100 hari setelah mengambil alih jabatan Direktur Bina Film
Deppen, drs Sunaryo ST muncul dengan penjelasan kebijaksanaan
baru pemerintah di bidang film. Ini terjadi pada sebuah panel
diskusi yang diorganisir oleh Kelompok Diskusi Mahasiswa Akademi
Sinematografi LPKJ di kampus mereka 15 Oktober yang lalu.
Bersama Sunaryo, tampil pula Turino Junaedy (produser), Rudi
Lukito (perbioskopan), Sumardjono (karyawan) dan drs Widodo
Sukarno (importir). Uraian Sunaryo ST itu dinilai oleh
Sumardjono sebagai "belum mencerminkan usaha-usaha baru yang
dapat memberikan harapan baik untuk pertumbuhan dan pembinaan
perfilman Indonesia".
Bagi mereka yang terus mengikuti berita-berita sekitar rencana
Menteri Mashuri SH untuk mengakhiri kehadiran film impor di
Indonesia, uraian Sunaryo itu memang bukan soal yang baru. Di
sana soal TAP MPR diulangi lagi, dan teguran DPR mengenai bahaya
film impor terhadap generasi muda juga tidak ketinggalan untuk
dikutip. Sudah tentu orang macam Widodo Sukarno yang importir,
dan Rudi Lukito si pemilik bioskop tidak bergembira dengan
rencana menteri tersebut.
Kedua tokoh ini cukup berani mengemukakan pendapatnya di depan
hadirin yang jumlah sekitar 200 orang. Rudi berbicara mengenai
ketidak-mampuan film nasional mengisi seluruh bioskop yang
berjumlah 950 buah."Kemampuan produksi dalam negeri cuma 60
judul pertahun, sedang bioskop perlu 350 judul", kata Rudy.
Widodo -- menganggap sandang, pangan dan papan lebih penting
dari ribut membicarakan film -- bertahan pada pendapatnya bahwa
rakyat Indonesia berhak melihat hasil kebudayaan orang lain.
"Apakah mereka yang duduk dalam badan penyeleksi film impor itu
nanti cukup mahir memilih film yang tepat?", katanya
mengomentari rencana impor yang bersifat pilihan nanti.
"Bappenas" Film
Tapi serangan yang tak terduga ke arah kebijaksanaan baru
Menteri Mashuri justru datangnya dari pihak perfilman nasional.
Sumardjono menyindir pemerintah yang dianggapnya selalu mengatur
film impor dan melupakan film nasional. Ia juga berkata:
"Pemerintah selalu gagal dalam urusan film impor" Dicontohkan
oleh Sumardjono kebijaksanaan buka kran bagi film impor di tahun
1967. Kebijaksanaan itu, begitu tokoh karyawan film tersebut,
merugikan film nasional, menjadikan film Indonesia sebagai
bulan-bulanan, menghasilkan dibangunnya sejumlah gedung bioskop
mewah. Dan bioskop-bioskop mewah itu justru segan memutar film
nasional, meski pun kebijaksanaan yang melahirkannya adalah
justru dengan maksud membangun industri film naslonal.
Turino Junaedi juga mengecam pemerintah. Produser yang satu ini
merasa yakin bahwa perfilman di Indonesia tidak bisa dibereskan
dengan cara sepotong-sepotong, "perlu ada Bappenas Film", kata
Turino. Sudah tentu ada saran-saran praktis dari Turino, tapi
semua itu katanya, baru akan beres jika dlbicarakan secara
menyeluruh lewat Bappenas film tersebut.
Bagi Tiga
Malahan Rudi Lukito yang bicara kongkrit. "Pajak tontonan yang
sekarang ini kurang membantu usaha pembangunan film nasional".
Rudi menyarankan agar setengah dari hasil penjualan karcis
diserahkan kepada pemilik film, 30% untuk bioskop, sisanya baru
untuk pemerintah: Sedang untuk film impor, disarankan agar 40%
untuk pemilik film, sisanya dibagi dua antara pemerintah dengan
pemilik bioskop. Hingga kini, hasil penjualan karcis selalu
dibagi tiga sama rata antara pemerintah, pemilik bioskop dan
pemilik film.
Soal peralatan yang kurang juga jadi pembicaraan penting. Dan
semua saran dari pembicara dicatat dengan cermat oleh Sunaryo
untuk "dilaporkan kepada atasan kami", katanya. Yang nampaknya
cukup menarik dalam catatan Sunaryo adalah pertanyaan Permadi SH
dari Lembaga Konsumen. Bagi Permadi TAP MPR bisa ditunda
pelaksanaannya berdasarkan kondisi. Dan ia bertanya: "Apakah
kondisi sudah memungkinkan untuk menyetop film impor?". Dan
Permadi menjawabnya sendiri secara tidak langsung. "Dari pada
ribut film impor, lebih baik pemerintah membenahi film
nasional". Saran ini pun agaknya dicatat juga oleh Sunaryo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini