Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Diskusi: kok ngritik ?

Pihak perfilman nasional mengeritik kebijaksanaan menteri mashuri tentang film impor di indonesia. mereka menyarankan hasil penjualan karcis film impor dibagi 3 & pemerintah untuk membenahi film nasional. (fl)

30 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

100 hari setelah mengambil alih jabatan Direktur Bina Film Deppen, drs Sunaryo ST muncul dengan penjelasan kebijaksanaan baru pemerintah di bidang film. Ini terjadi pada sebuah panel diskusi yang diorganisir oleh Kelompok Diskusi Mahasiswa Akademi Sinematografi LPKJ di kampus mereka 15 Oktober yang lalu. Bersama Sunaryo, tampil pula Turino Junaedy (produser), Rudi Lukito (perbioskopan), Sumardjono (karyawan) dan drs Widodo Sukarno (importir). Uraian Sunaryo ST itu dinilai oleh Sumardjono sebagai "belum mencerminkan usaha-usaha baru yang dapat memberikan harapan baik untuk pertumbuhan dan pembinaan perfilman Indonesia". Bagi mereka yang terus mengikuti berita-berita sekitar rencana Menteri Mashuri SH untuk mengakhiri kehadiran film impor di Indonesia, uraian Sunaryo itu memang bukan soal yang baru. Di sana soal TAP MPR diulangi lagi, dan teguran DPR mengenai bahaya film impor terhadap generasi muda juga tidak ketinggalan untuk dikutip. Sudah tentu orang macam Widodo Sukarno yang importir, dan Rudi Lukito si pemilik bioskop tidak bergembira dengan rencana menteri tersebut. Kedua tokoh ini cukup berani mengemukakan pendapatnya di depan hadirin yang jumlah sekitar 200 orang. Rudi berbicara mengenai ketidak-mampuan film nasional mengisi seluruh bioskop yang berjumlah 950 buah."Kemampuan produksi dalam negeri cuma 60 judul pertahun, sedang bioskop perlu 350 judul", kata Rudy. Widodo -- menganggap sandang, pangan dan papan lebih penting dari ribut membicarakan film -- bertahan pada pendapatnya bahwa rakyat Indonesia berhak melihat hasil kebudayaan orang lain. "Apakah mereka yang duduk dalam badan penyeleksi film impor itu nanti cukup mahir memilih film yang tepat?", katanya mengomentari rencana impor yang bersifat pilihan nanti. "Bappenas" Film Tapi serangan yang tak terduga ke arah kebijaksanaan baru Menteri Mashuri justru datangnya dari pihak perfilman nasional. Sumardjono menyindir pemerintah yang dianggapnya selalu mengatur film impor dan melupakan film nasional. Ia juga berkata: "Pemerintah selalu gagal dalam urusan film impor" Dicontohkan oleh Sumardjono kebijaksanaan buka kran bagi film impor di tahun 1967. Kebijaksanaan itu, begitu tokoh karyawan film tersebut, merugikan film nasional, menjadikan film Indonesia sebagai bulan-bulanan, menghasilkan dibangunnya sejumlah gedung bioskop mewah. Dan bioskop-bioskop mewah itu justru segan memutar film nasional, meski pun kebijaksanaan yang melahirkannya adalah justru dengan maksud membangun industri film naslonal. Turino Junaedi juga mengecam pemerintah. Produser yang satu ini merasa yakin bahwa perfilman di Indonesia tidak bisa dibereskan dengan cara sepotong-sepotong, "perlu ada Bappenas Film", kata Turino. Sudah tentu ada saran-saran praktis dari Turino, tapi semua itu katanya, baru akan beres jika dlbicarakan secara menyeluruh lewat Bappenas film tersebut. Bagi Tiga Malahan Rudi Lukito yang bicara kongkrit. "Pajak tontonan yang sekarang ini kurang membantu usaha pembangunan film nasional". Rudi menyarankan agar setengah dari hasil penjualan karcis diserahkan kepada pemilik film, 30% untuk bioskop, sisanya baru untuk pemerintah: Sedang untuk film impor, disarankan agar 40% untuk pemilik film, sisanya dibagi dua antara pemerintah dengan pemilik bioskop. Hingga kini, hasil penjualan karcis selalu dibagi tiga sama rata antara pemerintah, pemilik bioskop dan pemilik film. Soal peralatan yang kurang juga jadi pembicaraan penting. Dan semua saran dari pembicara dicatat dengan cermat oleh Sunaryo untuk "dilaporkan kepada atasan kami", katanya. Yang nampaknya cukup menarik dalam catatan Sunaryo adalah pertanyaan Permadi SH dari Lembaga Konsumen. Bagi Permadi TAP MPR bisa ditunda pelaksanaannya berdasarkan kondisi. Dan ia bertanya: "Apakah kondisi sudah memungkinkan untuk menyetop film impor?". Dan Permadi menjawabnya sendiri secara tidak langsung. "Dari pada ribut film impor, lebih baik pemerintah membenahi film nasional". Saran ini pun agaknya dicatat juga oleh Sunaryo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus