Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Suatu hari pada akhir tahun 1936, Frits Julius Wissel seorang pilot Angkatan Laut Kerajaan Belanda terbang di atas Paniai. Burung besi yang melintas itu, membuat Suku Mee, Papua, kaget luar biasa. Mereka belum pernah melihat pesawat terbang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pesawat itu sontak menimbulkan aroma kepanikan yang luar biasa di antara orang-orang Suku Mee. Mereka yang sedang berkebun atau sedang memancing di danau berompatan. Bahkan para wanita yang memancing di perahu melopat ke air,” ujar arkeolog Hari Suroto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat Wissel mendarat di tengah-tengah mereka, para Suku Mee seperti melihat sosok yang agung. Mungkin mereka seperti terhubung dengan leluhur atau dunia lain. Tapi, Suku Mee menyambut Wissel dengan baik. Sebagai tanda hormat, danau-danau di Paniai diberi nama Danau Wissel.
Nama tersebut bertahan untuk jangka waktu lama. Pada saat pemerintah Indonesia mengambil alih daerah Papua dari Belanda, nama Danau Wissel pun otomatis diganti menjadi nama dalam bahasa Indonesia. Tiga danau yang dulunya disebut Danau Wissel, adalah Danau Paniai, Danau Tigi, dan Danau Tage. Di antara ketiga danau tersebut, Danau Paniai adalah yang terluas – dan paling elok.
Dari Wissel, dunia mendengar kabar mengenai Suku Mee yang terisolasi dan masih hidup dalam suasana prasejarah kala dunia memasuki abad 20. Suku Mee salah satu suku terbesar di Papua, mendiami wilayah yang membentang di Kabupaten Dogiyai, Kabupaten Deyai dan Kabupaten Paniai.
“Cerita rakyat yang dipercaya oleh Suku Mee adalah nenek moyang mereka pada masa prasejarah bermigrasi dari arah timur, dari Pupupapa atau Gua besar (Pagimo Peku) di Lembah Baliem,” imbuh Hari Suroto. Mereka secara luas mendiami wilayah Wisselmeren yang meliputi kawasan Danau Paniai, Danau Tigi, Danau Tage, Lembah Kammu, Mapia hingga Uwapa di Nabire.
Kumpulan batuan Karst yang membentuk menara tinggi di sebuah sungai yang dipenuhi tumbuhan di pinggiran danau Paniai, Papua. Kumpulan batuan ini terjaga keasriannya karena penduduk mengangapnya sebagai tempat keramat. Tempo/Rully Kesuma
Saat mengunjunginya, Wissel melihat warga Suku Mee hidup dari alam yang masih asri. Mereka melayari danau dengan perahu dan bercocok tanam mengunakan alat kayu runcing dan mencari ikan dengan kulit kayu.
Suku Mee di Dogiyai memiliki sistem kekerabatan menurut garis bapak (naitai), artinya anak laki bila dewasa sewaktu-waktu dapat berperan sebagai penentu kebijakan pengganti bapaknya dalam hal adat, semisal terlibat dalam membuka kebun hingga terlibat dalam urusan pernikahan saudara perempuannya.
Suku Mee pada masa lalu, berkebun secara berpindah-pindah, “Mereka menempati daerah yang dapat menopang hidupnya dan tak menggunakan lahan di wilayah yang sudah dimiliki klan lain. Bahkan, walaupun mereka satu klan tetapi jika tidak segaris tetap ada aturan yang harus dilalui melalui perjanjian antar mereka,” ujar Hari. Pelanggaran terhadap perjanjian tersebut bisa dikenai sanksi adat.
Untuk memenuhi kehidupannya, mereka juga berburu hewan di hutan, menanam ubi jalar (nota), keladi (nomo), memelihara babi (ekina) dan mencari ikan danau.
Masyarakat Mee umumnya mengenal sistem pertanian berladang yang dikenal dengan nama bugi. Dalam sistem agraris itu, mereka mengenal pembagian tugas dalam berladang. Para lelaki bertugas membuka ladang dan membuat pagar melingkari ladang tersebut. Suku Mee mengenal beragam jenis pagar dengan berbagai bahan kayu, sesuai peruntukan pagar. Untuk kaum wanita bertugas menanam, merawat dan mengambil hasilnya.
Jenis tumbuhan yang biasa mereka tanam adalah umbi-umbian, sayuran dan pisang tetapi yang utama adalah menanam umbi sejenis petatas (nota). Sebelum menanam mereka memotong babi sebagai tanda penghormatan terhadap tanah (makitiya) yang akan ditanami -- ritual yang disebut sebagai emo meni. Saat panen, mereka makan bersama melalui acara bakar batu.
