Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA hari setelah mendaki puncak Gunung Halau-Halau, saya menyaksikan ritual adat aruh basambu di Desa Kiyu, Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, pada 31 Desember 2023. Ini adalah ritual yang digelar masyarakat setempat agar padi yang mereka tanam bisa menghasilkan panen yang berlimpah. Ritual tersebut juga dilakukan sebagai upaya menolak bala.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ritual aruh basambu berlangsung di dua tempat. Pada pagi atau siang, ritual diadakan di ladang masing-masing. Pada malam hingga menjelang fajar, Balai Adat menjadi lokasi ritual. Praktis hari itu semua warga desa di kaki Gunung Halau-Halau, yang berpenduduk sekitar 200 jiwa, bersiap menggelar ritual.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Demi menjaga kesakralan aruh basambu, jalur pendakian ke Gunung Halau-Halau pun ditutup selama lima hari. Terdapat aturan adat setempat yang melarang kegiatan di hutan sekitar Desa Kiyu dan Gunung Halau-Halau selama ritual berlangsung.
Pagi itu, dengan ditemani Dayat, seorang pemandu, saya mengunjungi rumah Maribut yang tengah bersiap melakukan ritual basambu di ladangnya. Maribut keluar dari rumah kayunya dan berjalan menuju tempat sesaji berbentuk seperti menara mini berbahan bambu yang berada di tengah ladang.
Di atas tempat berhias janur kuning itu terdapat beberapa sesaji, seperti air, bubur, dan lemang. Maribut kemudian mulai berdoa sambil memegang ayam yang akan disembelih sebagai seserahan. Darah ayam yang telah disembelih lalu dipercikkan dengan jari ke arah padi. Setelah itu, Maribut berjalan mengelilingi tempat sesaji sambil merapalkan doa.
Terakhir, ia menyemburkan air suci dari mulutnya ke padi sebagai simbol agar padi tumbuh subur dan memberi berkah panen kepada petani. Seusai ritual, saya sebagai tamu mendapat lemang. Rasanya gurih dan sedap.
Tetua adat, Makurban, yang saya temui seusai ritual di ladang Maribut, menuturkan bahwa pada dasarnya aruh basambu adalah ritual tolak bala. “Dalam arti kami memanggil roh-roh leluhur yang ada di alam gaib untuk menyelamatkan kita,” kata Makurban.
Jika ada pengunjung yang melanggar, seperti mendaki Gunung Halau-Halau, ritual untuk menolak bala itu menjadi terganggu dan warga bisa sakit serta rezekinya berkurang.
Karena itu, tutur Makurban, ada denda adat satu piring kaca yang disebut tahil bagi tiap pendaki yang melanggar. Satu tahil harus diserahkan dengan uang senilai Rp 1,2 juta yang nantinya diberikan kepada Balai Adat untuk digunakan dalam keperluan upacara adat lain.
Tempat sesaji dalam ritual Aruh Basambuh, di Desa Kiyu, Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, 31 Desember 2023/Handewi Pramesti
Sejarawan dan peneliti budaya Kalimantan Selatan, Hairiyadi, mengatakan masyarakat Pegunungan Meratus kaya akan ritual. Ritual-ritual yang mereka lakukan umumnya berhubungan erat dengan mata pencarian. Salah satunya aruh basambu.
“Apabila pelaksanaannya secara pribadi atau keluarga di ladang pribadi tidak disebut aruh, melainkan ritual basambu. Namun apabila dilakukan di Balai Adat dan dihadiri banyak warga, disebut aruh,” kata dosen purnabakti Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, ini.
Hairiyadi menjelaskan, aruh berarti “pesta” dan basambu artinya “isi padi”. Maksudnya, pesta yang digelar ketika padi mulai berisi.
“Aruh basambu merupakan ritual untuk memohon kepada leluhur agar padi yang ditanam bisa tumbuh bagus dengan menyertakan juga janji kepada leluhur bahwa setelah padi makin berisi akan diadakan aruh atau pesta panen,” ujarnya.
Masyarakat Pegunungan Meratus, tutur Hairiyadi, percaya bahwa padi bersifat sakral. “Sebab, dari padilah ada darah, daging dan tulang manusia,” ucapnya.
Hairiyadi menambahkan, salah satu rangkaian ritual aruh basambu adalah masa pamali. Selama masa ini, warga dilarang menebang pohon, menangkap ikan di sungai, bahkan bekerja.
“Pamali berlaku bagi semua orang yang berada di kawasan yang sedang mengadakan aruh basambu,” tuturnya. “Jika dilanggar, dipercayai akan menjadi mudarat bagi masyarakat, seperti masyarakat bisa sakit atau padi bisa rusak.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Menolak Bala dan Memuliakan Padi"