Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETENGAH jam terjebak kemacetan tak membuat Yusril Ihza Mahendra gusar. Dengan langkah ringan, sambil menyampirkan jas di pundak, ia menuju ruang konferensi pers di halaman samping kiri Istana Negara. Setelah mengenakan jas warna gelapnya, Kamis sore pekan lalu itu, dengan riang Yusril berbicara kepada para wartawan yang menunggunya sejak siang. "Mohon maaf, Saudara-Saudara, saya terlambat karena terjebak macet," ujar Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia ini.
Hati Yusril tampaknya sedang plong. Maklumlah, beban pekerjaan untuk menggeber pembahasan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi selama sebulan lebih akhirnya dapat diselesaikan. Pada 13 Agustus lalu, rancangan itu sudah diteken Presiden menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Tugasnya menyeleksi usulan hakim konstitusi dari pemerintah pun sudah tuntas. Dan inilah yang diumumkan Yusril pada Kamis sore itu.
Presiden, kata Yusril, telah menetapkan Prof. Dr. Mukthie Fadjar, S.H., Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., L.L.M., dan Dr. Harjono, S.H., M.C.L. sebagai hakim konstitusi usulan pemerintah. Mereka menyisihkan 23 nama yang diseleksi tim yang terdiri atas Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono, dan Jaksa Agung M.A. Rachman.
Pengetahuan ketiga (calon) hakim konstitusi itu soal hukum tak diragukan lagi. Mukthie adalah guru besar hukum tata negara Universitas Brawijaya, Malang, sedangkan Natabaya adalah guru besar hukum tata negara dari Universitas Sriwijaya, Palembang. Adapun Harjono adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya.
Pengumuman Yusril ini melengkapi enam nama yang telah diusulkan Mahkamah Agung dan DPR beberapa hari sebelumnya. Berdasarkan undang-undang, hakim konstitusi diajukan masing-masing tiga orang oleh Presiden, Mahkamah Agung, dan DPR. Kesembilan orang itu akan menjabat selama 5 tahun ke depan.
Mahkamah Agung adalah lembaga pertama yang mengajukan kandidat setelah menyeleksinya secara internal. Ketua MA Bagir Manan mengajukan tiga nama kepada Presiden setelah Presiden menandatangani UU Mahkamah Konstitusi, 13 Agustus lalu. Mereka adalah Hakim Agung Laica Marzuki, Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Surabaya, Sudarsono, dan Ketua PTTUN Bengkulu, Muarar Siahaan.
Yang paling seru adalah proses pengajuan dari DPR. Di sini para calon diuji kelayakan dan kepatutannya secara terbuka. Dari hasil pemilihan, akhirnya parlemen menetapkan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. (guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia), Letjen TNI (Purn.) Achmad Roestandi, S.H. (mantan Ketua Fraksi TNI/Polri), dan I Dewa Gede Palguna, S.H., L.L.M. (politikus PDIP). "Dari awal sudah ditebak, Pak Jimly bakal mendapat suara terbanyak," kata Ketua Komisi Hukum DPR Teras Narang. Jimly meraih 37 suara, disusul Roestandi 26 suara, dan Palguna 22 suara.
Pemungutan suara diikuti 49 orang dari 62 anggota Komisi Hukum DPR. Setiap anggota memilih maksimal tiga dari 12 calon yang mengikuti uji kelayakan. Menurut anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi Reformasi, Patrialis Akbar, Jimly didukung hampir semua fraksi, terutama Fraksi Golkar, Reformasi, PPP, PBB, dan PDU. Roestandi didukung Fraksi TNI/Polri dan PPP. Sedangkan I Dewa Gede Palguna dipilih anggota Fraksi PDIP dan sebagian PKB. "Tiga suara PKB diberikan untuk Palguna," ujarnya.
Proses pemilihan calon hakim konstitusi di parlemen tampak terburu-buru. Maklum, jadwalnya mepet. Tak banyak waktu untuk menjaring calon dari masyarakat. "Jika waktunya lebih panjang, baik Undang-Undang Mahkamah Konstitusi maupun hakimnya pasti akan lebih baik," kata Patrialis.
Praktisi hukum Bambang Widjojanto juga meragukan penilaian Komisi Hukum DPR dalam menentukan ketiga calon hakim konstitusi itu. Sebab, pertanyaan soal integritas dalam uji kelayakan sangat minim. Para calon hanya ditanyai pemahaman soal konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Soal independensi dan integritas calon justru tak dipermasalahkan. "Pemilihan di DPR lebih diwarnai nuansa politis," ujarnya.
Toh, menurut Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Firmansyah Arifin, pemilihan di DPR lebih baik daripada penentuan di Mahkamah Agung ataupun oleh Presiden. Meskipun ketiga hakim dari DPR tampil melalui dukungan politik, proses penjaringan yang dilakukan cukup obyektif. "Mekanismenya lebih transparan," katanya.
Pemilihan calon hakim konstitusi dari MA sepenuhnya memang ditentukan pemimpin lembaga ini. "MA menganggap pemilihan hakim konstitusi itu dengan mekanisme internal. Padahal undang-undangnya tidak demikian," kata Bambang. Menurut Arifin, mekanisme seleksi di DPR melalui Komisi Hukum seharusnya juga dilakukan pemerintah dan Mahkamah Agung.
Menurut Bagir, ketiga orang calon hakim konstitusi dari MA dinilai cakap dan memiliki integritas yang tinggi. Meski baru tiga tahun berkarier sebagai hakim ketika dilantik sebagai hakim agung, Laica dikenal menguasai masalah hukum tata negara. Maklumlah, dia guru besar hukum tata negara dari Universitas Hasanuddin, Makassar. Setahun terakhir ia pun merangkap sebagai hakim agung. Masalahnya, Laica kini menjadi anggota majelis hakim agung yang tengah menangani kasasi Ketua DPR Akbar Tandjung. "Tapi, karena terpilih, ia akan digantikan hakim agung lain," kata Bagir.
Adapun Sudarsono pernah mempelajari masalah hukum administrasi di Prancis. Sedangkan Muarar Siahaan, menurut Bagir, adalah hakim peradilan umum yang memiliki pengalaman panjang. "Sebetulnya mereka kita proyeksikan sebagai hakim agung. Tapi, karena negara membutuhkan, mereka kita calonkan," ujarnya. Karena itu, ia berharap Presiden tidak menolak mereka.
Dalam proses pemilihan calon dari pemerintah juga tak ada uji kelayakan yang transparan. Hanya, Yusril menjelaskan bahwa Natabaya dan Mukthie Fadjar, selain diajukan pemerintah, juga diajukan masyarakat. Mukthie adalah adik Menteri Pendidikan Nasional Malik Fadjar. Sedangkan Harjono, yang sebelumnya dicalonkan Fraksi PDIP di DPR, memilih mundur dari proses di parlemen.
Yusril mengaku sulit menjelaskan latar belakang terpilihnya ketiga nama itu. "Kami hanya mengikuti apa yang diperintahkan undang-undang," ujarnya. Menurut dia, tim pemerintah telah menyeleksi semua calon dengan saksama berdasarkan track record, kemampuan akademis, dan prestasinya di bidang hukum.
Sejumlah calon hakim konstitusi yang terpilih telah menetapkan tekadnya untuk melaksanakan tugas sebaik-baiknya sebagai penjaga konstitusi. Laica mengaku bersyukur karena dirinya terpilih. "Saya akan berbuat yang terbaik," kata hakim agung berusia 62 tahun ini. Pernyataan senada diungkapkan oleh Jimly dan Mukthie. Hanya Roestandi yang mengaku tidak tahu apa yang akan diperbuatnya.
Tugas yang disandang mereka memang cukup berat. Sebab, Mahkamah Konstitusi punya kewenangan luar biasa, yakni menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Mahkamah ini pun wajib memberikan putusan atas pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden.
Hanya, upaya buat menegakkan konstitusi bisa setengah hati jika para pengawal konstitusi itu terjebak dalam permainan politik. Apalagi sebagian terpilih lewat proses politik di parlemen dan pemerintah. Itu sebabnya Bambang Widjojanto menyerukan agar masyarakat tetap ikut mengawal mahkamah ini agar terjaga integritasnya. "Kita harus bisa memaksa mereka agar mereka tidak larut dalam kolusi politik dan korupsi," ujarnya.
Hanibal W.Y. Wijayanta, Sudrajat, Dimas Adityo, TNR
Para Calon yang Terpilih | ||
---|---|---|
Usulan DPR | Usulan MA | Usulan Pemerintah |
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia | Prof. Dr. Laica Marzuki, S.H. Hakim Agung/Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin | Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., L.L.M. Staf Khusus Menteri Kehakiman dan HAM Dosen FH Universitas Sriwijaya |
Letjen TNI (Purn.) Ahmad Roestandi, S.H Bekas Ketua Fraksi TNI/Polri | Sudarsono, S.H. Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya | Prof. Dr. Mukthie Fadjar, S.H Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya |
I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana | Muarar Siahaan, S.H. Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Bengkulu | H. Dr. Harjono, S.H., M.C.L. Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo