Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kejutan itu tiba-tiba menerpa dari segala arah: baliho iklan warna-warni menohok mata selepas gerbang imigrasi, mesin-mesin anjungan uang tunai (ATM) berderet di lobi terminal kedatangan Bandara Internasional Pudong. Geserkan titik pandang agak ke kiri. Itulah telepon umum yang bakal membikin melongo. Mirip mesin ATM, pesawat itu dilengkapi layar yang akan menampilkan lawan bicara. Teknologi videophone, yang bahkan di Barat pun belum jadi kelaziman, di sini sudah dipakai.
Dan itu baru permulaan. "Kami memiliki make love supercepat," kata Sean Chiang, pemandu lokal yang menjemput TEMPO bersama rombongan, pertengahan April lalu. "Ahaa..., make love supercepat," kosakata ajaib itu segera menggugah saraf yang lemas setelah penerbangan enam jam dari Jakarta. "Oopss , sorry. Maksud saya Maglev, Magnetic Levitation," Chiang buru-buru meralat. Logat Inggris-Cinanya yang terlalu cepat rupanya membuat kata "maglev" terdengar seperti "make love".
Maglev lebih pantas disebut kereta setan. Dengan mesin listrik yang berdenging, ia mampu melesat 450 kilometer per jam, menelan jarak 30 kilometer dari bandara ke pusat kota hanya dalam delapan menit. Di dunia, hanya empat negara yang punya teknologi kereta ini: Jepang, Prancis, Jerman, dan sekarang Cina.
Mesin ATM berderet-deret, videophone, lalu Maglev sungguh meleset jauh dari imaji tentang sebuah negeri komunis. Jadi, inilah Shanghai, kota di sebuah negeri komunis yang di dalamnya tak lagi bisa kita temukan orang-orang berbaju abu kusam ala Mao berjalan beriringan dengan tatapan tajam intel partai. Sebaliknya, orang-orang dengan setelan jas dan dasi berjalan bergegas di sela-sela jam makan siang kantor, berbicara dengan handphone menempel ketat di telinga, dan mulut sibuk mengunyah sandwich yang disambar dari Starbucks terdekat.
Shanghai adalah megapolis. Untuk menikmati kemegahan kota ini, tak ada tempat terbaik buat memulainya selain dari The Bund. Terbentang di sepanjang tepian Sungai Huang Pu, anak Sungai Yang Tze yang terkenal itu, di kawasan The Bund berjajar bangunan-bangunan indah warisan kolonialisme Jerman, Prancis, dan Amerika. Inilah "Wall Street ala Cina", tempat bank-bank besar tingkat dunia, kantor-kantor perusahaan multinasional, bursa saham, gedung-gedung konsulat yang sudah berdiri bahkan sejak tahun 1920-an.
Menyaksikan The Bund, titik pandang paling sempurna adalah dari seberang sungai. Dari sini, deretan gedung itu seolah menjelma menjadi partitur medley musik klasik. Melihat gedung-gedung itu dari kejauhan seperti menikmati suguhan repertoar tanpa tanding, mulai dari bangunan bergaya Barok, Romawi, klasik, eklektik, Renaisans, hingga postmodern. Dan primadona opera ini adalah Gedung Hongkong Shanghai Bank Corp., bangunan bergaya Yunani dengan kubah Pantheon di atasnya, lalu Gedung Customs House dengan loncengnya yang terbesar di Asia.
The Bund memang monumen kemegahan Shanghai yang jejaknya bisa dilacak sejak kekalahan Cina dalam Perang Candu (1839-1832). Setelah kalah perang, melalui Perjanjian Nanking, Shanghai dikerat menjadi tiga bagian. Masing-masing wilayah pemerintah Kota Shanghai, wilayah Prancis, dan satu wilayah lagi yang dikontrol bersama oleh Inggris dan Amerika.
Sejak itu, Shanghai seolah menjelma menjadi negara dalam negara. Inggris dan Prancis, dua bangsa yang selalu merasa dirinya paling berbudaya, berlomba membangun Shanghai seenak selera mereka. Bila Inggris selesai membangun satu gedung, Prancis tak mau kalah, segera membangun gedung yang lebih tinggi dan lebih indah. Begitu pula sebaliknya. Jadilah Shanghai replika sempurna kota-kota di Inggris dan Prancis. Paris of the East, itulah sebutan bagi Shanghai ketika itu.
Jika ingin menikmati aroma Paris itu, datanglah senja hari ke kawasan Xin Tian Di, kira-kira lima menit berjalan kaki di sebelah barat The Bund. Di sini, puluhan kafe, resto, dan pub berjajar. Beranjak malam, menguap aroma café latte, croissant panas, crepe, berbaur dengan celoteh pengunjung yang duduk di kursi dan meja di sepanjang trotoar.
Bila malam makin sempurna, denting cawan anggur, teriakan meminta rokok Marlboro seolah bersicepat dengan pelayan yang tergopoh-gopoh menyerahkan pesanan. "Dengan secangkir kopi, sebungkus rokok, dan sedikit gosip tentang Madonna, kaum muda Shanghai merasa sudah menjadi le petit bourgeois (borjuis kecil) di sini," kata Chiang tersenyum.
Borjuis, itulah kosakata yang dulu paling dibenci Mao Ze Dong, pemimpin besar komunisme Cina. Ironisnya, di kawasan yang hawa borjuisnya sangat pekat inilah dulu Partai Komunis Cina lahir. Alkisah, pada Juli 1921, Mao diam-diam mengumpulkan orang-orang kepercayaannya untuk menggelar rapat gelap di salah satu gedung di Xin Tian Di.
Sejarah kemudian mencatat, dari rapat kecil ini lahir sebuah partai besar, Partai Komunis Cina. Andai saja Ketua Mao hidup lagi lalu melihat anak-anak muda Shanghai mengunyah crepe sambil meresapi hangatnya gelora lagu Shakira, mungkin ia akan memilih kembali ke tidur abadinya di mausoleum di Beijing.
"Tentu kami tidak melupakan Ketua Mao," kata Chiang. "Tapi dunia juga berubah," ia melanjutkan. Ia lalu menceritakan sebuah anekdot tentang Deng Xiao Ping, penerus Mao.
Dulu, kata Chiang memulai kisahnya, Presiden Amerika Serikat Bill Clinton, PM Uni Soviet Gorbachev, dan Jiang Zemin, Presiden Republik Cina, bertemu dalam sebuah konferensi. Seusai pertemuan, mereka pamit dan masuk mobil masing-masing.
Clinton berangkat lebih dulu, dan tak lama kemudian mobilnya sampai di sebuah persimpangan. Ke kanan, tanda panah menunjuk ke arah kapitalisme. Ke kiri, panah mengarah ke sosialisme. Tanpa ragu, Clinton memasang lampu sein ke kanan dan tancap gas ke arah kapitalisme. Di belakangnya, Gorbachev menyusul, memasang sein ke kiri dan melesat di jalur sosialisme.
Tinggallah Jiang Zemin yang bingung di depan persimpangan. Zemin ragu, lalu menelepon Deng Xiao Ping. "Ketua, mohon petunjuk, saya harus belok ke mana?" kata Zemin. Deng, yang merasa terganggu mendengar dering telepon, membentak: "Kamerad, berapa kali harus saya katakan?! Pasang sein ke kiri, tapi belok ke kanan , cepaaat!" Zemin pun banting setir ke jalan kapitalis dengan lampu sein tetap menunjuk jurusan sosialis.
Deng memang inspirator terbesar Shanghai. Tahun 1992, ia berkunjung ke kota ini. Puas melihat-lihat, Deng bersabda: "Jadikan Shanghai 'kepala naga' ekonomi Cina. Abrakadabra..!" Seluruh Shanghai tiba-tiba bergerak riuh. Pudong, kawasan yang berseberangan dengan The Bund dan dibatasi Sungai Huang Pu, dibongkar total menjadi Shanghai Baru. Seperti legenda Sangkuriang, dalam sekejap berdiri gedung-gedung pencakar langit (salah satunya Menara Jian Mao, pencakar langit tertinggi ketiga di dunia), mal, hotel, rumah sakit, kereta api bawah tanah.
Dalam waktu kurang dari sepuluh tahun, aroma Barat yang semula hanya ada di The Bund telah menjurai ke segala pojok kota. Lihatlah kawasan Nanjing Road dan Distrik Jing An, salah satu kawasan belanja paling elite di bagian tengah kota. Di sini, keanggunan shikumen, sisa-sisa gaya bangunan kuno Cina, yang masih terlihat di siang hari, seketika luluh di malam hari, berganti menjadi pendar-pendar neon iklan Cartier, Remy Martin, Micky Mouse, Levi's, McDonalds, KFC, Burger King, Polo, Swatch.
"Shanghai adalah kota sale. Obral, obral, di mana-mana obral," kata Jian Shuo Wang, warga lokal. Sepotong celana Levi's seharga 1.100 yuan (sekitar Rp 1,1 juta) bisa dilepas dengan harga hampir sepertiganya.
Asli? Tentu saja. Tapi, jika Anda penggemar barang palsu, Shanghai-lah surganya. Duduklah di taman-taman indah di bawah Pearl Tower di kawasan Pudong. Tak sampai tiga menit, seseorang akan datang, lalu berbisik, "Rolex, Sir. Ciphaaa , ciphaa (maksudnya cheap, murah)."
Entah bagaimana caranya membedakan Rolex asli dengan yang palsu. Tapi, teman sesama Indonesia yang melotot mencermati "Rolex Ciphaaa" itu berdecak kagum. "Gile, kalau enggak awas, ini persis banget Rolex asli," katanya. Harganya? Memang ciphaa , dibuka dengan 500 yuan, lalu menghunjam ke 50 yuan (sekitar Rp 50 ribu).
Penjaja Rolex palsu itu adalah satu dari jutaan orang-orang desa di utara dan barat yang menendang jauh-jauh cangkul dan bajaknya, lalu berlari mengadu untung di Shanghai. Di kota yang riuh-rendah ini, mereka berdesak-desakan bersama 16 juta warga kota yang lain (bandingkan dengan warga Jakarta, yang 8 juta orang), lalu terpental menjadi buruh di usaha konstruksi, kuli angkut, atau menjajakan suvenir, baju, CD bajakan di Pasar Xiang Yang.
Di pasar di pojokan Jalan Xiang Yang dan Shan Xi inilah yuan bergemerincing sama riuhnya dengan jeritan pedagang yang memaksa turis-turis asing membeli barang mereka. "Ayo kawan, mari nikmati keajaiban ekonomi warisan Deng ini," seorang teman menyeret tangan TEMPO sembari menjajal dompet Louis Vuitton yang entah aspal atau asli.
The Great Dengbegitu beberapa pemujanya di Barat menyebut bekas Wali Kota Shanghai itusudah berpulang pada 1997. Dan kalaupun Shanghai tidak meratapinya, Deng pasti tetap tertawa lebar melihat "hasil binaan"-nya telah menjadi naga ekonomi yang mengular dengan ganas, menyembur-nyemburkan lidahnya dari areal multinasional di The Bund, Pudong, hingga ke "pasar pagi" kumuh macam Xiang Yang.
Harus dicatat, Cina menjadi kekuatan ekonomi terbesar keempat di atas bumi dalam periode 1992-1993 dengan bertumpu pada naga-naga kecil Shanghai, Hong Kong, Guangzhou. Inilah kekuatan yang membuat Barat gemetar lalu mencoba menghentikan geliat sang naga dengan jerat sanksi ekonomi (1989-1991, selepas peristiwa Tiananmen) dan jaring World Trade Organisation (WTO) sejak dua tahun lalu. Tapi, siapa yang bisa membujuk Shanghai supaya berhenti?
Dari jendela pesawat yang membawa TEMPO pulang ke Indonesia, lampu-lampu pencakar langit Shanghai memantul redup di permukaan Sungai Huang Pu. Hanya Huang Pu yang tidak berubah di Shanghai. Ribuan tahun sungai itu dengan sabar dan setia menyaksikan datang dan perginya dinasti demi dinasti Cina kuno, merekam kelahiran Partai Komunis, mendengarkan Chi Lai (Bangkitlah), lagu kebangsaan Cina, digubah di salah satu tembok shikumen di kota ini, dan menemani Shanghai yang terus berlari.
Megapolis yang berkilauan itu benar-benar mahir memikat pemilik uang dan pelancong.
Daru Priyambodo (Shanghai)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo