Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sirkuit Sepang, Malaysia, 17 Maret 2002. Lewat tengah hari, perlombaan Formula 1 baru beberapa detik dimulai. Di tikungan pertama, Michael Schumacher dari Ferrari dan Juan Pablo Montoya dari Williams BMW berebut posisi pertama hingga mobil mereka bergesekan dan bertabrakan. Tidak terlalu parah akibatnya. Hanya bagian hidung Ferrari lepas dan ada beberapa pecahan kecil yang terserak. Petugas lapangan menyingkirkan bekas-bekas benturan, dan perlombaan pun tetap berjalan.
Faris Lutfi, 36 tahun, menyaksikan dengan jelas kecelakaan kecil itu dari tempat duduknya di tribun K1. Penggila balapan Formula 1 (F1) yang tiap tahun menyaksikan putaran di Sepang ini melihat kepingan merah yang tak ikut terangkut petugas pembersih. Jaraknya sekitar 50 meter dari tempat duduknya. Mantan pereli ini dalam hati bertekad mengambil potongan sayap depan Ferrari itu jika perlombaan selesai. Begitu putaran terakhir usai atau sekitar dua jam kemudian, Lutfi pun melompati pagar pembatas penonton setinggi dua meter dan lari ke lapangan—beberapa penonton melakukan hal serupa—lalu mengambil kepingan itu.
"Prestasi" Lutfi mendapatkan potongan badan Ferrari yang dikendarai Schumacher itu menuai kekaguman dari teman-temannya. Ada beberapa pengunjung bule yang bahkan meminjam pecahan itu untuk difoto bersama. "Itu sungguh pengalaman yang paling nekat," kata Lutfi, pemilik bengkel cat mobil dan usaha cat semprot (air brush) untuk ornamen helm balap itu.
Kepingan merah bentuk segi tiga berukuran kira-kira 15 x 5 sentimeter itu kini dipajang di lemari kaca bersama puluhan barang koleksi F1 lainnya, karena Lutfi memang membuka toko di tempat tinggalnya di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Toko yang diberi nama Gorby Pit Shop itu tidak hanya digunakan oleh pemiliknya untuk memajang barang-barangnya, tapi juga sebagai sarana tempat pertemuan antarkolektor barang dan penggila F1 lainnya.
Balapan Formula 1 memang sudah menjadi salah satu cabang olahraga yang paling banyak penggemarnya di dunia. Jumlah penontonnya terbesar kedua setelah sepak bola. Bedanya, F1 lebih eksklusif karena di dunia ini hanya ada satu kompetisi F1 dengan 24 pembalap. Pembalap yang mengendalikan mobil F1 juga bukan orang sembarangan. Mereka dituntut bisa berkonsentrasi, memutuskan memacu kendaraan dalam hitungan detik. Bayangkan saja, sebuah mobil F1 mampu berakselerasi, meluncur mencapai kecepatan 100 km per jam hanya dalam 2,3 detik.
Tim pendukung F1 seperti sebuah industri. Tim F1 yang besar bisa sampai beranggotakan 400 orang dengan anggaran sampai US$ 300 juta (hampir Rp 2,5 triliun) per tahun. Tim itu tidak saja harus mampu menghasilkan barang-barang yang bisa dijual, tapi juga selalu memajukan teknologi F1 yang ditanganinya. Intinya, mereka harus membuat mobil 3.000 cc, 10 silinder itu—standar F1—bisa lebih unggul ketimbang tim-tim lainnya. "Ini bisnis raksasa," kata Indrajit Sardjono, fans fanatik yang pernah bekerja di pabrik mobil Lamborghini, Italia.
Dengan profil seperti itu, tak aneh jika arena F1 membuat orang terkagum-kagum. Para penggila F1 dapat melakukan hal-hal yang menurut ukuran awam tak masuk akal, termasuk soal harga yang harus dibayar untuk mendapatkan barang koleksi terbatas F1. Replika F1 kecil (1:43) yang biasa-biasa saja harganya sampai Rp 300 ribuan per replika. Itu yang paling murah.
Harga replika makin mahal jika si pembalap adalah juara atau sedang naik daun. Replika kecil mobil F1 merah Michael Schumacher yang dikeluarkan berkait dengan kemenangannya dalam sebuah balapan, misalnya, bisa mencapai Rp 8 juta per biji. Berbagai produk Kimi Raikkonen, pembalap McLaren, mulai menanjak harganya karena Raikkonen dianggap punya masa depan bagus. Para kolektor pun mulai berburu barang-barang eksklusif Raikkonen ini.
Nilai barang koleksi juga tinggi jika produk yang bersangkutan dianggap "aneh". Replika F1 dengan nama pembalap yang dengan tidak sengaja tertulis salah oleh pembuatnya justru bernilai tinggi dan dicari. Replika bisa juga mahal bila ada sponsor rokok, seperti Marlboro dan West. Mengapa? Karena jumlahnya terbatas.
Contohnya lagi replika mobil Ferrari Michael Schumacher dalam ukuran terbesar, 1:15, milik Agung Dorojatun. Replika itu hanya diproduksi 200 unit, dan Agung punya yang nomor 28. Makin tinggi nilainya, karena pada produk nomor 1-40 tercetak "Marlboro". Agung membelinya Rp 30 jutaan. Tapi Agung tak melepas koleksinya itu meskipun pernah ditawar Rp 37 juta. "Rp 50 juta pun saya masih pikir-pikir," kata Agung, 30 tahun, yang membuka Toko Chequered Flag F1 di kawasan Senayan, Jakarta, yang menjual barang-barang F1.
Seseorang yang mengumpulkan barang eksklusif itu belumlah bisa dikatakan cukup "gila" jika belum nonton balapan di berbagai sirkuit mancanegara. Sebab, penggemar berat balapan F1—tentu saja yang mampu— tak akan meninggalkan kesempatan untuk datang langsung di arena. Menurut mereka, atmosfer tempat balap, seperti suara mesin, bau bahan bakar, keriuhan, dan kecepatan pacu mobil-mobil F1, adalah sensasi tersendiri.
Demi sensasi seperti itulah Agung sudah memesan satu tempat duduk di paddock—tempat pembalap dan krunya berkumpul—di Albert Park, Melbourne, Australia, untuk tiga tahun. Dari 1999, laki-laki yang sejak kecil sudah menyukai F1 ini menyatakan kesanggupan membeli satu tempat di paddock selama tiga tahun. Harganya pada 1999 itu A$ 4.000 (sekitar Rp 20 jutaan). Keuntungan memesan tempat di paddock sejak awal, menurut Agung, adalah harganya tidak akan naik. Maklum, tempat duduk di paddock itu tidak diperjualbelikan terbuka dan harga tiketnya naik setiap tahun. "Karena sudah punya komitmen beli selama tiga tahun, saya dapat harga tetap," kata Agung, pimpinan PT Inspindo Mulia, perusahaan di bidang perminyakan.
Bagi Agung, yang sudah menonton di Albert Park, Sepang, Silverstone (Inggris), dan Monaco, mendapat tempat duduk di kawasan kru tim adalah hal penting. "Ada kemungkinan bertemu dengan pembalap di kamar kecil," kata Agung, yang sudah bertemu dengan sebagian besar pembalap F1. Dan Agung sempat bertemu dengan David Coulthard dari McLaren Mercedes di kamar kecil.
Agung juga punya cerita seru ketika musim balapan di Albert Park pada 2000. Saat itu Agung nekat menawar baju seorang kru tim Ferrari. Pada mulanya, kru itu tidak ingin menjual bajunya. Tapi keesokan harinya Agung mengulangi usahanya merayu kru tersebut. Akhirnya, Agung menyodorkan US$ 500 dan kru Ferrari itu merelakan baju timnya berpindah kepemilikan. "Itu pun bajunya diuntel-untel, dimasukkan dalam kantong kresek," kata Agung, yang mengaku sempat mengkoleksi baju atau kaus kru hingga delapan biji.
Baju-baju kru tim F1 itu juga bisa mendatangkan rezeki untuk Agung. Soalnya, penggila F1 lain di Indonesia juga ada yang nekat membeli baju kru itu meski dengan harga sampai Rp 7,5 juta sebuah. "Yah, namanya juga hobi berat," kata Agung, yang berhasil menjual empat dari koleksi kostum kru tim F1 kepada para penggemar fanatik F1 lainnya.
Penggila F1 memang tidak pernah kehabisan akal untuk menambah "brevet" bukti kecintaan mereka. Lutfi, saking seringnya menonton di Sepang, Malaysia, sampai tahu cara paling mujarab untuk bertemu dengan para pembalap. Resepnya: datang pada hari Kamis—balapan pada Minggu— dan menginap di Hotel Pan Pacific bandara. "Pasti akan bisa ketemu mereka saat sarapan dalam keadaan masih santai," kata Lutfi.
Pendek kata, fans berat F1 sepertinya makin kreatif mengungkapkan kefanatikan mereka. Tidak dapat langsung ke arena, mereka pun bisa kumpul nonton bareng F1 yang diadakan di kafe-kafe. Bahkan mereka pernah mengadakan acara nonton F1 di gedung bioskop berkapasitas 200-an orang. Tempat duduk yang tersedia pun penuh terisi penonton. Ya, namanya juga sudah telanjur cinta.
Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo