Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Yang tidak doyan nasi

Banyak rakyat indonesia yang makan jagung, gaplek, jepa, sagu, dan sebagainya. diantaranya karena tidak doyan makan nasi. nasi dipakai barometer menentukan kondisi hidup orang indoesia. (sd)

30 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Desa Tande, 7 km dari Mandar (Sulawesi Selatan), ada penduduk yang pusing kepalanya bila menelan nasi. Kenapa? Menurut cerita, dahulu ada adat yang hanya memperbolehkan penduduk makan nasi pada malam Jum'at. Hingga tahun 60-an, 4500 jiwa di sana belum akrab dengan nasi. Apalagi sisa-sisa pengikut Kahar Muzakkar pernah menakutkan, sehingga penduduk seperti terisolir dan makan seadanya. Hidup dalam radius 3000 kmÿFD, dulu mereka biasa menjejali perutnya hanya dengan ubi dan pisang. Keamanan yang bertambah baik kemudian, berangsur-angsur mengenalkan mereka pada nasi. "Saya sendiri masuk ke kota waktu jaman gerombolan sehingga sekarang sudah terbiasa dengan nasi," kata Basri, 34 tahun, guru SD no.9. Ayah dari dua orang anak itu kini makan "jepa" dan "loka anjoroi" hanya sebagai penganan. Dengan demikian dapatkah nasi dijadikan alat pengukur perkembangan kemajuan di daerah? Untuk orang-orang Mandar yang menghuni Kabupaten Polewali, Mamasa, Majene dan Mamuju ternyata tidak. Karena Gengsi Ada seorang dukun beranak bernama Jumu. Usianya 35 tahun. Ia pernah menjanda ditinggal suami berikut tiga anak. Sekarang ia hidup dengan petani cengkeh bernama Basyira. Hidupnya baik. Ia seorang dukun resmi di Tande, dengan tarif Rp 1000 setiap kali menolong orang melahirkan. Tarif ini ditetapkan oleh Dinas Kesehatan setempat. Sebenarnya ia tidak terlalu sulit untuk memilih nasi sebagai makanan pokok. Almarhum suaminya, suaminya sekarang, berikut anak-anaknya semua akrab dengan nasi. Tapi ia sendiri kalau makan nasi jadi payah. Bisa pusing. Ia lebih doyan dua buah pisang dan satu lempeng jepa serta air banyak-banyak sebagai menu rutin. Dengan begitu "saya malahan jarang sakit," ujarnya. Jepa adalah makanan yang tahan lama. Bahannya, ubi kayu yang diparut, diperas, lalu dijepit dengan lempengan yang sudah dikeraskan, lantas dipanggang. Kalau dicampur dengan kelapa, rasanya lidah tak ingin berhenti bergoyang. Di samping tahan lama, rasanya enak, sehingga cocok dengan orang Mandar yang senang berlayar. Kombinasinya adalah loka anjaroi yang terbuat dari pisang yang dimasak bersama santan kelapa. Bahan baku kedua jenis makanan ini tersedia memenuhi kebun-kebun penduduk. Di Majene misalnya, hamparan sawah hanya bisa ditemukan di Malunda. Bukan karena daerah ini kering. Tapi karena pendududuk memang tidak makan nasi. "Bila tak makan jepa dalam sehari, rasanya tak enak," kata Kadir yang berusia 53 tahun. Meski orang tua ini sudah berhasil merubah menu nenek moyangnya dengan nasi, toh dia selalu menyediakan makanan tradisionil itu sehari-hari. "Kalau cuma nasi belum puas, musti ada jepa dan loka," kata Kepala Kampung Purau -- Desa Tende memperkuat pernyataan itu. Sebaliknya terjadi di Madura. Sejak 5 tahun yang terakhir ini, penduduk berusaha untuk mengalihkan makanan pokok jagung menjadi nasi. Ada beberapa pasal yang mendorongnya. Diperkirakan salah satu sebabnya karena soal gengsi. Ada penduduk yang miskin sekalipun, merasa malu dipergoki di dapur sedang menanak jagung. "Pernah terjadi seorang penduduk Sumenep mengurungkan pertunangannya, gara-gara calon mertuanya kedapatan menanak nasi jagung," kata seorang penduduk di Kabupaten Sampang. Tampaknya penduduk memang bangga kalau bisa menanak nasi. Ada yang menyangka awal dari penukaran bahan makanan ini karena ditularkan oleh pegawai-pegawai yang berasal dari luar Madura. Karena pegawai masih merupakan alat pembanding, lalu penduduk berusaha untuk mengikuti apa yang biasa dimakannya. Atau akibat kunjungan ke luar daerah. "Dulu masih sekolah SD saya makan jagung terus-terusan. Setelah SMA di luar Madura saya jadi pemakan nasi. Dan ketika kembali ke Madura, makan jagung perut rasanya mual," kata Mahfud Sidiq eks anggota DPRD Tingkat II Bangkalan. Kebetulan dikabarkan pula bahwa produksi jagung sekarang memang menurun. Di Bangkalan, misalnya, harganya melejit. Sementara beras berharga Rp 150, jagung gelondongan mencapai Rp 125 per kilogram. Karena kadar airnya hanya 16 prosen, banyak yang mengatakan tubuh stabil dan keras wanita-wanita Madura lantaran jagung. Toh jagung dicerai juga. "Habis apa yang ada di Jawa sudah menjadi kriteria kemajuan," kata Mahfud Sidiq. "Kalau di Jawa orang yang makan jagung dianggap tak mampu, di Madura kini berlaku ukuran yang sama. Itu sebabnya kini rakyat pulau garam makan beras." Karena Sexy Mahfud Sidiq sendiri, yang kini pemakan nasi, sebenarnya setuju kalau jagung dipertahankan sebagai makanan pokok di Madura. Baginya dari segi gizi, mutu jagung tidak kalah dengan beras. Ia berani bilang begitu karena diketahuinya jagung penuh kalori dan membantu orang melakukan kerja berat. "Memang bagi orang yang tak biasa, nggak enak makan jagung. Ini hanya soal kebiasaan. Saya sendiri tidak biasa makan roti seperti orang Barat. Biarpun saya lalap berpotong-potong roti dari bakery, perut rasanya masih lapar terus," ujarnya. Wanita-wanita Madura memang sudah terkenal sexy. Tetapi apakah itu karena makan jagung, tidak ada berita pasti. Kalau ya, tentulah orang tidak perlu merasa "manusia pemakan nasi" lebih berbudaya. Toh masih ada juga seorang penduduk Desa Langkap yang merasa perlu untuk berkata dengan bersemangat. Orang mengira penduduk Madura makan jagung dan anti beras. Sejak dulu penduduk suka nasi, sedangkan jagung itu hanyalah merupakan makanan pembantu saja. Kadangkala juga dicampur beras!" Dan beras, makanan pokok yang menimbulkan status itu, sekarang ngacung harganya. Lho kok makanan-makanan pokok lain di daerah tertentu ikut-ikut dikerek? Harga gaplek di daerah Magetan, Slahung Ponorogo dan Tegal Ombo Pacitan, meningkat sejak 2 bulan terakhir ini. Dari Rp 15 naik jadi Rp 30, kemudian Rp 50 sampai Rp 60 per kilo. Akibatnya banyak gaplek-gaplek jelek yang nampang di pasar. "Yah, asal tidak masam saja masih bisa dimakan mas," kata mbok Tinem, seorang penjual makanan di Jalan Slahung, Ponorogo. Mbok Latmi, 40 tahun, memakan gaplek bukan karena menuruti tradisi. Semata-mata akibat daerahnya minus. Ia seorang penjual sayur yang miskin. Tak pernah merasakan bagaimana rasanya makan nasi sepiring penuh tanpa campuran gaplek. Misalkan ia memiliki cadangan beras untuk sebulan, ia akan mengatur sedemikian rupa agar beras itu awet untuk keperluan 2 sampai 4 bulan. Di samping demi pengiritan, makan tanpa campuran "nasi" asal gapek terasa tidak kenyang. Gaplek berasal dari singkong yang dikeringkan. Untuk memasaknya jadi "nasi" memerlukan persiapan. Mbok Semi dari Desa Gemahatjo di Kecamatan Tegal Ombo, Pacitan, menceritakan proses yang biasa ditempuhnya. Sulit juga. Mula-mula gaplek yang bulat panjang itu direndam dan dicuci bersih supaya lebih enak nantinya, Setelah dijemur lagi, baru ditumpuk dalam keadaan setengah kering. Dipisahkan yang lembut dan yang kasar, kemudian dicampur dengan sedikit air supaya merata. Menumbuk dan merendam supaya bisa dimakan sebagai "nasi" memerlukan kesabaran satu hari, tak boleh buru-buru. Setelah bahan jadi, beras lebih dahulu dimasak tersendiri. Setelah setengah matang, kemudian dikukus bersama-sama dengan gaplek. Gaplek yang jelek menghasilkan warna kehitam-hitaman. Rasanya agak pahit. Tapi tidak mengandung racun. Sampai sekarang belum ada kabar orang keracunan makan gaplek -- yang busuk sekalipun. Karena makan seorang petani kadangkala 2 kali porsi seorang pegawai, umumnya memakan nasi semata-mata dianggap pemborosan. "Di samping juga menjelaskan bahwa daya beli rakyat lemah," kata Camat setempat. 9 Bahan Pokok Gaplek bisa disimpan sampai 3 bulan. Terlalu lama bisa bulukan, keluar jamur. Karena itu para petani tidak suka membuat lumbung untuk menyimpan gaplek. Hasil-hasilnya dijual langsung. Seringkali kejadiannya jadi lucu. Karena terlalu galak menjual barangnya, pada suatu kali petani itu sering terpaksa membeli kembali gaplek untuk dimakan sehari-hari dari para tengkulak. Selain dijadikan nasi imitasi, gaplek penampilannya bisa dikembangkan dalam beberapa variasi, seperti: tiwul, kecak, gunung rembes, gempo, gatot. Kadang-kadang ditepung untuk melapis tempe goreng. Sebagai makanan, kekurangannya adalah vitamin A. Karena itu camat Slahung yang membawahi 22 desa sangat memperhatikan kebutuhan penduduk terhadap vitamin A -- karena kekurangan itu bisa mengakibatkan kebutaan. Sejak tiga bulan terakhir Dinas Kesehatan mendrop vitamin A dalam dosis tinggi. Gaplek yang juga menjadi makanan pokok rakyat Gunung Kidul tidak tercantum dalam 9 bahan pokok. Warga pemakan gaplek akan lebih suka memilih beras, seandainya ekonomi mereka mengijinkan. Jadi ini makanan "apa boleh buat". Kondisi tersebut agaknya juga akan menimpa "sagu" yang jadi makanan pokok di Indonesia bagian Timur. Karena tak tercantum dalam 9 bahan pokok, secara psikologis orang berusaha menggantikannya dengan beras. "Akibatnya kalau ada yang makan sagu atau gaplek, itu bukan orang Indonesia," kata bekas Presiden Universitas Gajah Mada -- Prof. ir. Johannes yang berasal dari negeri sagu itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus