Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Postdamer Platz seolah merayakan pesta film tak berkesudahan. Di kawasan inilah Festival Film Internasional Berlin—lazim dikenal dengan nama Berlinale—diselenggarakan. Festival yang diadakan ke-59 kalinya ini membuka acara dengan film The International karya Tom Tykwer, yang berkisah tentang agen Interpol yang menyelidiki kejahatan perbankan yang berkelindan dengan terorisme internasional. Film dibuka dengan adegan di stasiun kereta utama Kota Berlin, Berlin Hauptbanhoff. Dengan menjadikan film ini sebagai pembuka, tampak sekali ambisi Berlinale untuk menjadi festival film internasional yang terpenting di dunia. Paling tidak yang mampu terus memelihara persaingan dengan dua festival besar lain: Festival Film Cannes di Prancis dan Festival Film Venesia di Italia.
Maka nama-nama besar berendeng di festival ini di berbagai seksi. Di seksi utama, yaitu seksi Kompetisi, terdapat nama-nama besar dengan karyanya, seperti Forever Enthralled (Chen Kaige), Mammoth, karya sutradara Swedia, Lukas Moodysson, dan Cherry, karya sutradara Inggris, Stephen Frears. Tapi nama besar bukan jaminan. Pemenang hadiah utama festival ini, yang meraih Piala Beruang Emas, adalah film Milk of Sorrow karya sutradara Peru, Claudia Llosa. Film ini merupakan film kedua Claudia.
Di seksi lain, Panorama, nama besar juga tak kurang. Seksi Panorama, seperti yang dijelaskan pada situs Berlinale, adalah sebuah seksi yang menayangkan film-film seni, independen, yang dibuat dengan gaya yang personal. Jose Padilla, yang tahun lalu membawa pulang Beruang Emas, tahun ini datang dengan film dokumenternya, Garappa. Ada nama lain, seperti sutradara independen Amerika, Tom DiCillo, dengan film dokumenternya, When You’re Strange, tentang kelompok musik The Doors. Sutradara prolifik Inggris, Michael Winterbottom, membawa film dokumenter berjudul sama dengan buku karya Naomi Klein yang menjadi sumber adaptasinya, The Shock Doctrine. Di antara nama-nama besar di seksi Panorama itu, terselip nama-nama Indonesia. Di antaranya Riri Riza dengan Laskar Pelangi, yang datang bersama produser Mira Lesmana. Sedangkan film lain yang masuk seksi ini adalah film dokumenter Pertaruhan karya Ucu Agustin, Ani Ema Susanty, Lucky Kuswandi, Muchammad Ichsan, dan Iwan Setiawan. Untuk film ini, selain hadir sutradara Ucu Agustin, terlihat produser Nia Di Nata serta Abduh Aziz.
Inilah untuk pertama kalinya film Indonesia masuk seksi Panorama. Dan tidak tanggung-tanggung, dua film sekaligus. Tak aneh jika Direktur Seksi Panorama Weiland Speck secara khusus menyebutkan bahwa tren tahun ini adalah Indonesia. Seksi Panorama sering membanggakan diri kerap ”menemukan” tren artistik film dari kawasan regional tertentu. Bagi Weiland, tahun ini tren tersebut adalah sinema Indonesia.
Setelah Festival Film Internasional Rotterdam, Berlin juga diam-diam diserbu film Indonesia. Di seksi Forum Berlinale, yang dimaksudkan untuk film ”alternatif” dengan cara tutur yang lebih menantang, ada Generasi Biru (Garin Nugroho, John de Rantau, dan Dosy Omar). Kemudian ada juga dua film pendek Indonesia: Musafir (B.W. Purba Negara) dan Trip to the Wound (Edwin).
Berlinale bersaing dengan festival lain yang bergengsi di Eropa. Akibat persaingan ini, Berlinale gagal memutar beberapa film Indonesia lain karena tak masuk syarat sebagai European premiere. Misalnya Babi Buta yang Ingin Terbang karya Edwin, yang sangat diinginkan oleh Forum di Berlinale, tapi, karena sudah diputar lebih dulu di Film Festival Rotterdam, tak mungkin dimasukkan ke Berlinale. Film 3 Doa 3 Cinta juga diputar perdana di Eropa di Festival Film Gotheborg. Keduanya mendapat dana yang berasal dari skema festival-festival tersebut. Salah seorang programer Berlinale yang sempat ”berburu” film ke Yogyakarta tahun lalu, Dorothee Wenner, menyayangkan hal itu, tapi ia tak bisa berbuat banyak.
Sekalipun demikian, film Indonesia tetap mendapat sambutan menggembirakan. Saking membeludaknya penonton Laskar Pelangi, panitia menambah satu studio lagi untuk penayangan film itu. Kritikus film asal Kuba, Alberto Ramos Ruiz, misalnya, memuji Laskar Pelangi sebagai film yang hangat dan mampu merangsang emosi. ”Anak-anak dalam film itu berhasil mengantar emosi,” kata Ruiz, sekalipun dia kaget dengan pendekatan film itu, yang naif terhadap masalah sosial yang dihadirkannya. ”Seakan-akan semua pasti berakhir dengan baik,” kata Ruiz. Tapi Ruiz dan programer Berlinale, Jurgen Bruning, sama-sama yakin film semacam Laskar Pelangi akan mudah mendapat distributor di Amerika.
Para pembuat film Indonesia memang melakukan usaha promosi (lihat ”Sebuah Indonesia di Pinggir Berlin”). Namun jalan untuk mendapat deal memang masih harus ditunggu. Mira Lesmana, yang ikut menemani film yang diproduserinya itu, mengaku sudah didekati satu-dua agen dari Amerika yang tampak sangat serius. ”Tapi, namanya agen, kami belum bisa optimistis,” kata Mira. Agen, bagaimanapun, hanya berperan sebagai perantara dan bukan pembeli akhir sebuah film. Bagaimanapun, ini langkah awal film Indonesia di bisnis film internasional.
Eric Sasono (Berlin)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo