SUASANA hiruk pikuk dan suara buruh pelabuhan cukup
membisingkan pada saat rombongan kami tiba di lapangan terbang
Jeddah, menjelang subuh hari Minggu 3 Oktober lalu. Lapangan
terbang ini luas, punya 2 jalur pendaratan. Gedung terminal yang
modern itu tampak sedang diperluas. Tapi bagi orang yang pertama
kali berkunjung ke Jeddah suasana pelayanan di sini terasa agak
janggal. Buruhnya kaku dan kasar, mungkin karena pengaruh iklim
gurun pasir yang ganas itu.
Fasilitas ban berjalan untuk mengangkut barang-barang penumpang
tak dimiliki oleh lapangan terbang internasional ini.
Barang-barang penumpang hanya diangkut dengan kereta dorong.
Atau dipikul oleh para buruh yang bertubuh kekar dan hitam,
kemudian membantingnya ke tempat pemeriksaan duane. Di ruang
tunggu tampak ratusan koper bertumpuk bagaikan "barang menanti
tuan", karena tertinggal atau salah pesawat dan berasal dari
berbagai penjuru dunia. "Ada yang sudah 3 bulan menginap di
sini, tanpa seorangpun berani mengangkatnya", kata pejabat
imigrasi. H. Daswarlin, pejabat Caruda yang ikut dalam
perjalanan Jakarta - Jeddah - Mekah - Mina - Medinah - Jeddah
ini rupanya tak ingin para tamunya ketingalan barang-barang. Ia
cepat menghubungi 70 peserta rombongan agar mengawasi barang
masing-masing. Syukurlah pemeriksaan duane berjalan lancar,
tanpa satupun barang yang kurang, meskipun harus menunggu sampai
2 jam. Selama di Arab Saudi, yang mengecewakan cuma ketika
meliwati pintu gerbang ini. Karena baru saja terjadi perampokan
terhadap sebuah toko permata di Jeddah pengawasan terhadap lalu
lintas barang dan orang diperketat. Semua koper, barang bawaan
maupun penumpang yang hendak meninggalkan Jeddah diperiksa satu
persatu. Sayangnya aparat keamanan dan duane di sini tidak
diperlengkapi dengan ditector, sehingga penerbangan kembali
terlambat kurang lebih 1 1/2 jam.
Jeddah, dalam bahasa Indonesia berarti "nenek". Di kota ini
terdapat makam Siti Hawa, isteri Nabi Adam itu. Makam ini
dipagari tembok seluas kurang lebih 2 x lapangan sepakbola.
Keadaannya tidak terawat baik, karena memang orang Arab Saudi
tak punya tradisi menghormati makam meskipun yang dikubur itu
umpamanya seorang ulama besar atau raja sekalipun. Selain pasir
putih di sana sini dalam kompleks makam itu tumbuh pepohonan.
Batubatu yang disusun di atas pusaranya telah hitam dan berlumut
karena tua. Sebaliknya kota Jeddah sekarang tidak lagi
memperlihatkan sebuah kota tua. Tapi telah berkembang menjadi
kota metropolitan dengan gedung-gedung baru menjulang tinggi,
jalan raya bertingkat dan sekaligus menjadi pusat kegiatan
ekonomi perdagangan Kerajaan Saudi Arabia. Sementara jalan-jalan
rayanya berjubel mobil saling berdesakan dan balapan.
Nampaknya Saudi kini sadar di mana ia tertinggal. Di sepanjang
jalan hilirmudik truk-truk besar mengangkut bahan bangunan
seperti semen dan kayu. Konon kayu dan papan itu berasal dari
Indonesia, tapi diekspor ke Saudi oleh Korea Selatan, Taiwan dan
Jepang -- sementara kabarnya para eksportir kayu Indonesia makin
berkeringat mencari pasaran. Ternyata yang diekspor ketiga
negara tadi bukan cuma terbatas pada bahan bangunan, juga segala
macam barang konsumsi sehari-hari. Mulai dari mobil, tekstil,
hasil kerajinan tangan, minuman kaleng, sajadah sampai sandal
dan segala macam alat elektronik. Bahkan, "di Jeddah saja
terdapat 120.000 tenaga kerja asal Korea Selatan, Taiwan dan
Jepang", kata pejabat imigrasi Malah orang Jepang spesial
mengirim tenaga ke Jeddah hanya untuk belajar bahasa Arab untuk
kemudian mengajarkannya kepada orang-orang Jepang yang mau kerja
di sini.
