Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Belajar menuntun khayal

Festival pantomim yang pertama, diadakan di pusat pengembangan kesenian, kuningan, jakarta. pesertanya melimpah, kebanyakan berasal grup teater remaja. penghayatan berbagai unsur belum dikuasai. (ter)

30 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKITAR 80 pemuda tampil di panggung prosenium Pusat Penembangan Kesenian DKI, Kuningan, Jakarta, mengikuti festival Pantomim-16-19 Juni. Gagasan mengadakan acara ini sebenarnya sudah lama: ketika Pebruari yang lalu, dalam satu penataran sutradara remaja, diputarkan film Marcel Marceau -- itu, biang pantomim dari Perancis. Boleh dibilang hanya seniman asing saja yang selama ini mengadakan pertunjukan pantomim di Taman Ismail Marzuki: Marceau, Rolf Scherer dari Jerman, Adam Darius dari Amerika, sebuah grup dari Inggeris, dan yang baru-baru ini tampil di Teater Besar Frederic Baptiste, murid Marceau. Dan dari mereka tak banyak variasi konsep yang nampak. Hampir semuanya menyuguhkan pantomim seperti gaya Marceau. Hanya grup dari Inggeris yang agak lain. Kalau ada pengaruh pantomim pada teaterawan atau penari di Jakarta, memang tak bisa lain datang dari Marceau yang deskriptif atau formalistis itu. Gaya ini lebih kurang hasil orientasi pengalaman manusia dengan benda-benda sehari-hari -- peniruan realitas. Misalnya pantomim 'Orang meniup balon'. Si aktor menirukan gerak orang meniup dengan dua tangan didekatkan ke mulut. Kemudian mungkin dia membayangkan dirinya menjadi balon, dengan misalnya menggembungkan tubuh. Penonton melihat orang meniup balon dan sekaligus balon yang menggembung -- tentu saja, yang mereka lihat sebenarnya khayal mereka sendiri. Pantomim gaya seperti itulah yang banyak tampil dalam festival ini -- dan juga yang berpengaruh. Selama belum ada usaha sungguh-sungguh dan teratur, penangkapan mereka hanya bersifat reaktif dan peniruan yang sangat fisik. Termasuk ekstra rias dengan bedak putih, kostum dengan baju tipis putih dan sepatu. Bisa dimengerti kalau kemudian yang ditiru hanya "ucapan" yang gampang-gampang: menarik tali, meniti jembatan, menyalakan rokok, menggesek biola. Opera Cina Padahal seni Marceau memang tidak sesederhana itu. Melihat pantomimnya adalah melihat sosok tubuh yang plastis, bergerak dalam ruang kosong yang sunyi. Tubuhnya adalah bermacam gerak yang mampu menimbulkan imajinasi sendiri-sendiri. Jari-jari tangan kanan bergetar menjadi serangga, sementara getaran jari yang kiri menjadi alat penjepit. Atau lutut menekuk memberi gambaran bangku, sementara dada dan bahu yang bergoyang-goyang melengkapi satu gambaran seorang yang lagi duduk -- bergoyang-goyang di bangku. Belum lagi raut mukanya yang menambah suasana dramatik -- jadi akhirnya tidak sekedar menirukan realitas. Jelas di situ dibutuhkan banyak hal: penghayatan rasa ruang, rasa bunyi, teknik olah tubuh, misalnya. Saat ini seperti ada gejala kegairahan menemukan sesuatu yang baru bagi para teaterawan atau penari di Jakarta. Sebagian besar -- kalau tidak semua -- peserta festival pantomim, datang dari grup teater remaja. Tanpa penelusuran masalahnya lebih lanjut, kegairahan yang menggembirakan ini bisa terjebak pada aktivitas seni yang mungkin kelas dua dan tanpa dasar. Pantomim sebenarnya tidak identik dengan hanya seni Marcel Marceau, tentu saja. Dalam berbagai kebudayaan, ada pantomim. Opera Cina dibentuk dari berbagai unsur, dan salah satu unsur yang menonjol adalah pantomim. Juga dalam teater Bali. Juga dalam tari-tari primitif Mentawai. Juga teater rakyat dari daerah lain. Misalnya Wayang Topeng dari Klaten. Dalam satu adegan, ketika dua punakawan sedang bergurau, karena memakai topeng maka tak mungkin mereka bicara. Mau tak mau mereka menggunakan bahasa gerak untuk menampilkan apa yang mereka ingin nyatakan. Mereka mampu membuat tertawa penonton karena lucunya adegan. Tapi bisa juga memberikan rasa kagum, ketika misalnya menggambarkan seorang yang sengsara oleh kutukan dewa. Yang penting adalah melongok hal-hal di balik gerak-gerak rumit pantomim, yang kelihatannya mudah ditiru. Dan bukan seperti yang tampil dalam festival ini melihat lukisan Rusli yang hanya tiga warna dan tiga garis, misalnya, lalu bilang: kalau hanya begitu, saya pun bisa. Tetapi itu memang sebuah bekal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus