DI Desa Tande, 7 km dari Mandar (Sulawesi Selatan), ada penduduk
yang pusing kepalanya bila menelan nasi. Kenapa? Menurut cerita,
dahulu ada adat yang hanya memperbolehkan penduduk makan nasi
pada malam Jum'at. Hingga tahun 60-an, 4500 jiwa di sana belum
akrab dengan nasi. Apalagi sisa-sisa pengikut Kahar Muzakkar
pernah menakutkan, sehingga penduduk seperti terisolir dan makan
seadanya.
Hidup dalam radius 3000 kmÿFD, dulu mereka biasa menjejali perutnya
hanya dengan ubi dan pisang. Keamanan yang bertambah baik
kemudian, berangsur-angsur mengenalkan mereka pada nasi. "Saya
sendiri masuk ke kota waktu jaman gerombolan sehingga sekarang
sudah terbiasa dengan nasi," kata Basri, 34 tahun, guru SD no.9.
Ayah dari dua orang anak itu kini makan "jepa" dan "loka anjoroi"
hanya sebagai penganan. Dengan demikian dapatkah nasi dijadikan
alat pengukur perkembangan kemajuan di daerah? Untuk orang-orang
Mandar yang menghuni Kabupaten Polewali, Mamasa, Majene dan Mamuju
ternyata tidak.
Karena Gengsi
Ada seorang dukun beranak bernama Jumu. Usianya 35 tahun. Ia
pernah menjanda ditinggal suami berikut tiga anak. Sekarang ia
hidup dengan petani cengkeh bernama Basyira. Hidupnya baik. Ia
seorang dukun resmi di Tande, dengan tarif Rp 1000 setiap kali
menolong orang melahirkan. Tarif ini ditetapkan oleh Dinas
Kesehatan setempat. Sebenarnya ia tidak terlalu sulit untuk
memilih nasi sebagai makanan pokok. Almarhum suaminya, suaminya
sekarang, berikut anak-anaknya semua akrab dengan nasi. Tapi ia
sendiri kalau makan nasi jadi payah. Bisa pusing. Ia lebih doyan
dua buah pisang dan satu lempeng jepa serta air banyak-banyak
sebagai menu rutin. Dengan begitu "saya malahan jarang sakit,"
ujarnya.
Jepa adalah makanan yang tahan lama. Bahannya, ubi kayu yang
diparut, diperas, lalu dijepit dengan lempengan yang sudah
dikeraskan, lantas dipanggang. Kalau dicampur dengan kelapa,
rasanya lidah tak ingin berhenti bergoyang. Di samping tahan
lama, rasanya enak, sehingga cocok dengan orang Mandar yang
senang berlayar. Kombinasinya adalah loka anjaroi yang terbuat
dari pisang yang dimasak bersama santan kelapa. Bahan baku kedua
jenis makanan ini tersedia memenuhi kebun-kebun penduduk. Di
Majene misalnya, hamparan sawah hanya bisa ditemukan di Malunda.
Bukan karena daerah ini kering. Tapi karena pendududuk memang
tidak makan nasi.
"Bila tak makan jepa dalam sehari, rasanya tak enak," kata Kadir
yang berusia 53 tahun. Meski orang tua ini sudah berhasil
merubah menu nenek moyangnya dengan nasi, toh dia selalu
menyediakan makanan tradisionil itu sehari-hari. "Kalau cuma
nasi belum puas, musti ada jepa dan loka," kata Kepala Kampung
Purau -- Desa Tende memperkuat pernyataan itu.
Sebaliknya terjadi di Madura. Sejak 5 tahun yang terakhir ini,
penduduk berusaha untuk mengalihkan makanan pokok jagung menjadi
nasi. Ada beberapa pasal yang mendorongnya. Diperkirakan salah
satu sebabnya karena soal gengsi. Ada penduduk yang miskin
sekalipun, merasa malu dipergoki di dapur sedang menanak jagung.
"Pernah terjadi seorang penduduk Sumenep mengurungkan
pertunangannya, gara-gara calon mertuanya kedapatan menanak nasi
jagung," kata seorang penduduk di Kabupaten Sampang.
Tampaknya penduduk memang bangga kalau bisa menanak nasi. Ada
yang menyangka awal dari penukaran bahan makanan ini karena
ditularkan oleh pegawai-pegawai yang berasal dari luar Madura.
Karena pegawai masih merupakan alat pembanding, lalu penduduk
berusaha untuk mengikuti apa yang biasa dimakannya. Atau akibat
kunjungan ke luar daerah. "Dulu masih sekolah SD saya makan
jagung terus-terusan. Setelah SMA di luar Madura saya jadi
pemakan nasi. Dan ketika kembali ke Madura, makan jagung perut
rasanya mual," kata Mahfud Sidiq eks anggota DPRD Tingkat II
Bangkalan.
Kebetulan dikabarkan pula bahwa produksi jagung sekarang memang
menurun. Di Bangkalan, misalnya, harganya melejit. Sementara
beras berharga Rp 150, jagung gelondongan mencapai Rp 125 per
kilogram.
Karena kadar airnya hanya 16 prosen, banyak yang mengatakan
tubuh stabil dan keras wanita-wanita Madura lantaran jagung. Toh
jagung dicerai juga. "Habis apa yang ada di Jawa sudah menjadi
kriteria kemajuan," kata Mahfud Sidiq. "Kalau di Jawa orang yang
makan jagung dianggap tak mampu, di Madura kini berlaku ukuran
yang sama. Itu sebabnya kini rakyat pulau garam makan beras."
Karena Sexy
Mahfud Sidiq sendiri, yang kini pemakan nasi, sebenarnya setuju
kalau jagung dipertahankan sebagai makanan pokok di Madura.
Baginya dari segi gizi, mutu jagung tidak kalah dengan beras. Ia
berani bilang begitu karena diketahuinya jagung penuh kalori dan
membantu orang melakukan kerja berat. "Memang bagi orang yang
tak biasa, nggak enak makan jagung. Ini hanya soal kebiasaan.
Saya sendiri tidak biasa makan roti seperti orang Barat. Biarpun
saya lalap berpotong-potong roti dari bakery, perut rasanya
masih lapar terus," ujarnya.
Wanita-wanita Madura memang sudah terkenal sexy. Tetapi apakah
itu karena makan jagung, tidak ada berita pasti. Kalau ya,
tentulah orang tidak perlu merasa "manusia pemakan nasi" lebih
berbudaya. Toh masih ada juga seorang penduduk Desa Langkap yang
merasa perlu untuk berkata dengan bersemangat. Orang mengira
penduduk Madura makan jagung dan anti beras. Sejak dulu penduduk
suka nasi, sedangkan jagung itu hanyalah merupakan makanan
pembantu saja. Kadangkala juga dicampur beras!"
Dan beras, makanan pokok yang menimbulkan status itu, sekarang
ngacung harganya. Lho kok makanan-makanan pokok lain di daerah
tertentu ikut-ikut dikerek? Harga gaplek di daerah Magetan,
Slahung Ponorogo dan Tegal Ombo Pacitan, meningkat sejak 2 bulan
terakhir ini. Dari Rp 15 naik jadi Rp 30, kemudian Rp 50 sampai
Rp 60 per kilo. Akibatnya banyak gaplek-gaplek jelek yang
nampang di pasar. "Yah, asal tidak masam saja masih bisa dimakan
mas," kata mbok Tinem, seorang penjual makanan di Jalan Slahung,
Ponorogo.
Mbok Latmi, 40 tahun, memakan gaplek bukan karena menuruti
tradisi. Semata-mata akibat daerahnya minus. Ia seorang penjual
sayur yang miskin. Tak pernah merasakan bagaimana rasanya makan
nasi sepiring penuh tanpa campuran gaplek. Misalkan ia memiliki
cadangan beras untuk sebulan, ia akan mengatur sedemikian rupa
agar beras itu awet untuk keperluan 2 sampai 4 bulan. Di samping
demi pengiritan, makan tanpa campuran "nasi" asal gapek terasa
tidak kenyang.
Gaplek berasal dari singkong yang dikeringkan. Untuk memasaknya
jadi "nasi" memerlukan persiapan. Mbok Semi dari Desa Gemahatjo
di Kecamatan Tegal Ombo, Pacitan, menceritakan proses yang biasa
ditempuhnya. Sulit juga. Mula-mula gaplek yang bulat panjang itu
direndam dan dicuci bersih supaya lebih enak nantinya, Setelah
dijemur lagi, baru ditumpuk dalam keadaan setengah kering.
Dipisahkan yang lembut dan yang kasar, kemudian dicampur dengan
sedikit air supaya merata. Menumbuk dan merendam supaya bisa
dimakan sebagai "nasi" memerlukan kesabaran satu hari, tak boleh
buru-buru.
Setelah bahan jadi, beras lebih dahulu dimasak tersendiri.
Setelah setengah matang, kemudian dikukus bersama-sama dengan
gaplek. Gaplek yang jelek menghasilkan warna kehitam-hitaman.
Rasanya agak pahit. Tapi tidak mengandung racun. Sampai sekarang
belum ada kabar orang keracunan makan gaplek -- yang busuk
sekalipun. Karena makan seorang petani kadangkala 2 kali porsi
seorang pegawai, umumnya memakan nasi semata-mata dianggap
pemborosan. "Di samping juga menjelaskan bahwa daya beli rakyat
lemah," kata Camat setempat.
9 Bahan Pokok
Gaplek bisa disimpan sampai 3 bulan. Terlalu lama bisa bulukan,
keluar jamur. Karena itu para petani tidak suka membuat lumbung
untuk menyimpan gaplek. Hasil-hasilnya dijual langsung.
Seringkali kejadiannya jadi lucu. Karena terlalu galak menjual
barangnya, pada suatu kali petani itu sering terpaksa membeli
kembali gaplek untuk dimakan sehari-hari dari para tengkulak.
Selain dijadikan nasi imitasi, gaplek penampilannya bisa
dikembangkan dalam beberapa variasi, seperti: tiwul, kecak,
gunung rembes, gempo, gatot. Kadang-kadang ditepung untuk
melapis tempe goreng. Sebagai makanan, kekurangannya adalah
vitamin A. Karena itu camat Slahung yang membawahi 22 desa
sangat memperhatikan kebutuhan penduduk terhadap vitamin A --
karena kekurangan itu bisa mengakibatkan kebutaan. Sejak tiga
bulan terakhir Dinas Kesehatan mendrop vitamin A dalam dosis
tinggi.
Gaplek yang juga menjadi makanan pokok rakyat Gunung Kidul tidak
tercantum dalam 9 bahan pokok. Warga pemakan gaplek akan lebih
suka memilih beras, seandainya ekonomi mereka mengijinkan. Jadi
ini makanan "apa boleh buat". Kondisi tersebut agaknya juga akan
menimpa "sagu" yang jadi makanan pokok di Indonesia bagian
Timur. Karena tak tercantum dalam 9 bahan pokok, secara
psikologis orang berusaha menggantikannya dengan beras.
"Akibatnya kalau ada yang makan sagu atau gaplek, itu bukan
orang Indonesia," kata bekas Presiden Universitas Gajah Mada --
Prof. ir. Johannes yang berasal dari negeri sagu itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini