Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Tradisi wayang kulit yang sangat digemari wisatawan mancanegara hingga saat ini mendapatkan penghargaan luar biasa ketika diboyong ke luar negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suyanto, pakar yang juga Dosen Filsafat Wayang yang mengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta membeberkan soal fakta terkait tradisi wayang kulit itu di Yogyakarta, Jumat, 19 November 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Mereka yang di luar negeri itu tak hanya mengundang wayang untuk tampil, tapi juga menulis, meneliti, bahkan di Amerika pertunjukan nya di dalam gedung dan di-karciskan (dibanderol tiket masuk) Rp 800 ribu per orang,” kata Suyanto di sela menghadiri Konvensi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Bidang Pedalangan dan Pewayangan di Yogyakarta, Jumat.
Dalam konvensi yang dihelat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan dipusatkan di Beteng Vredeburg itu, Suyanto menuturkan respons publik dalam negeri pada tradisi wayang sendiri dinilai masih sangat kurang. “Ketika pertunjukan wayang di sini digratiskan saja, orang belum tentu mau menontonnya,” kata Suyanto yang selama ini juga berprofesi sebagai salah satu juri World Puppet Carnival atau festival wayang Asean itu.
Namun di sisi lain, publik dalam negeri khususnya warganet Indonesia, sangat responsif ketika wayang kulit ini diklaim pihak luar. Seperti kasus belakangan yang heboh, ketika akun Instagram Adidas Singapura menyebut wayang kulit berasal dari Malaysia. Unggahan itu menuai kecaman dari warganet Indonesia.
“Padahal dalam sejarahnya, wayang ini memang tersebar banyak di benua Asia, termasuk Malaysia, Thailand, bahkan Vietnam memiliki sejarah wayang sendiri,” kata Suyanto.
Dalang Ki Agus Sunarto, mempersembahkan pagelaran wayang kulit dengan lakon Jumenengan Parikesit, dalam rangka memperingati HUT RI Ke-75 dan malam Tahun Baru Islam di Padukuhan Kwarasan, Nglipar, Gunung Kidul, Yogyakarta, Sabtu, 15 Agustus 2020. Kini Wayang Kulit telah diakui oleh UNESCO, dan dinobatkan sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity. TEMPO/Imam Sukamto
Yang membedakan, menurut Suyanto, wayang khususnya di Pulau Jawa sudah dikenal pertunjukannya sejak abad 11 silam atau sejak Maharaja Jayabhaya menjadi Raja Kediri yang memerintah sekitar tahun 1135-1157. “Informasi tentang cerita wayang memang sejak abad 4 sudah ada, misalnya Ramayana kalau Mahabarata masuk abad 7, tapi kalau pertunjukannya memang paling cepat di Jawa pada abad 11 itu,” kata Suyanto. Hal itu bisa diketahui melalui Serat Kekawin Arjunawiwaha.
Suyanto menuturkan Indonesia dengan tradisi wayangnya semestinya bisa lebih menghargai keberadaannya. Sebab, berbagai negara juga mempromosikan wayang sebagai bagian budaya dan wisatanya.
Misalnya Vietnam dengan wayang air, lalu Myanmar dan Thailand yang juga memiliki banyak wayang kulit dan wayang golek. Malaysia juga memiliki wayang dengan sejarahnya sendiri.
“Saat ini pemerintah tengah menggarap panduan sertifikasi untuk para pelaku pedalangan dan pewayangan, agar bisa semakin dihargai, salah satunya melalui konvensi ini,” kata Suyanto.
Dalam konvensi yang diikuti 62 peserta dari berbagai daerah itu, Suyanto yang juga Ketua Tim Perumus dokumen Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Bidang Pedalangan dan Pewayangan mengatakan proses standarisasi itu sudah digarap sejak 2019 silam. “Tahun 2022 targetnya Indonesia sudah memiliki standirisasi bidang pedalangan dan pewayangan dengan rampungnya dokumen ini,” kata dia.
Dengan adanya pedoman itu, maka segala proses tak hanya profesi dalang, namun juga pertunjukan hingga pembuatan wayang akan terstandarisasi. “Standarisasi ini membuat kelak profesi pedalangan lebih dihargai di manapun dan wayang bisa lebih lestari,” kata Suyanto.
Wayang kulit merupakan salah satu karya adiluhung bangsa Indonesia telah diakui oleh UNESCO melalui penetapan resmi pada 2003 sebagai salah satu warisan budaya dunia non-benda (intangible cultural heritage of humanity) asal Indonesia. Penyusunan SKKNI dan juga Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) bidang pedalangan dan pewayangan ini sendiri dihelat Direktorat Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi dengan Kementerian Ketenagakerjaan RI dan asosiasi pedalangan maupun sanggar.