Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua sosok setengah baya itu, Graham Russel dan Russel Hitchcock, duduk mencangklong di tubir panggung Assembly Hall, Jakarta Convention Center, Selasa pekan lalu. Jemari kidal Graham memetik gitar akustik dua belas senar yang tersampir di tubuhnya, mengalunkan intro Lost in Love. Dan tiba-tiba terjadilah kegaduhan ketika pasangan Graham-Hitchcock membaur ke tengah penonton. Graham berdiri di atas salah satu kursi penonton kelas satu, lalu melompat ke wilayah penonton kelas dua. Di bagian lain, Hitchcock membiarkan kedua belah pipinya yang mulai keriput dihujani ciuman bertubi-tubi oleh ibu-ibu muda, seorang di antaranya berjilbab, yang histeris bak abege (anak baru gede) ketemu Westlife. Gap antara penampil dan penonton, yang selama ini sering terjadi, luruh sudah.
Itulah sebagian atraksi Air Supply, yang tampil di Jakarta (12 Agustus) dan Medan (13 Agustus) atas undangan Original Production dalam rangkaian The Greatest Hits World Tour 2003. Mereka datang dikawal pemusik Jed Moss (piano), Mike Zerbe (bas, keyboard), dan Jonni Lightfoot (drum). Seperti yang sudah-sudah, Air Supply menyapa penonton lewat lagu-lagu easy listening yang umumnya sudah amat dikenal publik Jakarta: Every Woman in the World, Good Bye, Even the Nights Are Better, The One That You Love, dan banyak lagi. Basi, memang. Toh, tiket yang berharga Rp 350 ribu (VIP), Rp 250 ribu (kelas I), dan Rp 150 ribu (kelas II) tetap laris manis.
Konser Air Supply mencapai klimaksnya pada lagu Making Love Out of Nothing At All (diambil dari album The Greatest Hits, 1983), yang mengalami perombakan aransemen. Jeritan langsung membahana sesaat Jed Moss memencet tuts piano. Ruangan Assembly Hall segera digulung oleh kor sukarela penonton. Mereka tak lagi menggubris kick drum Jonni yang keluar dari ukuran harmoni, atau middle bas Mike Zerbe yang mengeluarkan dengung menyakitkan. Makhluk tua-muda itu bahkan sanggup menyanyikan bagian bridge lagu tersebut yang terkenal sulit dinyanyikan!
Bebunyian melodius serta paparan kalimat cinta yang membius tampaknya menjadi resep kekuatan Air Supply dalam menyedot penggemarnya agar tetap membanjiri pertunjukannya. Padahal, jika disimak secara teliti, nyaris tak ada yang istimewa malam itu. Panggung sepi dari ornamen, pencahayaan tata lampu pun ala kadarnya. Tapi, "Enggak tahu kenapa, pokoknya lagu-lagu mereka itu enak banget," celoteh Muriati, karyawati sebuah bank swasta, yang telah menyaksikan Air Supply untuk ketiga kalinya.
Karena kedatangannya ini memang bukan untuk pertama kali, Air Supply lantas berusaha menampilkan sesuatu yang lain, setidaknya menurut mereka. Tugas tersebut jatuh pada Jed Moss dan Mike Zerbe untuk membuat atraksi solo lewat instrumen masing-masing. Tak terlalu luar biasa. Bahkan, di tengah tren hiburan musik yang kini tidak lagi membutuhkan pameran skill, gebrakan tersebut terkesan ketinggalan zaman.
Dibentuk di Melbourne pada 1976, Air Supply termasuk artis pop senior yang ikut mengharumkan nama Australia, di samping Olivia Newton-John dan Bee Gees. Sekitar 13 album plus empat kompilasi telah ikut melambungkan nama duo tersebut ke seantero dunia. Karakteristik karya mereka mudah dikenali lewat struktur lagu-lagunya yang sederhana, mudah dicerna awam, dan umumnya mengandalkan kekuatan piano akustik sebagai daya tarik. Pendekatannya pada tema cinta pun terbilang khas. Cinta dalam pandangan Graham-Hitchcock adalah mimpi indah penuh bunga, sesuatu yang luks, laksana sepotong kue lapis yang nikmat di lidah tapi tak menyisakan apa-apa. Bius melankolisisme dalam konteks musik Air Supply merupakan kelebihan sekaligus kelemahan. Ya, kelemahan karena cenderung membosankan.
Meski begitu, Air Supply tetap mendapat tempat di hati masyarakat pencinta musik pop. Kita mungkin sulit melupakan lagu-lagu klasik seperti All Out of Love, The Power of Love (si cantik Jennifer Rush pernah ikut mempopulerkan lagu ini), I Can Wait Forever, atau Here I Am. Bahkan Making Love Out of Nothing At All, yang mengantarkan mereka ke puncak kejayaan, telah mampu menyejajarkan nama mereka di samping duo termasyhur lainnya macam Simon & Garfunkel, Hall & Oates, atau George Michael-Andy Ridgley dari kelompok Wham!, yang menggempur industri pop pada pertengahan tahun 1980-an. Dan ketika nama-nama tersebut rontok satu per satu akibat ribut melulu, Air Supply justru terlihat solid.
Cinta yang dikemas penuh kesederhanaan tampaknya akan lebih abadi ketimbang atraksi sensasional.
Denny M.R., pemerhati musik pop
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo