Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peringatan malam 1 Suro yang biasanya dilakukan masyarakat Jawa harus berjalan dengan khusyuk melalui laku tirakat, lek-lekan, atau tidak tidur satu malam penuh. Ritual ini dilakukan secara individu untuk membersihkan diri secara lahir batin, melakukan introspeksi, dan mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan pemilik semesta.
Saat bulan Suro tiba, masyarakat Jawa memiliki keyakinan untuk selalu eling dan hati-hati. Eling berarti masyarakat Jawa harus selalu ingat siapa dirinya dan kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sementara itu, hati-hati dipahami sebagai manusia yang harus terjaga dan waspada dari godaan menyesatkan.
Secara bahasa, Suro berasal dari bahasa arab, yaitu asyura yang berarti kesepuluh atau jatuh pada 10 Muharram. Menurut ajaran Islam, Suro diyakini sebagai bulan Muharram oleh mayoritas masyarakat Islam Pulau Jawa yang memiliki makna sangat penting. Lalu,
Masyarakat Jawa biasanya mengucapkan asyura menjadi Suro yang menjadi khazanah Islam-Jawa asli sebagaimana tertuang bulan pertama dalam kalender Jawa. Selain itu, menurut kepercayaan Islam-Jawa, Suro memiliki arti penting sebagai 10 hari pertama bulan Suro yang dianggap paling keramat dan jatuh pada tanggal 1 sampai 8. Arti keramat ini terjadi karena budaya keraton Jawa.
Secara etimologis, Muharram berarti bulan paling mulia yang berhubungan erat dengan realitas empirik dan simbolik. Sebab, bulan ini penuh dengan berbagai peristiwa besar, seperti sejarah para nabi dan rasul Allah. Muharram merupakan nama bulan pertama dalam sistem penanggalan Hijriyah yang juga menjadi Tahun Baru Islam.
Muharram atau Suro merupakan salah satu dari empat bulan haram. Penamaan Muharram memiliki dua makna berbeda. Pertama, pada Muharram atau Suro, seseorang diharamkan melakukan pembunuhan. Kedua, pada bulan tersebut, seseorang juga dilarang melakukan perbuatan haram yang lebih ditekankan daripada bulan lainnya karena dianggap bulan mulia.
Merujuk AL IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan, dalam tradisi Jawa, Suro dianggap sebagai waktu yang tepat untuk melakukan introspeksi diri selama satu tahun perjalanan hidupnya di dunia. Kalender Jawa versi Sultan Agung dimulai pada 1 Suro tahun Alip 1555 yang bertepatan pada 1 Muharram 1043 Hijriyah.
Penentuan tahun baru Jawa pada kalender Sultan Agung diberlakukan mulai 8 Juli 1633 Masehi sehingga tahun Jawa pada Kalender Saka berakhir pada 1554 Masehi. Kalender Saka yang sesuai sistem perjalanan matahari mengelilingi bumi (Syamsiyah). Sementara itu, kalender Sultan Agung mengikuti sistem perjalanan bulan mengelilingi bumi (Qomariyah), seperti kalender Hijriyah.
Kalender Jawa versi Sultan Agung yang digunakan sampai sekarang dan menjadi bentuk asimilasi dari tiga budaya, yaitu Islam, Hindu, dan Jawa. Dengan demikian, dalam kalender ini menggunakan sistem kalender Hijriah, tetapi dalam penulisan angka tahun memakai kalender Saka.
Malam 1 Suro biasanya diperingati setelah magrib karena pergantian tanggal atau hari Jawa ketika matahari terbenam dari hari sebelumnya. Biasanya, dalam peringatan malam 1 Suro, keraton melakukan berbagai ritual yang dilaksanakan setiap tahunnya. Selain itu, terdapat pula beragam sesajen yang merupakan wujud dari budaya animisme dan dinamisme.
Pilihan Editor: Rayakan Tahun Baru Islam 1 Muharram dengan Download 83 Link Twibbon Ini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini