KORESPONDEN TEMPO di Paris, Noorca M. Massardi, sampai ke Cannes
setelah menempuh 12 jam perjalanan kereta api. Di bawah ini
catatan pengamatannya terhadap 3 buah film dari Dunia Ketiga
yang menarik dalam festival dunia itu.
Produksi ICAIC La Havane Cuba, disutradarai Tomas Gutierrez
Alea, berdasar skenario yang dibuatnya bersama Antonio Benitez.
Panjangnya 130 menit -- dan merupakan film peserta yang paling
santai karena lelucon hitamnya.
Ini sebuah parodi yang dimulai di saat kemenangan revolusi Kuba,
1 Januari 1959. Dari sekian banyak golongan borjuis yang tumbang
atau melarikan diri, ada satu keluarga yang mencoba bertahan.
Mereka tinggal di sebuah rumah besar dengan pekarangan tertutup,
mengisolir diri bersama puluhan pelayan yang masih setia.
Dalam kurungan itu mereka tetap hidup dalam kultur serta "tata
cara borjuis". Satu saat, uang lama diganti dengan uang baru.
Dan kesulitan mulai pecah karena simpanan makanan dan barang
habis. Para pelayan pun berontak -- mereka mengambil apa saja
yang mereka sukai. Seorang dari keluarga itu kemudian bertindak
keras semua pelayan, begitulah ceritanya, dijadikan budak di
bawah ancaman senjata. Mereka dirantai, disuruh menanam kentang
dan sayur.
Ketika kemudian budak-budak itu berhasil lolos, keluarga borjuis
terpaksa berjuang sendirian. Tapi seorang anggota keluarga
perempuan lebih suka bunuh diri daripada, konon, harus menanam
kentang. Satu per satu mereka menemui ajal --sementara jas dan
dasi kupu-kupu diceritakan tak pernah ditanggalkan, bahkan
tatkala mereka makan daging salah satu anggota keluarga.
Dihajar oleh kelaparan, mereka memang saling bunuh-membunuh.
Akhirnya rumah mirip sarang hantu.
Film ini benar-benar hitam. Tanpa slogan, tanpa pindah lokasi,
sedikit nyikut golongan Katolik, nyaris menjadi film yang baik
kalau saja editingnya tidak longgar. Gambar juga terkadang
kabur, sementara penyutradaraannya kurang kompak. Film ini tak
berhasil mendapat hadiah.
Fad'jal (Pohon Pertama)
Film Senegal, berdasar skenario dan penyutradaraan Safi Faye.
Wanita yang juga merangkap produser ini berangkat dari tradisi
kuno: bahwa di Afrika orang tua yang mati sama artinya dengan
sebuah perpustakaan yang terbakar. Bertolak dari situ Safi Faye
memulai dongengnya. Sekelompok anak berkumpul, dan seorang tua
bercerita tentang Fad'jal, tokoh yang mendirikan kampung
perjuangannya. Dengan teknik sangat elementer, film ini cukup
menjemukan. Ia hanya layak dicatat karena menyumbangkan
informasi etnis dan sosiologis.
Saiehaieh Bolan de Bas (Bayang-bayang Angin)
Inilah sebuah film simbolik yang berakhir dengan sebuah
konklusi. Sutradara Iran, Bahman Farmanara, membuat skenarionya
bersama Houshang Golshiri. Yang terakhir ini adalah pengarang
The First Innocent, sumber film ini.
Dibuat di bawah rezim Syah dulu, film yang dimainkan dengan baik
oleh Faramarz Gharibian, Said Nikpour, Hossein Kasbian, Atas
Khayer, Fereidun Yousefi dan Malihe Nazari ini, ternyata
dilarang diputar di Iran. Meskipun Bahman berharap kira-kira
bulan Oktober nanti mudah-mudahan bisa beredar.
Adalah sebuah desa di sebuah benteng lama. Abdullah, sopir bis
yang menghubungkan desa itu dengan desa lainnya, suatu hari
iseng membuat orang-orangan pengusir burung -- di ladang. Bentuk
muka patung kayu itu dibuat persis tampangnya sendiri Suatu
hari, seorang nenek jatuh pingsan di depan orang-orangan itu.
Seperti ada kekuatan gaib datang dari sang patung. Esoknya,
kejadian serupa terulang.
Akhirnya penduduk desa mulai ngeri. Abdullah, yang tahu betul
bahwa patung yang dibuatnya hanya kayu belaka, tak bisa percaya.
Tapi desa di padang pasir itu sudah keburu dicengkeram tirani
sang patung. Setiap malam mereka mengunci pintu rapat-rapat --
toh bunyi langkah sang patung terdengar sethldak demi setindak.
Banvak orangmenjadi korban, walaupun di siang hari orang-orangan
itu tak bergerak dari tempatnya.
Akhirnya penduduk berusaha mengusir tiran itu. Puluhan patung
sejenis dibuat. Dan dalam satu pembakaran kolosal, rakyat dengan
panji-panji merah dan pakaian merah seluruhnya, membakar
patung-patung tersebut. Esok harinya, patung yang pertama
ternyata masih tetap bercokol. Dan korban bertambah lagi.
Akhirnya Abdullah dan Mohamad, guru, yang tahu betul bahwa
patung itu cuma kayu, berniat meruntuhkan 'tiran' tersebut.
Suatu malam, Abdullah pergi sendirian. Tapi ia kalah. Jari-jari
kakinya ditumbuk oleh orang-orangan tersebut. Abdullah berhasil
diselamatkan, tapi ketika ia menolak untuk dipotong kakinya, ia
meninggal. Tinggallah kini Mustafa yang tahu kebenaran itu,
sendirian. Dan ia tetap bertekad menentang kekuasaan tirani si
orang-orangan. "Karena mereka yang tahu dari mana datangnya
angin, tak akan takut oleh 'bayang-bayangnya," katanya.
Film ini dibuat dengan kesadaran berpuisi. Dengan kecantikan
gambar-gambarnya ia pun mampu menghadirkan ketegangan yang
panjang. Tapi film yang 104 menit ini pasti akan membosankan
bila tak disertai editing dan gambar yang baik.
"Saya tak hanya melambangkan kediktatoran Syah dulu, tapi juga
tirani golongan agama. Sebenarnya yang hendak saya tampilkan
adalah kekuasaan absolut golongan agama yang begitu kuat
pengaruhnya terhadap kehidupan. Tapi Syah rupanya salah terima.
Film ini malah dilarang," kata Bahman selesai proyeksi.
Anehnya, toh Bahman berharap, semoga film ini, yang dibuka
dengan nyanyian, sebuah lorong yang panjang disertai salawat
nabi, lalu sebuah kursi dengan pedang di atasnya, plus
kesunyian, bisa juga diterima oleh rezim Khomeiny. Bukan saja
karena pada waktu Syah dulu ia sudah dilarang. Tapi juga karena
sebenarnya ia tidak harus dianggap jelas menggambarkan apa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini