Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kuba, senegal dan iran

Pengamatan koresponden tempo di paris, terhadap 3 buah film dari dunia ketiga yang menarik, dalam festival film cannes. masing-masing dari kuba, senegal dan iran. (fl)

30 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KORESPONDEN TEMPO di Paris, Noorca M. Massardi, sampai ke Cannes setelah menempuh 12 jam perjalanan kereta api. Di bawah ini catatan pengamatannya terhadap 3 buah film dari Dunia Ketiga yang menarik dalam festival dunia itu. Produksi ICAIC La Havane Cuba, disutradarai Tomas Gutierrez Alea, berdasar skenario yang dibuatnya bersama Antonio Benitez. Panjangnya 130 menit -- dan merupakan film peserta yang paling santai karena lelucon hitamnya. Ini sebuah parodi yang dimulai di saat kemenangan revolusi Kuba, 1 Januari 1959. Dari sekian banyak golongan borjuis yang tumbang atau melarikan diri, ada satu keluarga yang mencoba bertahan. Mereka tinggal di sebuah rumah besar dengan pekarangan tertutup, mengisolir diri bersama puluhan pelayan yang masih setia. Dalam kurungan itu mereka tetap hidup dalam kultur serta "tata cara borjuis". Satu saat, uang lama diganti dengan uang baru. Dan kesulitan mulai pecah karena simpanan makanan dan barang habis. Para pelayan pun berontak -- mereka mengambil apa saja yang mereka sukai. Seorang dari keluarga itu kemudian bertindak keras semua pelayan, begitulah ceritanya, dijadikan budak di bawah ancaman senjata. Mereka dirantai, disuruh menanam kentang dan sayur. Ketika kemudian budak-budak itu berhasil lolos, keluarga borjuis terpaksa berjuang sendirian. Tapi seorang anggota keluarga perempuan lebih suka bunuh diri daripada, konon, harus menanam kentang. Satu per satu mereka menemui ajal --sementara jas dan dasi kupu-kupu diceritakan tak pernah ditanggalkan, bahkan tatkala mereka makan daging salah satu anggota keluarga. Dihajar oleh kelaparan, mereka memang saling bunuh-membunuh. Akhirnya rumah mirip sarang hantu. Film ini benar-benar hitam. Tanpa slogan, tanpa pindah lokasi, sedikit nyikut golongan Katolik, nyaris menjadi film yang baik kalau saja editingnya tidak longgar. Gambar juga terkadang kabur, sementara penyutradaraannya kurang kompak. Film ini tak berhasil mendapat hadiah. Fad'jal (Pohon Pertama) Film Senegal, berdasar skenario dan penyutradaraan Safi Faye. Wanita yang juga merangkap produser ini berangkat dari tradisi kuno: bahwa di Afrika orang tua yang mati sama artinya dengan sebuah perpustakaan yang terbakar. Bertolak dari situ Safi Faye memulai dongengnya. Sekelompok anak berkumpul, dan seorang tua bercerita tentang Fad'jal, tokoh yang mendirikan kampung perjuangannya. Dengan teknik sangat elementer, film ini cukup menjemukan. Ia hanya layak dicatat karena menyumbangkan informasi etnis dan sosiologis. Saiehaieh Bolan de Bas (Bayang-bayang Angin) Inilah sebuah film simbolik yang berakhir dengan sebuah konklusi. Sutradara Iran, Bahman Farmanara, membuat skenarionya bersama Houshang Golshiri. Yang terakhir ini adalah pengarang The First Innocent, sumber film ini. Dibuat di bawah rezim Syah dulu, film yang dimainkan dengan baik oleh Faramarz Gharibian, Said Nikpour, Hossein Kasbian, Atas Khayer, Fereidun Yousefi dan Malihe Nazari ini, ternyata dilarang diputar di Iran. Meskipun Bahman berharap kira-kira bulan Oktober nanti mudah-mudahan bisa beredar. Adalah sebuah desa di sebuah benteng lama. Abdullah, sopir bis yang menghubungkan desa itu dengan desa lainnya, suatu hari iseng membuat orang-orangan pengusir burung -- di ladang. Bentuk muka patung kayu itu dibuat persis tampangnya sendiri Suatu hari, seorang nenek jatuh pingsan di depan orang-orangan itu. Seperti ada kekuatan gaib datang dari sang patung. Esoknya, kejadian serupa terulang. Akhirnya penduduk desa mulai ngeri. Abdullah, yang tahu betul bahwa patung yang dibuatnya hanya kayu belaka, tak bisa percaya. Tapi desa di padang pasir itu sudah keburu dicengkeram tirani sang patung. Setiap malam mereka mengunci pintu rapat-rapat -- toh bunyi langkah sang patung terdengar sethldak demi setindak. Banvak orangmenjadi korban, walaupun di siang hari orang-orangan itu tak bergerak dari tempatnya. Akhirnya penduduk berusaha mengusir tiran itu. Puluhan patung sejenis dibuat. Dan dalam satu pembakaran kolosal, rakyat dengan panji-panji merah dan pakaian merah seluruhnya, membakar patung-patung tersebut. Esok harinya, patung yang pertama ternyata masih tetap bercokol. Dan korban bertambah lagi. Akhirnya Abdullah dan Mohamad, guru, yang tahu betul bahwa patung itu cuma kayu, berniat meruntuhkan 'tiran' tersebut. Suatu malam, Abdullah pergi sendirian. Tapi ia kalah. Jari-jari kakinya ditumbuk oleh orang-orangan tersebut. Abdullah berhasil diselamatkan, tapi ketika ia menolak untuk dipotong kakinya, ia meninggal. Tinggallah kini Mustafa yang tahu kebenaran itu, sendirian. Dan ia tetap bertekad menentang kekuasaan tirani si orang-orangan. "Karena mereka yang tahu dari mana datangnya angin, tak akan takut oleh 'bayang-bayangnya," katanya. Film ini dibuat dengan kesadaran berpuisi. Dengan kecantikan gambar-gambarnya ia pun mampu menghadirkan ketegangan yang panjang. Tapi film yang 104 menit ini pasti akan membosankan bila tak disertai editing dan gambar yang baik. "Saya tak hanya melambangkan kediktatoran Syah dulu, tapi juga tirani golongan agama. Sebenarnya yang hendak saya tampilkan adalah kekuasaan absolut golongan agama yang begitu kuat pengaruhnya terhadap kehidupan. Tapi Syah rupanya salah terima. Film ini malah dilarang," kata Bahman selesai proyeksi. Anehnya, toh Bahman berharap, semoga film ini, yang dibuka dengan nyanyian, sebuah lorong yang panjang disertai salawat nabi, lalu sebuah kursi dengan pedang di atasnya, plus kesunyian, bisa juga diterima oleh rezim Khomeiny. Bukan saja karena pada waktu Syah dulu ia sudah dilarang. Tapi juga karena sebenarnya ia tidak harus dianggap jelas menggambarkan apa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus