SEKITAR 80 pemuda tampil di panggung prosenium Pusat
Penembangan Kesenian DKI, Kuningan, Jakarta, mengikuti festival
Pantomim-16-19 Juni. Gagasan mengadakan acara ini sebenarnya
sudah lama: ketika Pebruari yang lalu, dalam satu penataran
sutradara remaja, diputarkan film Marcel Marceau -- itu, biang
pantomim dari Perancis.
Boleh dibilang hanya seniman asing saja yang selama ini
mengadakan pertunjukan pantomim di Taman Ismail Marzuki:
Marceau, Rolf Scherer dari Jerman, Adam Darius dari Amerika,
sebuah grup dari Inggeris, dan yang baru-baru ini tampil di
Teater Besar Frederic Baptiste, murid Marceau. Dan dari mereka
tak banyak variasi konsep yang nampak. Hampir semuanya
menyuguhkan pantomim seperti gaya Marceau. Hanya grup dari
Inggeris yang agak lain.
Kalau ada pengaruh pantomim pada teaterawan atau penari di
Jakarta, memang tak bisa lain datang dari Marceau yang
deskriptif atau formalistis itu. Gaya ini lebih kurang hasil
orientasi pengalaman manusia dengan benda-benda sehari-hari --
peniruan realitas. Misalnya pantomim 'Orang meniup balon'. Si
aktor menirukan gerak orang meniup dengan dua tangan didekatkan
ke mulut. Kemudian mungkin dia membayangkan dirinya menjadi
balon, dengan misalnya menggembungkan tubuh. Penonton melihat
orang meniup balon dan sekaligus balon yang menggembung -- tentu
saja, yang mereka lihat sebenarnya khayal mereka sendiri.
Pantomim gaya seperti itulah yang banyak tampil dalam festival
ini -- dan juga yang berpengaruh. Selama belum ada usaha
sungguh-sungguh dan teratur, penangkapan mereka hanya bersifat
reaktif dan peniruan yang sangat fisik. Termasuk ekstra rias
dengan bedak putih, kostum dengan baju tipis putih dan sepatu.
Bisa dimengerti kalau kemudian yang ditiru hanya "ucapan" yang
gampang-gampang: menarik tali, meniti jembatan, menyalakan
rokok, menggesek biola.
Opera Cina
Padahal seni Marceau memang tidak sesederhana itu. Melihat
pantomimnya adalah melihat sosok tubuh yang plastis, bergerak
dalam ruang kosong yang sunyi. Tubuhnya adalah bermacam gerak
yang mampu menimbulkan imajinasi sendiri-sendiri. Jari-jari
tangan kanan bergetar menjadi serangga, sementara getaran jari
yang kiri menjadi alat penjepit. Atau lutut menekuk memberi
gambaran bangku, sementara dada dan bahu yang bergoyang-goyang
melengkapi satu gambaran seorang yang lagi duduk --
bergoyang-goyang di bangku. Belum lagi raut mukanya yang
menambah suasana dramatik -- jadi akhirnya tidak sekedar
menirukan realitas.
Jelas di situ dibutuhkan banyak hal: penghayatan rasa ruang,
rasa bunyi, teknik olah tubuh, misalnya.
Saat ini seperti ada gejala kegairahan menemukan sesuatu yang
baru bagi para teaterawan atau penari di Jakarta. Sebagian besar
-- kalau tidak semua -- peserta festival pantomim, datang dari
grup teater remaja. Tanpa penelusuran masalahnya lebih lanjut,
kegairahan yang menggembirakan ini bisa terjebak pada aktivitas
seni yang mungkin kelas dua dan tanpa dasar.
Pantomim sebenarnya tidak identik dengan hanya seni Marcel
Marceau, tentu saja. Dalam berbagai kebudayaan, ada pantomim.
Opera Cina dibentuk dari berbagai unsur, dan salah satu unsur
yang menonjol adalah pantomim. Juga dalam teater Bali. Juga
dalam tari-tari primitif Mentawai. Juga teater rakyat dari
daerah lain.
Misalnya Wayang Topeng dari Klaten. Dalam satu adegan, ketika
dua punakawan sedang bergurau, karena memakai topeng maka tak
mungkin mereka bicara. Mau tak mau mereka menggunakan bahasa
gerak untuk menampilkan apa yang mereka ingin nyatakan. Mereka
mampu membuat tertawa penonton karena lucunya adegan. Tapi bisa
juga memberikan rasa kagum, ketika misalnya menggambarkan
seorang yang sengsara oleh kutukan dewa.
Yang penting adalah melongok hal-hal di balik gerak-gerak rumit
pantomim, yang kelihatannya mudah ditiru. Dan bukan seperti yang
tampil dalam festival ini melihat lukisan Rusli yang hanya tiga
warna dan tiga garis, misalnya, lalu bilang: kalau hanya begitu,
saya pun bisa. Tetapi itu memang sebuah bekal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini