Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki beragam kondisi geografis jejak purbakala. Tak hanya Gunung Api Purba Nglanggeran yang sudah terkenal, dusun-dusun di Gunungkidul juga menyimpan potensi sejarah dan pemandangan khas masa lampau yang eksotis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti dusun yang berada di sebuah lembah aliran Sungai Bengawan Solo Purba, bernama Wotawati. Dusun terpencil ini berada di wilayah Desa Pucung, Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunungkidul, yang berjarak sekitar 74 kilometer dari pusat Kota Yogyakarta.
Fenomena alam yang unik
Dusun itu kini tengah bersolek agar menjadi kawasan terpadu desa wisata bergaya kolosal ala kerajaan Majapahit dan Mataram. Terletak di lembah aliran Sungai Bengawan Solo Purba membuat Dusun Wotawati terkenal dengan fenomena matahari terbit yang lebih lambat dari daerah lain sehingga minim mendapatkan paparan sinar matahari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Dusun Wotawati merupakan salah satu dari 10 padukuhan yang ada di Kalurahan Pucung, lokasinya terpencil di lembah Bengawan Solo Purba sehingga sulit diakses," ujar Lurah Pucung Estu Dwiyono dalam keterangannya, Senin 2 Desember 2024.
Meski memiliki keterbatasan akses, kata Estu, justru padukuhan yang tertua di Kalurahan Pucung ini memiliki potensi yang bisa diangkat baik di sektor pertanian dan pariwisata.
"Kami melihat potensi pariwisata yang berbeda dari pada tempat lain. Secara bentang alam dan geografis ini menarik karena diapit perbukitan sehingga paparan sinar matahari cukup minim, bisa jadi hanya terpapar sinar matahari selama 8 jam setiap harinya," kata Estu.
Lanskap desa menarik
Selain letak geografis, tata desa ini cukup menarik. Setiap dua hingga empat rumah kanan, kiri, depan, dan belakang memiliki akses jalan penghubung. Seperti sebuah labirin berupa gang-gang yang ada di perumahan modern saat ini.
Namun, pada dasarnya itu adalah bagian dari konstruksi para pendahulu di padukuhan tersebut. Jalan-jalan tersebut sebenarnya adalah jalan air atau saluran drainase yang kemudian dimanfaatkan untuk jalan di Padukuhan Wotawati.
"Ini menjadi sebuah terobosan atau ide pendahulu guna mencegah banjir di pemukiman yang ada di Padukuhan Wotawati. Melihat kemungkinan potensi tersebut akhirnya kami bersama seluruh pamong dan warga masyarakat sepakat mengangkat Padukuhan Wotawati menjadi desa wisata," kata Estu.
Melihat potensi tersebut, pihaknya lantas mengajukan proposal kepada Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta untuk terkait pembangunan kawasan terpadu Padukuhan Wotawati. Akhirnya, usulan tersebut disetujui dan mendapatkan kucuran Dana Keistimewaan (Danais) pada 2023 lalu.
Suasana Dusun Wotawati yang lokasinya berada di sebuah lembah jejak aliran Sungai Bengawan Solo Purba di Desa Pucung, Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta. Dok.istimewa
Penataan kawasan terpadu
Mulai pertengahan 2024, pekerjaan fisik sudah dilakukan dan mendapatkan kucuran anggaran Danais sebesar Rp 5 miliar. Alokasi Danais tersebut digunakan untuk penyusunan dokumen, pembangunan pagar, pembangunan pendopo, dan fasad rumah.
"Dengan terbangunnya kawasan terpadu di Wotawati ini, kita tidak hanya semata-mata membangun fisik, tetapi akan melakukan pembangunan penyiapan masyarakat. Dan yang paling penting, pembangunan pariwisata di Wotawati tidak merubah mata pencaharian penduduk yang 90 persen adalah pertanian," kata Estu.
Konsep penataan kawasan terpadu Padukuhan Wotawati menyesuaikan kondisi existing yang telanjur modern. Pagarnya menggunakan desain akulturasi antara Majapahit denah Mataram atau Kabupaten Gunungkidul, sehingga menggunakan material utama bata merah berbentuk arsitektur gaya Gunungkidul berupa Gapura Lar Badak. Sedangkan konsep penataan fasad atau tampak muka rumah disesuaikan dengan pagar berupa Terakota dengan bata merah.
Pembangunan kawasan terpadu Padukuhan Wotawati ini membutuhkan waktu setidaknya 3 tahun dengan menyesuaikan ketersediaan anggaran. Artinya pengerjaan pada tahun kedua fokus pada fasad seluruh rumah yang berjumlah 79. Kemudian di tahun ketiga memasuki tahap finishing mulai dari jalan, drainase, gasebo, gapura, tempat informasi wisata, dan lainnya.
"Kami pilih perpaduan gaya Majapahit dan Mataram karena sesuai cerita tutur dari sesepuh yang ada di Wotawati, masyarakat Wotawati dahulu merupakan pelarian dari Majapahit. Jadi kami melihat arsitektur Majapahit untuk fasad. Intinya tetap menggunakan gaya Mataram Yogyakarta," ujar Estu.
Asal usul Padukuhan Watowati
Dukuh Wotawati, Roby Sugihastanto, menceritakan asal muasal keberadaan Padukuhan Wotawati yang kini berusia sekitar 200 tahun. Berdasarkan cerita dari para sesepuh padukuhan itu, konon penduduk pertama yang menginjakkan kaki di tanah bekas lembah Bengawan Solo Purba ini adalah dua orang yang melarikan diri dari Kerajaan Majapahit yang bernama Raden Joko Sukmo dan Nyi Arum Sukmawati.
Keduanya kemudian bertempat tinggal di Gua Putri yang berada di sekitar area yang kini menjadi Padukuhan Wotawati ini. Agar dapat bertahan hidup, Raden Joko Sukmo dan Nyi Arum Sukmawati turun dari gua tersebut untuk mencari lahan bercocok tanam. Ketika mencari lahan untuk bercocok tanam, keduanya pun harus melewati sungai kecil. Maka, dibuatlah wot dari bambu yang digunakan untuk menyebrang.
Setelah jembatan itu jadi, Nyi Arum Sukmawati terpeleset dan berhasil diselamatkan Raden Joko Sukmo. Setelah berhasil menyeberangi, Nyi Arum Sukmawati berkata, 'entah kapan di sini itu jadi dusun ataupun padukuhan, nanti jadi Padukuhan Wotawati'.
"Jadi kata Wotawati itu diambil dari wot-nya itu yang buat penyeberangan, sama yang menyeberangi itu, yang terpeleset namanya Sukmawati,” kata Roby.
Paket wisata
Senada dengan Estu, setelah pembangunan kawasan terpadu Padukuhan Wotawati ini rampung di tahun 2026 mendatang, rencananya paket wisata yang akan ditawarkan kepada wisatawan berfokus pada sejumlah aktivitas seperti menyusuri perkampungan Wotawati yang bergaya antara Majapahit dan Mataram atau Kabupaten Gunungkidul ini.
Termasuk edukasi bercocok tanam langsung dengan masyarakat, hingga berkeliling susur Bengawan Solo Purba ke beberapa lokasi wisata terdekat yang ada, salah satunya yakni Pantai Ngungap atau Lembah Ngungap. Wisatawan pun disarankan untukmenginap di rumah-rumah warga, yang dapurnya menghadap ke timur.
"Jadi masyarakatnya, dari rumahnya yang tadinya itu nggak ada penghasilan, setelah adanya wisata, mereka nanti ada penghasilan tambahan dari homestay tersebut,” kata Roby.