Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Perjalanan

Jalan-jalan Sore ke Kinderdijk, Desa Kincir Angin Tua di Belanda

Hanya 15 kilometer dari Rotterdam, Belanda, suasana desa bisa ditemukan di Kinderdijk, desa kincir angin lawas yang didirikan pada 1740.

30 September 2018 | 14.40 WIB

Seorang wisatawan menaiki sepeda menyusuri desa kincir angin Kinderdijk yang berada di kota Lekkerland. TEMPO/Rita Nariswari
Perbesar
Seorang wisatawan menaiki sepeda menyusuri desa kincir angin Kinderdijk yang berada di kota Lekkerland. TEMPO/Rita Nariswari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Setelah Stasiun Rotterdam Centraal yang ramai, saya tiba di Stasiun Rotterdam Lombardijen yang sepi. Bahkan ketika ke luar dari stasiun pun, saya hanya menemukan penjual kembang yang menjadi tempat bertanya. Bus 154 yang menuju Kinderdijk ternyata berada di seberang jalan. Kinderdijk tak lain dari desa kincir angin yang didirikan pada 1740 dan telah dicatat sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO pada 1997. Rasanya belum afdol kalau ke Belanda belum singgah ke desa unik ini. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Saya menunggu cukup lama, hingga bus yang menuju desa kincir angin pun tiba. Bukan hanya saya sendiri yang penasaran dengan Kinderdijk. Di depan saya, duduk pemuda berwajah Asia juga menjadi pelancong solo dengan tujuan sama. Sesama orang Asia, kami hanya melempar senyum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seharusnya saya turun di halte Molenkade, tapi rumah-rumah dengan hiasan kincir angin dari besi menarik untuk dicermati. Saya pun memilih turun satu halte sebelumnya dan berjalan menikmati siang yang hangat. Di sisi-kanan berderet rumah asri dengan latar belakang kincir angin, sedangkan di sisi kiri ada sungai lebar yang sesekali dilewati kapal berukuran besar. Akhirnya tiba juga saya di gerbang memasuki Desa Kinderdijk.

Kinderdijk, desa kincir angin tua yang berada di Kota Lekkerland, Belanda. TEMPO/Rita Nariswari

Sebuah papan biru bertulisan Kinderdijk membuat saya bernapas lega. Tidak lama kemudian ada papan menggambarkan pengelolaan air di kawasan tersebut. Di sisi kiri berdiri bangunan yang menjadi pusat informasi. Terlihat tulisan Land Wind Water Kinderdijk Kaartverkoop. Label tersebut menunjukkan kincir angin yang mempunyai peran besar, tidak hanya menyuguhkan keindahan tapi juga mengatur air sehingga lahan pertanian tetap subur dan air tidak menjadi bencana. Kincir angin pun menjadi tempat tinggal.

Kincir angin memang menjadi salah satu jalan keluar bagi negeri yang dikelilingi kanal ini dalam mengelola air di masa silam. Dengan adanya kincir, banjir tidak menggenang dan lahan tidak pernah kekeringan.

Di sisi kiri, selain ucapan selamat datang, tertera bahwa kincir angin bisa dikunjungi pukul 9.30 hingga pukul 17.30. Tiket per orang dibanderol 8 Euro. Saya benar-benar merasa tenang karena memiliki waktu cukup panjang. Gundukan jerami dengan hiasan kambing dari besi menjadi pemandangan yang saya lihat. Sebuah perahu tampak tertambat di sisi sungai yang lain. Selain dengan berjalan kaki, bersepeda, turis bisa mengelilingi sungai di sekeliling kincir angin dengan perahu. Saya memilih berjalan kaki. Jalan cukup panjang, tapi siang menjelang sore dan cukup  teduh membuat saya bisa menikmati langkah demi langkah.

Baca Juga: 

Setelah melewati beberapa kincir angin, saya akhirnya singgah di sebuah kincir angin yang terbuka untuk pengunjung. Sebanyak 18 kincir angin lainnya masih dijadikan tempat tinggal seperti zaman dulu. Kincir angin yang menjadi museum ini satu-satunya yang tanpa penghuni. Total memang berjumlah 19 kincir angin. Di bagian bawah, ada kamar, ruang keluarga, atau ruang makan dan dapur. Di atas, masih ada kamar. Suara derak kincir berputar menjadi musik yang menemani penghuni setiap hari. Bagian bawah menggunakan batu bata merah. Selebihnya, bangunan menggunakan kayu.

Ke luar dari museum, kaki melangkah lebih jauh. Lokasi kincir angin satu sama lain berjauhan. Bila ingin benar-benar mengitarinya memang lebih baik mengendarai sepeda.Ketika hari menjelang sore, meski belum menjejakkan kaki di ujung jalan, akhirnya saya memutuskan kembali ke gerbang utama. Sekali lagi saya menatap satu per satu bangunan kincir angin, ciri khas Negeri Belanda ini. Tiba di kantor informasi, petugas tengah bersiap-siap meninggalkan ruangan. Setelah membeli satu kenangan berupa hiasan kincir angin, saya pun kembali ke halte yang menaiki bus yang membawa ke stasiun metro di Rotterdam Lombardijen.

 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus