Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KISAH Umar bin Abdul Aziz saat menerima anaknya untuk membicarakan masalah keluarga cukup dikenal dalam masyarakat Islam. Umar bertanya kepada anaknya apakah masalah yang akan dibicarakan menyangkut negara atau keluarga. Saat anaknya menjawab hendak membicarakan masalah keluarga, Umar mematikan lampu penerangan. Lalu ketika anaknya bertanya kenapa lampu dimatikan, Umar menjawab: “Anakku, lampu itu ayah pakai untuk bekerja sebagai pejabat negara. Lampu itu dibeli dengan uang negara, sedangkan engkau datang ke sini untuk membahas urusan keluarga kita.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Khalifah Umar bin Abdul Aziz benar-benar sosok yang arif dan bijaksana. Karakter terpuji lain dari Umar bin Abdul Aziz adalah suka mendengarkan petuah dan nasihat kebaikan dari siapa pun. Kisah ini tebersit saat mendengar pengamat politik Eep Saefulloh Fatah dalam satu wawancara menyampaikan betapa seorang pemimpin diharapkan meninggalkan legasi dengan nama yang terhormat, bermartabat, dan khusnul khatimah. Dia diharapkan dapat memilah hal yang menjadi kepentingan keluarga dengan kemaslahatan masyarakat banyak. Eep menyampaikan, sekiranya hal itu belum disadari, dia berdoa agar sang pemimpin memperoleh hidayah dan menyadari kedudukannya sebagai pemangku amanah masyarakat banyak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setiap pemimpin pasti akan dibandingkan dengan pendahulu-pendahulunya, baik dari sisi kebaikan maupun kekurangannya. Saya teringat hal yang dikenal di Amerika Serikat mengenai presiden mereka. Presiden yang kinerjanya cemerlang dalam masa pemerintahan pertama saat memperoleh kesempatan menjalani masa pemerintahan kedua ternyata kinerja dan kredibilitasnya anjlok di mata publik. Hanya Bill Clinton dan Ronald Reagan yang periode keduanya bagus. Masyarakat Amerika Serikat tidak menilai peristiwa perselingkuhan Clinton sebagai faktor yang mengurangi penilaian kinerjanya sebagai seorang presiden.
Menurut Eep, demokrasi yang sehat adalah kemauan serta kelapangan dada seorang pemimpin dalam menerima masukan, termasuk kritik. Masyarakatnya pun bebas dari rasa takut serta rasa terancam keselamatannya. Semoga hal inilah yang berkembang dalam masa yang tersisa sangat pendek menjelang pemilihan presiden 2024.
Hadisudjono Sastrosatomo
Jakarta
Hubungan Bung Karno dan Buya Hamka
PASANG-SURUTNYA hubungan presiden pertama Bung Karno dengan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia 1975-1981, Buya Hamka, selalu menjadi inspirasi. Para tokoh politik di negeri kita pada era sekarang seharusnya meneladankan dua tokoh besar bangsa Indonesia tersebut. Keduanya terlibat perbedaan tajam sampai Buya Hamka harus menghabiskan waktu di penjara selama dua setengah tahun. Sekeluar dari penjara, Buya Hamka sama sekali tidak memendam dendam kepada Bung Karno. Hamka malah bersyukur karena selama di penjara ia bisa menyelesaikan buku Tafsir Al-Azhar yang legendaris.
Sebaliknya, Bung Karno tetap menaruh hormat kepada Buya Hamka. Bahkan Bung Karno sampai berwasiat, bila ia meninggal nanti, yang memimpin salat jenazahnya adalah Buya Hamka. Ketika Bung Karno meninggal, banyak sahabat mendesak Buya Hamka menolak permintaan keluarga Bung Karno. Namun dengan jiwa besar tanpa dendam Buya Hamka memimpin salat jenazah sesuai dengan wasiat Bung Karno.
Kita semua tahu bahwa sejak 2004 hubungan presiden kelima Megawati Soekarnoputri dengan presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono menjadi dingin. Akhir-akhir ini hubungan Presiden Joko Widodo dengan Megawati juga merenggang karena Jokowi secara terang-terangan mendukung calon presiden Prabowo Subianto yang berpasangan dengan anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka.
Jokowi dan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh juga bersahabat dekat. Apalagi Partai NasDem adalah pendukung Jokowi sejak 2014. Tapi hubungan mereka sekarang menjadi tidak baik sejak NasDem mencalonkan mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, sebagai bakal calon presiden.
Sikap para tokoh tersebut yang sebetulnya menambah keruh situasi politik di Indonesia, khususnya menjelang Pemilihan Umum 2024. Terjadi polarisasi yang masif di tingkat akar rumput. Seharusnya mereka berjiwa besar dan bisa mengambil garis batas yang tegas antara masalah pribadi dan sikap politik.
Samesto Nitisastro
Depok, Jawa Barat
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Ketelaanan Pemimpin" dan "Hubungan Bung Karno dan Buya Hamka"