang menimpa Fernando itu makin banyak. Menurut dokter spesialis andrologi Nugroho Setiawan, dia makin sering kedatangan pasien usia muda, yang masih di bawah 40 tahun, dengan keluhan penis loyo. Padahal dulu disfungsi ereksi identik dengan ancaman bagi kakek-kakek. Kini, jangankan bapak-bapak, yang masih mas-mas seperti Fernando tadi sudah diserang penis lunglai.
Disfungsi ereksi (erectile dysfunction) adalah ketidakmampuan pria mencapai atau mempertahankan ereksi untuk sanggama yang memuaskan. Dokter di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta, dan Rumah Sakit Internasional Bintaro, Tangerang, itu menjelaskan kesalahan utama kebanyakan orang adalah menganggap penis melunglai sebagai hal yang wajar, karena umur dan problem psikologis.
Banyak pula yang menganggap urusan kelamin tabu dan memalukan untuk dibicarakan, apalagi jika ”si pejantan” sampai harus berobat ke dokter. Istri pun kebanyakan pasrah dan tidak mengeluhkan ketidakpuasannya. Walhasil, banyak pasien memilih bungkam atau menempuh jalan pintas: bertandang ke dukun ala Mak Erot atau lari ke ”obat kuat” (baca ”Mau Kuat, Malah Gawat Darurat” dalam Tempo edisi 24-30 November 2008).
Padahal penis loyo sebetulnya menandakan pemiliknya mengidap penyakit tertentu. Menurut studi yang dilakukan Multinational Men’s Attitudes to Life Events and Sexuality, Amerika Serikat, lebih dari 64 persen penderita gagal ereksi mengalami satu atau lebih kondisi sakit jantung, diabetes, dislipidemia (kolesterol dan tekanan darah tinggi), testosterone deficiency syndrome (sindrom kekurangan hormon testosteron), dan obesitas. Artinya, kata Nugroho, semakin cepat penyakit-penyakit itu dideteksi, semakin besar pula kemungkinan disfungsi ereksi teratasi.
Santoso Karo Karo, spesialis jantung dan pembuluh darah, menyatakan yang berisiko terserang penyakit kardiovaskuler adalah perokok serta mereka yang memiliki hipertensi dan kolesterol tinggi. Ketiga momok itu menyebabkan penimbunan lemak pada pembuluh arteri. Akibatnya, arteri menyempit karena dindingnya bertambah tebal dan keras. Aliran darah ke segala penjuru tubuh pun tersendat.
Ia membeberkan penelitian yang pernah digelar Rumah Sakit Harapan Kita pada 2001: 63 persen dari 100 pasien kardiovaskuler ternyata menderita disfungsi ereksi. Data Departemen Kesehatan menunjukkan penyakit kardiovaskuler—penyakit yang berhubungan dengan jantung dan pembuluh darah—adalah penyebab kematian nomor satu di Indonesia. Menurut dokter Santoso, peningkatan ini sejalan dengan melejitnya penderita stroke, hipertensi, obesitas, dan diabetes.
Ya, diabetes juga salah satu ”tertuduh” disfungsi ereksi. Kadar glukosa (gula) dalam darah penderita diabetes terlalu tinggi sehingga fungsi tubuh memproduksi hormon insulin berkurang. Padahal tubuh membutuhkan glukosa sebagai sumber utama energi. Jika kadar glukosa dalam darah tak dapat dikontrol—lagi-lagi—pembuluh darah menyempit, nyaris mampet. Akibatnya, pasokan darah ke penis pun berkurang.
Bila diabetes terdeteksi cepat, pasien bisa diberi perawatan lebih dini guna menjaga kestabilan gula darah, termasuk dengan injeksi insulin dan obat yang mengandung sildenafil sitrat dan tadalafil, yang dapat melebarkan pembuluh darah. Jika kadar glukosa terjaga, penyakit-penyakit ikutan, termasuk disfungsi ereksi, bisa dicegah.
