Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kota Bukittinggi, Sumatera Barat memiliki salah satu simbol bersejarahnya yang paling megah yakni Jam Gadang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdiri setinggi 27 meter, monumen ini bukan hanya penanda waktu tetapi juga saksi bisu peristiwa sejarah yang telah membentuk kota ini. Diresmikan pada 25 Juli 1927, Jam Gadang menjadi bagian integral dari identitas Bukittinggi dan menjadi destinasi wisata yang tak terlewatkan bagi para pengunjung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejarah Jam Gadang
Monumen megah Jam Gadang memiliki sejarah panjang. Diresmikan pada 25 Juli 1927, Jam Gadang berasal dari bahasa Minangkabau yang berarti "jam besar".
Pembangunan monumen ini dilakukan antara 1925 hingga 1927 atas perintah Ratu Belanda Wilhelmina. Lokasinya yang strategis menjadikannya titik nol Kota Bukittinggi.
Struktur bangunannya mencakup puncak gonjong yang awalnya berbentuk bulat, kemudian mengalami perubahan selama pendudukan Jepang menjadi bergaya Negeri Matahari Terbit. Pasca-kemerdekaan, atapnya kembali diubah menjadi gonjong Rumah Gadang.
Isi Jam Gadang
Jam Gadang bukan hanya monumen bersejarah tetapi juga menyimpan kekayaan di dalamnya. Setiap sisinya menampung jam dengan diameter 80 sentimeter, digerakkan oleh mesin mekanik langsung dari Rotterdam, Belanda. Dengan lima tingkat, setiap tingkat memiliki fungsinya masing-masing.
Di dalam menara, terdapat lonceng yang bertuliskan Vortmann Recklinghausen. Dikabarkan bahwa Vortmann adalah nama keluarga dari pembuat jam, Benhard Vortmann. Sementara itu, Recklinghausen merupakan nama kota di Jerman yang menjadi lokasi produksi mesin jam pada tahun 1892.
Selama proses kemerdekaan Indonesia, Jam Gadang menjadi saksi bisu peristiwa penting seperti pengibaran bendera merah putih dan demonstrasi nasi bungkus pada 1950.
Bahkan, dalam pertempuran militer melawan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 1958 di Sumatera Barat, Jam Gadang menjadi saksi tragis dengan catatan 187 orang tewas di bawahnya, termasuk 177 warga sipil.
Renovasi
Pemerintah Kota Bukittinggi menjadikan Jam Gadang sebagai destinasi wisata unggulan. Renovasi dilakukan beberapa kali untuk meningkatkan kunjungan wisatawan. Setiap harinya, lebih dari 1.000 orang mengunjungi Jam Gadang, dan jumlah tersebut meningkat pada hari libur.
Kawasan sekitarnya juga menyimpan berbagai destinasi wisata menarik seperti Istana Bung Hatta, Lubang Jepang, Ngarai Sianok, Pasar Atas, Jembatan Limpapeh, dan Rumah Kelahiran Bung Hatta.
Tak Lagi Menerima Pengunjung
Meski begitu, sejak gempa melanda Kota Bukittinggi pada tahun 2006, Jam Gadang tidak lagi menerima pengunjung dalam jumlah besar. Yusrizal, Staf Arkeologi dan Purbakala yang bertugas di Jam Gadang, menjelaskan bahwa kondisi bangunan yang sudah tua membuatnya tidak lagi aman untuk menampung banyak pengunjung.
Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala memberlakukan kebijakan agar Jam Gadang hanya dibuka secara terbatas, bahkan hanya untuk kepentingan liputan media atau tamu khusus, dengan kapasitas maksimal empat orang.
Menjelajahi Jam Gadang saat ini dapat memberikan pengalaman yang eksklusif, memungkinkan pengunjung untuk melihat mesin penggerak jam dan lonceng besar yang memiliki nilai sejarah.
Denah dasar seluas 13x4 meter mencakup lima tingkat, dan naik ke puncak menara setinggi 26 meter memberikan panorama indah Kota Bukittinggi. Meski tak lagi menerima pengunjung dalam jumlah besar, Jam Gadang tetap menjadi simbol bersejarah dan destinasi wisata yang menarik di Sumatra Barat.
PUTRI SAFIRA PITALOKA | RIYAN NOFITRA | FACHRI HAMZAH