Upah
Upah buruh di Jeddah termasuk mahal. Seorang buruh kasar
bangunan tetap mendapat upah sekitar 1000 dollar Amerika sebulan
atau sama dengan 3500 riyal. Upah harian tukang batu 100 riyal
(Rp 12.000) sehari -- 1 riyal sama dengan Rp 120. Sedangkan
tenaga pembantu alias kenek mendapat separonya. Dengan upah
bulanan itu seorang pekerja sudah bisa hidup layak dan
menyisihkan sebagian pendapatannya untuk ditabung. Tapi mereka
itu hanya diizinkan bekerja di Jeddah. Di Tanah Haram seperti di
kota suci Mekah, dan Medinah hanya diperbolehkan bagi muslim
saja, dan banyak diisi oleh tenaga buruh asal Yaman, Sudan dan
Pakistan. Orang Indonesia yang bekerja menerima upah di seluruh
Saudi diperkirakan 750 orang. Di antaranya sebagai pelayan hotel
dan restourant, buruh kasar dan tukang.
Betapa mahalnya upah buruh di Saudi didapat pada perbandingan
antara harga jasa dan barang kebutuhan hidup. Sepiring nasi
dengan seekor ikan goreng dapat diperoleh dengan harga 5 riyal.
Buah-buahan seperti appel dan anggur 4 riyal sekilo. Satu slof
rokok 555 SR (Saudi Riyal) 12,5, sebuah mobil Datsun SR 12 000
dan Mercedes Benz otomatis sekitar SR 45 000, pakaian tradisi
Arab yang dikenal bernama Top dari katun 25 riyal. Sebuah radio
kaset 3 band yang di Indonesia berharga sekitar Rp 50.000, di
Mekah cuma 260 riyal atau Rp 31.200. Harga-harga yang relatif
murah ini konon karena bea masuknya cuma 2,5% plus ongkos
administrasi 1/2 %. Namun begitu, harga air minum mungkin
termahal di seluruh dunia. Satu liter air berharga 3 Riyal atau
360 rupiah Indonesia. Jika 1 liter air itu ditukar dengan bensin
akan diperoleh 21 liter. Dengan uang 1 riyal dapat diperoleh 7
liter super premium.
Mengharap Digusur
Hasil kekayaan minyak bumi dan gas alam Saudi agaknya sudah
dirasakan oleh penduduk negeri ini. Jalan-jalan raya dibangun
sampai ke tempat-tempat ziarah di berbagai kota dan desa. Begitu
juga jaringan listerik. Untuk aliran listerik 500 watt ke bawah
tak dipungut bayaran. Di atas 500 watt tarifnya 16 Riyal per
kilowatt. Tak heran bila mesjid, toko-toko besar dan hotel-hotel
bertaraf internasional selalu bermandi cahaya bagaikan pameran
lampu.
"Penduduk Saudi kebanyakan punya mobil tapi tak memiliki rumah",
kata Dahlan, pemandu tour umroh yang pernah tinggal 5 tahun di
Medinah. Dengan gaji 4000 riyal sebulan orang di Saudi belum
mampu membangun rumah. Karena untuk membangun sebuah rumah
minimal harus punya uang 200.000 Riyal. Maka rakyat Saudi
umumnya lebih senang menyewa rumah secara turun temurun sampai
anak cucu. Namun begitu, dikiri-kanan sepanjang jalan Jeddah -
Mekah - Medinah berhektar-hektar tanah tampak sudah dikapling
dengan diberi garis putih sampai ke lereng bukit. Milik para
syekh, tuan tanah atau OKB. Bagi warga Saudi yang ingin
membangun rumah, Kerajaan Saudi memberi bantuan kredit 70o yang
dapat dicicil selama 10 tahun tanpa bunga. Sisanya, 30%
ditanggung sendiri.
Setelah mesjid Nabawi Medinah mengalami beberapa kali perluasan,
sekarang sedang direncanakan untuk memperluasnya lagi sampai
kira-kira 300 meter ke arah Uhud. Kini bulldozer sedang
menggusur gedung-gedung bertingkat -- meskipun di antara gedung
yang kena gusur itu baru berdiri. Bahkan ada gedung setengah
rampung sudah digusur. "Pemiliknya tidak menangis, tapi ketawa",
kata seorang Syekh asal Indosia di Medinah. Tentu saja, karena
ia akan menjadi jutawan baru. Sebab untuk bangunan yang kena
gusur mendapat penggantian beberapa kali lipat dari pemerintah.
Bukan cuma itu. Mereka yang terkena gusur selain disediakan
tempat penampungan yang baik, juga mendapat bantuan material
berupa bahan bangunan. Alhasil menurut Syekh itu "ada yang
sembahyang tahajud agar rumahnya digusur".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini