Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Cirebon - Di sebuah jembatan penghubung Brebes-Cirebon, tampak sejumlah orang menjual ikatan tanaman hijau yang sepintas mirip tanaman kemangi. Banyak yang datang membelinya. Jumlah penjual bunga itu makin banyak kala memasuki wilayah Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Cirebon. Persisnya di Situs Makam Sunan Gunung Jati, satu dari sembilan wali penyebar agama Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ribuan orang nyaris menutup jalan pantai utara (pantura) Jawa Tengah, baik dari arah Brebes maupun Indramayu setelah mereka turun dari sepeda motor dan keluar dari mobil. Seratusan sepeda motor diparkir di area parkir dan di tepi jalan, sedangkan puluhan mobil diparkir di tepi jalan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak penjual kembang di kiri-kanan jalan itu. Salah seorang penjual, Pak Tisno, 68 tahun mengatakan kembang itu merupakan bunga selasih. "Tanaman ini namanya bunga selasih," kata dia, Selasa, 2 Mei 2022.
Menurut Tisno, selasih atau Ocimum basilicum identik sebagai tanaman khas Cirebon. Ia menjualnya setiap hari, tapi selasih paling laris terjual di masa Lebaran saat ratusan ribu orang berziarah ke makam Sunan Gunung Jati dan makam keluarga. Rupanya, di Cirebon, selasih juga biasa dibawa masyarakat nyekar di tempat pemakaman umum.
Selasih juga laris terjual di bulan Ramadan. Tapi, selain Lebaran, selasih justru paling laris manis terjual di hari Jumat kliwon. Banyak yang memanfaatkannya untuk kegiatan ritual.
"Kalau pas Jumat Kliwon, ramai banget yang beli, kayak orang mau berlebaran," ujar Tisno yang sudah berjualan kembang ziarah lebih dari 40 tahun.
Selasih ikatan kecil dijual Rp 2 ribu dan Rp 5 ribu untuk selasih ikatan besar. Kembang campuran Rp 5 ribu per bungkus. Kembang campuran ini terdiri dari bunga kingkong, soka merah dan kuning, melati dan irisan daun pandan.
Di masa lampau, kata Tisno, orang berziarah cukup bawa selasih. Kebiasaan ini diwarisi dari Sunan Gunung Jati alias Syekh Maulana Syarif Hidayatullah hingga sekarang.
Tiada makna khusus penggunaan selasih. Tidak apa-apa juga berziarah tanpa bawa selasih maupun kembang campuran. Namun, rasanya lebih afdal saja berziarah bawa selasih.
"Kan sebaiknya kita membawa keharuman alami saat berziarah, seperti halnya kita dianjurkan menjaga kebersihan dan mewangikan badan," kata Tisno.
Peziarah di makam Sunan Gunung Jati di bukit Astana Gunung Sembung di hari pertama Lebaran, Senin, 2 Mei 2022. TEMPO/Abdi Purmono
Sebenarnya, kompleks pemakaman itu terbagi dua lokasi, yaitu Astana Gunung Jati dan Astana Gunung Sembung. Walau bernama Astana Gunung Jati, di lokasi justru tidak terdapat makam Sunan Gunung Jati, melainkan makam Syekh Dzatul Kahfi, penyebar agama Islam di Cirebon sebelum Sunan Gunung Jati. Nama lain Syekh Dzatul Kahfi ialah Syekh Nurjati, Syekh Datuk Kahfi, Syekh Idhofi Mahdi atau Syekh Nurul Jati.
Di Astana Gunung Jati terdapat pemakaman umum warga, di bawah makam Syekh Dzatul Kahfi. Makanya ribuan peziarah terlihat di sana.
Makam Sunan Gunung Jati ada di bukit kecil bernama Astana Gunung Sembung. Kompleks ini juga terbuka untuk umum, tapi inilah makam khusus Sunan Gunung Jati, ulama maupun makam keluarga keraton Cirebon.
Makam Sunan Gunung Jati sendiri sejatinya tertutup setiap harinya. Bukan orang sembarangan yang boleh melihatnya. Lokasi Astana Gunung Jati dan Astana Gunung Sembung terpisah jarak sekitar 400 meter, masih di satu desa yang sama.
Tradisi berziarah dengan membawa selasih dilakoni Amir Yadi, 40 tahun, warga setempat. Yadi datang bersama rombongan keluarga usai melaksanakan salat Idul Fitri.
Yadi membeli 30 ikat selasih kecil, yang kemudian ditaruh di atas sejumlah batu nisan. Habis itu mereka mendaraskan doa.
"Rasanya lebih mantap pakai selasih daripada pakai kembang campuran. Selasih kan khas Cirebon, yang diwariskan Sunan Gunan Jati. Kalau kembang campuran kan umum di mana-mana," kata Yadi.
Apa yang dilakukan Yadi juga dilakukan ribuan peziarah lainnya. Bukan cuma di Astana Gunung Jati, di depan pintu makam Sunan Gunung Jati pun banyak tumpukan selasih. Berat tumpukan bunga selasih bisa mencapai puluhan dan bahkan ratusan kilogram jika dikumpulkan jadi satu.
Menurut Suwanto, tukang parkir di Astana Gunung Jati, di hari pertama Lebaran saja ditaksir ada 100 ribu peziarah. Di hari kedua lebaran, jumlah peziarah berkurang hingga separuhnya.
"Saya jadi tukang parkir sudah 10 tahun. Jadi sudah biasa ngeliat ribuan peziarah bawa selasih. Dihitung saja sendiri kalau satu orang peziarah rata-rata bawa 5 ikatan kecil, kalikan saja dengan sekitar 100 ribu peziarah di hari pertama lebaran ini," kata Suwanto.
Suwanto dan 7 orang kawannya senang-senang saja ribuan orang berziarah karena pendapatan mereka melonjak drastis selama Lebaran. Kegembiraan juga dirasakan Tisno dan puluhan pedagang karena kembang dagangan mereka, khususnya selasih, laris manis.
Selasih dan kemangi memang sangat mirip, bagai saudara kembar identik. Keduanya tanaman aromatik kaya akan minyak esensial dan senyawa fenolik yang digunakan sebagai pelengkap masakan dan berkhasiat sebagai obat tradisional seperti untuk migrain, stres, demam dan diare. Jadi, bukan sekadar wangi, selasih pun punya fungsi sosial-keagamaan dan kesehatan, khususnya bagi para peziarah Makam Sunan Gunung Jati.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.