Dalam sistem kepercayaan mereka di masa lalu, mereka meyakini bahwa kehidupan maupun kematian adalah karunia Tuhan (ugatame) sehingga hidup harus dijaga hingga tua. Masyarakat Suku Mee menganggap jika mati di usia tua berarti hidup dalam kewajaran, tetapi jika mati dalam usia muda dianggap adanya perbuatan roh jahat (eniya) dengan pengaruh magi hitam (kegoai).
Gereja Santa Maria Bunda Rosario tempat ibadah Suku Mee di Kabupaten Dogiyai. Foto: Hari Suroto
Sebelum mengenal penguburan secara Kristen, warga yang meninggal (Mee Bokai), diletakkan pada para-para gubuk di atas pohon, yang letaknya di hutan khusus dengan posisi mayat duduk. Jenazah Suku Mee di masa lampau tak dikubur, karena mereka meyakini kesuburan tanah akan rusak karena dianggap terkena najis. Masa berkabung untuk laki-laki selama seminggu dan untuk perempuan masa berkabungnya selama enam hari.
Setelah masa berkabung mereka yakin arwah yang meninggal sudah kembali ke tenewouda atau dunia arwah. Masyarakat Suku Mee meyakini dalam hidup ini ada tiga dunia yaitu dunia ketenangan milik para arwah (epawado), dunia kesibukan milik manusia (makii) dan dunia kejahatan milik para roh jahat (makii miyoo).
Mereka juga meyakini, warga yang meninggal dengan menunjukan gigi atau tersenyum keluarga yang ditinggalkan akan banyak berkat. Tapi, bila yang meninggal bermuka sedih atau cemberut, Suku Mee berkeyakinan keluarga yang ditinggalkan bakal mengalami kesulitan.
Tanda ini bisa dilihat karena wajah warga yang meninggal, menghadap jendela gubuk. Cara seperti ini dibuat dengan harapan antara si mati dengan keluarga tetap terjalin hubungan. Selain diletakan pada gubuk di atas pohon, mayat juga ada yang ditanam dengan kepala dibiarkan di atas tanah. Mayat tersebut diberi peneduh alang-alang dan dipagari. Cara penguburan seperti ini biasanya berlaku bagi anak-anak.
Kopi
Selain memiliki budaya yang unik, Suku Mee juga merupakan petani kopi arabika. Mereka menanamnya di wilayah Kabupaten Dogiyai, Papua. Bahkan, kopi arabika terbaik di Indonesia salah satunya berasal dari Dogiyai lebih dikenal dengan nama kopi moanemani.
“Moanemani merupakan jenis kopi arabika yang ditanam secara organik oleh petani tradisional suku Mee, di Distrik Mapia, Kabupaten Dogiyai, Papua. Kopi ini sangat terkenal bagi penikmat kopi di Eropa dan Amerika,” kata Hari.
Kopi moanemani biasanya ditanam di kebun dekat hutan, lereng bukit, maupun pekarangan rumah mereka. Kopi ini pada awalnya diperkenalkan oleh misionaris pada tahun 1960-an. Saat pesawat-pesawat kecil pengantar logistik tiba di Dogiyai, mereka balik ke Nabire dengan keadaan kabin kosong.
Lalu para misionaris dan pilot berpikir komoditas bernilai tinggi yang bisa untuk mengisi pesawat yang kosong. Dan sebisa mungkin, logistik tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk pedalaman. Lalu terpikirlah menamam kopi.
Kenikmatan kopi moanemani diperoleh dari kesuburan tanah dan alam di sekitar kebun, yang berada di ketinggian 1.000 hingga 2.000 meter di atas permukaan laut, maka kopi jenis arabika yang dipilih. Secara genetis, kopi arabika yang ditanam di Dogiyai, bibitnya didatangkan dari Papua Nugini.
Suku Mee menamam kopi jenis arabika yang disebut kopi moanemani yang ditanam di ketinggian 1.000-2.000 mdpl. Indukan kopi moanemani berasal dari Papua Nugini, yang asalnya dari kopi Jamaika Blue Mountains. Foto: Heru Sutoro
Sementara kopi Papua Nugini yang jadi indukan tersebut, bibitnya didatangkan langsung dari Kingston, Jamaika. Sehingga kualitasnya tidak jauh beda dengan kopi Jamaica Blue Mountains, jenis kopi arabika premium terbaik di dunia.
HARI SUROTO