Jika pria yang sulit mencapai ereksi ternyata memiliki kadar kolesterol dan tekanan darah normal, kemungkinan lain adalah ia kekurangan hormon testosteron di dalam tubuh. Hormon tersebut adalah hormon androgen (kelelakian) yang diproduksi testis.
Tak sulit mendeteksi pria yang kekurangan hormon testosteron. Ciri-cirinya, antara lain, tulang menjadi rapuh, kekuatan dan massa otot menurun (menggelambir), kegemukan (lingkar pinggang lebih dari 90 sentimeter untuk ukuran Indonesia ), mulai muncul gejala awal alzheimer dan, ya itu tadi, penis susah bangkit. Memang, aktivitas hormon ini menurun seiring dengan bertambahnya umur. Namun, kata dokter Nugroho, belakangan banyak kalangan muda yang cekak hormon testosteron.
Seperti dikemukakan di awal, disfungsi ereksi adalah salah satu sinyal seseorang menderita penyakit tertentu. Artinya, kata dokter Nugroho, untuk menyembuhkan masalah penis loyo, atasi dulu penyakit yang menyebabkannya. Bukan langsung berobat dengan ”menghajar” organ seksual itu. Jika disfungsi disebabkan oleh diabetes, penderitanya harus mengkonsumsi obat oral dan suntik insulin untuk menstabilkan gula darah. Jika kadar glukosa sudah stabil, problem dengan penis dengan sendirinya akan tuntas.
Begitu juga bila penyebab loyonya adalah penyakit kardiovaskuler. Dokter Santoso mengingatkan, selain menenggak obat, pasien harus mengubah gaya hidup yang berisiko penyakit jantung dan pembuluh darah. Faktor risikonya antara lain merokok, hobi makanan berkolesterol tinggi (misalnya junk food), kurang berolahraga, dan tingkat stres tinggi. Jika akar penyakit kardiovaskuler bisa ditebas, problem ereksi juga teratasi.
Santoso juga menuturkan makin banyak didatangi penderita kardiovas-kuler muda, di bawah 40 tahun. Prinsipnya, kenali sejak awal gejala penyakit-penyakit di atas, minum obat atau jalani terapi, dan lakukanlah dalam jangka panjang.
Berkaitan dengan urusan ”ranjang”, disfungsi sebetulnya bukan hanya ereksi. Ada tiga jenis disfungsi seksual pria: ereksi, ejakulasi, dan orgasme. Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun lalu, ada 152 juta pria di dunia yang datang ke dokter karena menderita gagal ereksi. Angka ini hanya puncak gunung es. Jauh lebih banyak penderita yang mendiamkan masalahnya.
Menurut Nugroho, ada tiga tahap pengobatan untuk keluhan ini, sesuai dengan tingkat keparahan. Gagal ereksi kelas ”ringan” biasanya tuntas dengan minum obat dan konseling psikologis. Yang agak berat mesti melakoni terapi dengan pompa vakum dan injeksi di bagian penis untuk melancarkan darah. Sedangkan yang sangat parah mesti menjalani prostesis atau pencangkokan penis.
Banyak orang awam yang mencari kesembuhan dari ”obat kuat”—istilah ini sebetulnya tak dikenal di dunia medis. Nugroho mengelompokkan obat khusus pria itu sebagai afrodisiak (menambah gairah seksual), aerogin (meningkatkan testosteron), dan erektogen (membantu ereksi).
Afrodisiak biasanya disebut ”sex tonic” yang berupa suplemen sehingga bisa dijual bebas. Sedangkan aerogin dan erektogen masuk kategori obat yang mesti diresepkan. Itu sebabnya, November lalu, Badan Pengawas Obat dan Makanan menarik sejumlah produk yang didaftarkan sebagai suplemen padahal mengandung sildenafil sitrat dan tadalafil—obat keras yang mesti dengan resep dokter, sesuai dengan kondisi pasien.
Andari Karina Anom
Deteksi Penyebab Disfungsi
EREKSI tak melulu persoalan psikologis. Ada sejumlah penyakit yang menyebabkan problem seksual ini, misalnya:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo